Keutamaan Menikah dan Jenis-Jenisnya

Salah satu problematika sosial umat Islam dewasa ini, adalah kekurangpahaman sebagian pemuda-pemudi Islam mengenai masalah etika dan adab pergaulan, terlebih lagi mengenai  hubungan antarjenis. Akibatnya, banyak dari mereka yang terjerumus dalam berbagai kasus kerusakan akhlak dan moral.

Barangkali, kurangnya pemahaman mengenai  Islam dan lemahnya keterikatan terhadap agama menjadi sebab utama, padahal Islam adalah agama fitrah, yaitu agama yang selalu sesuai dengan tabiat dan dorongan batin manusia. Islam mengatur agar dorongan-dorongan batin manusia dipenuhi dan ditempatkan pada garis syariatnya. Misalnya, keinginan untuk mengadakan kontak antara laki-laki dan perempuan diatur dalam syariat perkawinan. Demikian pentingnya masalah ini sehingga diatur dalam sebuah aturan hukum yang disebut dengan fiqhun nikah atau fiqhul munakahat. Islam menegaskan, bahwa hanya perkawinanlah satu-satunya cara yang sah untuk membentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dilakukan dalam upaya membangun suatu masyarakat yang bersih dan berperadaban. Allah SWT berfirman dalam Kitab-Nya,

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (an-Nuur: 30-31)

II. PENGERTIAN NIKAH

Secara etimologi, nikah berarti adl-dlammu wa al-jam’u (mengumpulkan), al-wath-u (bersetubuh), dan al-aqdu (akad).

Adapun secara terminologi, nikah adalah dilaksanakannya sebuah akad yang dengannya diperbolehkan seorang laki-laki bersenang-senang dengan perempuan, baik untuk melakukan hubungan seksual, bersentuhan, bercumbu rayu, maupun yang lainnya. Dalam terminologi lain, nikah adalah akad yang disyariatkan untuk memberikan kepemilikan istimta’ (bersenang-senang) laki-laki atas wanita. (Lihat Fathul Qadiir 2/339, ad-Daar al-Mukhtaar 2/355-357, asy-Syarh ash-Shaghiir 2/332, dan Mughni al-Muhtaaj 3/123)

III. KEUTAMAAN NIKAH

Ada beberapa keutamaan menikah, diantaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, pernikahan menjadikan seseorang memiliki jiwa yang lebih santun, tenang, dan damai, sehingga gejolak-gejolak liar akan pergi darinya.

Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu  isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa  tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.  Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

(ar-Ruum: 21)

Oleh karena itu, apabila seseorang ingin hidup dalam kondisi mental yang sehat, rumah tangga yang sakinah merupakan kunci utamanya. Rumah tangga sakinah adalah rumah tangga yang dibentuk atas dasar tali pernikahan yang sah. Sebaliknya, bila hubungan itu didasari oleh pacaran bebas, pergundikan atau kumpul kebo, maka pasti tidak akan bisa menyatukan laki-laki dan perempuan dalam suasana yang rukun, saling mempercayai, dan bersatu untuk selamanya.

Kedua, pernikahan adalah wadah seseorang menyalurkan saluran rasa cintanya dan  menumbuh kembangkannya.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.  Itulah kesenangan hidup di dunia;  dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)

Lewat ayat ini,  Allah memberitahu bahwa Ia menciptakan manusia dengan naluri kecintaan atau kesukaan kepada perempuan, anak cucu, dan harta kekayaan. Naluri ini diberikan oleh Allah agar anusia dapat merasakan kesenangan dan kenikmatan hidup di dunia.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimanakah cara seseorang menyalurkan dan memelihara naluri kecintaannya kepada perempuan atau lelaki agar rasa itu dapat membawa kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatan hidupnya? Untuk dapat menyalurkan naluri tersebut Allah memberi petunjuk  dengan menetapkan satu-satunya jalan halal, yaitu pernikahan. Melalui pernikahan, seorang laki-laki dan perempuan akan bersatu dalam ikatan yang sah, sehingga naluri kecintaan mereka pun tersalurkan dengan baik. Ibnu Abbas ra. Berujar, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw, lalu berkata, ‘Kami mempunyai seorang anak perempuan yatim. Dia telah dipinang oleh dua orang lelaki, yang seorang miskin dan yang lainnya kaya. Akan tetapi dia senang kepada yang miskin, sedangkan kami menyukai yang kaya’, Nabi saw bersabda, ‘Tidak pernah diketahui dua orang yang bercinta, setulus cinta dalam pernikahan.’” (HR. Ibnu Majah, Hakim, dan Baihaqi)

Ketiga, pernikahan memberikan kepastian nasab dan memelihara kelestariannya.

Salah satu dari lima maqashidusy syariah (tujuan diturunkannya Islam) adalah memelihara nasab secara hak dan benar. Untuk mencapai hal inilah, maka lembaga pernikahan menjadi sangat penting, sebab melalui pernikahan diharapkan lahir keturunan yang mempunyai nasab secara sah. Dengan demikian, estafet generasi manusia terpelihara kejelasannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala.

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan  laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (an-Nisaa’: 1)

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki  (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina….” (an-Nisaa’ : 22-24)

Oleh sebab itu, kejelasan nasab dan pemeliharaan kesuciannya tidak mungkin ada bila hubungan itu bersifat bebas yang didasari hawa nafsu semata, seperti zina. Rasulullah saw bersabda, “Nasab anak mengikuti laki-laki yang menjadi suami ibunya, sedangkan orang yang berzina hukumannya adalah rajam.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Baihaqi)

Kepastian nasab sangat penting dalam hukum Islam, karena Islam tidak mengakui berbagai macam bentuk nasab orang tua kepada anak yang lahir di luar pernikahan. Anak angkat, anak pungut, anak hasil zina, dan anak tiri merupakan contoh nasab anak yang tidak diakui oleh Islam. Anak tiri maupun anak pungut—walaupun masyarakat mengakuinya—tidak mempunyai hubungan apapun dengan orang tua angkatnya, sebab ia tidak mempunyai  hak waris dari bapak tirinya, dan juga sebaliknya. Jadi, hanya melalui pernikahan yang sah menurut Islamlah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan akan memperoleh nasab yang jelas, yaitu nasab yang disandarkan kepada laki-laki yang menjadi suami ibunya—dimana anak itu lahir dari hubungan badan setelah akad nikah.

Keempat, pernikahan memelihara martabat seorang perempuan.

“…(Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan) diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (al-Maidah: 5)

Wanita yang menjaga kehormatannya, dan kemudian dijadikan isteri oleh seorang laki-laki secara sah, disebut Al-Qur`an dengan istilah muhshonah, sebagaimana ayat tersebut di atas. Kata muhshan berasal dari hisnun yang berarti benteng, sedangkan kata hisnun ini yang berasal dari kata kerja hashana, yang bermakna melindungi dengan kukuh, seperti melindungi seseorang dalam benteng.

Penggunaan kata muhshon untuk laki-laki dan muhshonah untuk perempuan mencerminkan kedudukan yang dalam pernikahan bagi laki-laki dan perempuan. Dengan pernikahan, perempuan ditempatkan dalam posisi yang jauh dari berbagai tuduhan yang melecehkan martabatnya, seperti pelacur atau gundik.

Adapun Al-Qur`an menyebut gundik dengan istilah akhdan—yang berasal dari kata khidnun yang artinya pipi. Kata ini merupakan kiasan bahwa perempuan yang dijadikan gundik, fungsinya tidak lebih sebagai alas tidur bagi laki-laki yang memeliharanya. Perempuan semacam ini tidak mempunyai perlindungan bagi dirinya, sehingga martabatnya sebagai manusia tidak dihormati dan dihargai. Demikian pula perempuan yang berhubungan dengan laki-laki melalui perzinahan.

Pernikahan dikatakan sebagai ihshan (benteng perlindungan), karena dengan pernikahan seorang perempuan akan mendapatkan hak-haknya dengan jelas. Ia juga akan memikul kewajibannya dengan jelas. Apabila seorang perempuan mendapatkan perlindungan hak yang jelas, dan sekaligus memikul kewajiban yang benar dalam kehidupan sehari-hari, maka ia akan memiliki martabat terhormat, yang tidak dapat dipermainkan oleh orang lain.

Pernikahan akan menjamin hak-hak perempuan dilindungi kaum lelaki yang menjadi suaminya. Di sisi lain, ia akan melaksanakan kewajibannya terhadap suaminya. Oleh karena itu, seorang perempuan yang dinikahi secara sah, akan mendapatkan perlindungan laksana seseorang yang berada di dalam benteng yang kokoh.

Perempuan yang terikat dalam pernikahan yang sah sebagai seorang istri, tidak dapat diperlakukan semena-mena oleh suaminya. Hal ini dikarenakan ia memiliki jaminan hukum yang jelas dan perlindungan sosial yang tegas. Dari sisi hukum, ia mempunyai hak-hak tertentu terhadap suaminya. Dari sisi sosial, ia akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat apabila suaminya bertindak semaunya terhadapnya. Inilah keutamaan pernikahan bagi wanita.

Jika perempuan berhubungan dengan lelaki hanya sebagai pasangan berzina atau gundik, maka ia ibarat sampah yang sama sekali tidak berharga. Perempuan yang hanya menjdi pasangan berzina atau alas tidur seorang lelaki—selain haknya tidak akan dipenuhi lelaki yang menjadi pasangannya, ia juga telah kehilangan harga dirinya. Ia akan dianggap rendah oleh masyarakat dan oleh lelaki yang berzina dengannya. Ia tidak akan pernah mendapat jaminan hukum yang tegas dari pasangannya, sehingga sewaktu-waktu ia dapat ditinggalkan begitu saja tanpa rasa belas kasih.

Dengan demikian, sesungguhnya pernikahan memberi jaminan yang kuat bagi perempuan, sekaligus mengangkat martabatnya dan memelihara haknya. Ia dapat menuntut, apabila hak-haknya dilanggar oleh suaminya.

Kelima, pernikahan mencegah kerusakan moral pergaulan antara laki-laki dan perempuan.

Islam sangat mengajarkan kebersihan, bahkan menjadikannya sebagian daripada iman. Hal ini dimaksudkan agar muncul satu masyarakat Islam yang bersih, baik dari segi pisik, mental, maupun moral. Adanya penyimpangan akhlak diibaratkan sebagai kotoran yang harus dibersihkan. Melalui  pernikahan, seseorang akan selalu menjaga farj-nya dari kubangan-kubangan kemaksiatan. Ia pun akan lebih menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Rasulullah saw bersabda, “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah memiliki kemampuan (menikah), hendaklah ia menikah. Karena menikah itu mampu menundukkan pandangan dan menjaga farji. Maka, siapa yang belum mampu (menikah,) hendaknya ia  berpuasa. Hal ini karenakan, puasa itu memberikan kemampuan untuk  menahan syahwat.”

(HR. Jama’ah)

IV. PERNIKAHAN DAN JENIS-JENISNYA

Sebelum membahas jenis-jenis pernikahan fasidah (yang rusak) dalam Islam, ada beberapa jenis pernikahan yang berkembang pada zaman jahiliah. Sebagaimana diriwayatkan Imam ad-Daruqutni dari Aisyah ra., ada empat macam pernikahan yang pernah berlaku pada masa jahiliah, yaitu sebagai berikut.

1. Pernikahan Pinang

Pernikahan ini dilakukan seorang pria dengan cara meminang wanita yang akan dinikahinya, kemudian ia menyerahkan sejumlah mahar yang disepakati dalam akad. Pernikahan ini berlaku sampai sekarang, dengan rukun dan syarat yang telah disepakati oleh Jumhur Ulama, yaitu adanya calon mempelai, wali, dua saksi, dan mahar (mas kawin).

2. Pernikahan Pinjam (Gadai)

Di dalam pernikahan ini, seorang suami memerintahkan istrinya—sesudah istrinya bersih dari haid—untuk melakukukan hubungan seksual dengan pria lain yang diinginkannya. Sementara  hal itu berlangsung, si suami tidak menggauli istrinya sampai ia benar-benar hamil dari pria lain tersebut. Pernikahan ini dilakukan agar mendapatkan keturunan yang lebih baik, cerdas, dan unggul. Pernikahan atau perkawinan gadai ini  hukumnya haram dalam Islam. Hal ini disebabkan tidak ada bedanya dengan perzinaan yang dilegalkan.

3. Sejumlah laki-laki (di bawah sepuluh orang) secara bersama-sama menggauli seorang  wanita.

Ketika wanita tersebut—yang digauli sejumlah lelaki secara bersama-sama—hamil dan melahirkan, maka selang beberapa malam, ia akan mengirimkan anaknya kepada salah  satu dari mereka. Seseorang yang telah dipilih itu tidak boleh menolak keputusan wanita tersebut. Hal ini dilakukan setelah mereka berkumpul kembali di rumah wanita tersebut, ia akan berkata kepada mereka, “Kalian semua telah mengetahui masalahnya, yaitu saya telah melahirkan anak ini. Hai Fulan, anak ini adalah anakmu.”

Pernikahan di atas juga diharamkan dalam Islam. Karena, tidak memenuhi syarat dan rukun dalam pernikahan yang Islami. Hal ini mirip dengan poliandri yang diharamkan dalam hukum Islam.

4. Wanita-wanita yang tidak menolak untuk digauli para lelaki

Mereka ini adalah wanita tuna susila. Mereka memasang bendera di depan rumahnya agar diketahui oleh para lelaki yang menginginkan mereka. Siapa pun bebas keluar masuk ke dalam rumah mereka. Ketika salah seorang dari mereka melahirkan, maka semua laki-laki yang pernah menggauli wanita tersebut dikumpulkan.  Ia lalu memanggil seorang dukun ahli firasat. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kemiripan anak tersebut dengan bapaknya. Lalu, anak itu diberikan kepada lelaki yang serupa dengannya, dan lelaki tersebut tidak boleh menolaknya.

Jenis-jenis pernikahan fasidah (pernikahan yang rusak atau batal)

Pernikahan dalam Islam harus mengacu kepada rambu-rambu yang telah digariskan Al-Qur`an dan Hadits. Ia harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah dibakukan dalam syarat dan rukun nikah. Di samping itu, seorang lelaki juga harus menjauhi wanita-wanita yang diharamkan untuk dinikahi, baik disebabkan karena nasab, sepersusuan, perbedaan agama, maupun sebab-sebab lain yang bersifat sementara, seperti adik ipar, atau wanita yang sedang iddah.

Oleh karena itu, apabila pernikahan yang dilakukan tidak mengikuti aturan-aturan yang berkaitan dengan syarat dan rukun, maka pernikahan tersebut  dikategorikan dalam pernikahan fasidah yang harus dihindari setiap muslim.

Ada beberapa jenis pernikahan fasidah, sebagaimana berikut; Pernikahan Syighar, Pernikahan Mut’ah, Pernikahan Muhallil, Pernikahan Mu’taddah, Pernikahan Muslimah dengan Non Muslim, dan Pernikahan Muhrim

Pertama, Pernikahan Syighar

Pernikahan Syighar adalah pernikahan dimana seorang wali mengawinkan putrinya atau saudaranya dengan seorang laki-laki, namun dengan syarat putri atau saudara lelaki  itu dinikahkan kepada wali tersebut tanpa mahar. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw.  Ibnu Umar berkata, “Rasulullah melarang pernikahan syighar. Pernikahan syighar adalah seorang laki-laki berkata kepada temannya, ‘Nikahkan aku dengan putri atau sudaramu, dan aku nikahkan putri atau saudaraku dengan kamu.’ Di antara keduanya tidak ada mahar.” (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada (pernikahan) syighar dalam Islam.”

(HR Muslim)

Dua hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw melarang pernikahan syighar. Larangan dalam Islam menunjukkan adanya ke-fasad-an (kerusakan) yang dilarang. Maka, pernikahan ini hukumnya batal, dan harus di-faskh-kan (dipisahkan), baik sebelum berhubungan badan maupun sesudahnya. Ini adalah pendapat Jumhur Ulama dari kalangan madzhab Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah. Adapun Hanafiah berpendapat pernikahan ini tetap sah, selama diwajibkan memenuhi mahar misl (mas kawin yang seharga mas kawin saudara-saudaranya). Menurut Hanafiah, larangan yang ada dalam hadits tidaklah menunjukkan keharamaan atau pembatalan, akan tetapi sekadar menunjukkan kemakruhan saja.

Kedua, Pernikahan Mut’ah

Pernikahan mut’ah adalah pernikahan yang dibatasi dengan waktu tertentu, atau yang lazim disebut dengan “an-Nikah al-muaqqat” (Pernikahan sementara atau kawin kontrak).

Hukum kawin mut’ah ini menurut semua madzhab adalah tidak sah atau batal. Karena tidak sah, maka tidak boleh dilaksanakan oleh umat Islam. Hal ini berdasarkan beberapa dalil, sebagaiman  disebutkan di bawah ini.

·        Rasulullah saw bersabda, “Wahai, manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian nikah mut’ah. Maka ingatlah, sesungguhnya Allah telah mengaramkannya (sekarang) sampai hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah)

·        Ali ra meriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang nikah mut’ah, dan memakan  daging keledai peliharaan pada Perang Khaibar.

(HR Ibnu Majah)

·        Umar, tatkala menjadi Khalifah, berpidato di hadapan para sahabat yang isinya melarang nikah mut’ah. Adapun mereka semua menyetujui apa yang dikatakan Umar. Sekiranya hal yang disampaikan Umar itu tidak benar, maka tentu mereka tidak akan diam dan menyetujuinya.

·        Pernikahan mut’ah identik dengan prostitusi yang dilegalkan, dan hanya bertujuan untuk melampiaskan nafsu birahi saja, tanpa ada beban tanggung jawab terhadap anak-anak. Bahkan, jika hal ini dibiarkan berkembang dalam masyarakat Islam, maka  niscaya akan mengakibatkan wabah penyakit moral dan sosial. Hal ini dikarenakan tidak ada bedanya orang yang datang ke tempat prostitusi, dengan orang yang menyerahkan uang yang telah disepakati untuk  kawin kontrak ini.

Ketiga, Pernikahan Muhallil

Pernikahan muhallil adalah suatu bentuk kolusi dalam pernikahan, yang dilakukan antara bekas suami seorang wanita—yang telah ditalak tiga kali—dengan pria lain, yang bertujuan agar pria  tersebut akan mentalak istrinya  setelah nikah. Hal ini dimaksudkan  agar bekas suami wanita tersebut bisa kembali lagi.

Pernikahan seperti ini hukumnya adalah haram, dan termasuk dosa besar. Pelakunya akan dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya. Perhatikan beberapa hadits di bawah ini.

“Allah melaknat muhallil (orang yang menikahi bekas wanita yang ditalak bain kubra), dan muhallal lahu (bekas suami yang kolusi dengan muhallil [pria lain] ).”

(HR. Ahmad)

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Rasulullah saw. melaknat muhallil dan muhallal lahu.” (HR.  at-Tirmidzi)

Rasulullah saw. ditanya tentang hukum muhallil, beliau menjawab, “Tidak boleh, kecuali dengan dasar cinta. Tidak boleh ada tipuan, dan tidak boleh memainkan hukum Allah,  sehingga ia menikmati madunya (senggama).” (HR. Abu Ishak al-Jurjany)

Keempat, Pernikahan Mu’taddah (wanita yang sedang iddah)

Pernikahan mu’taddah adalah pernikahan dimana sang wanita masih dalam masa iddah (penantian), baik karena talak maupun karena ditinggal mati suaminya. Pernikahan mu’taddah ini hukumnya batal dan harus dipisahkan. Bahkan, laki-laki tersebut tidak boleh menikahi kembali wanita itu—setelah habis masa iddahnya. Hal ini  diberikan sebagai sanksi kepadanya (lihat Minhaj al-Muslim hal 382). Hal ini juga didasarkan kepada firman Allah SWT , sebagaimana berikut ini.

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (al-Baqarah: 235)

Kelima, Pernikahan Muslimah dengan Non Muslim

Apabila seorang muslimah dinikahkan dengan non muslim, baik dari ahli kitab maupun non ahli kitab, maka pernikahan tersebut tidak sah dan harus dipisahkan. Sekiranya tidak dapat dipisahkan dan dibiarkan berumah tangga, maka jatuh hukumnya seperti berzina. Hal ini dikarenakan akad nikahnya tidak sah. Perhatikanlah firman Allah SWT berikut ini.

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. DanAllah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (al-Baqarah: 221)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka….” (al-Mumtahanah: 10)

Keenam, Pernikahan Muhrim

Pernikahan ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh muhrim (orang yang ihram), baik ihram haji ataupun ihram umrah sebelum tahallul.

Pernikahan ini hukumnya tidak sah dan haram dilakukan. Namun, apabila telah selesai ihram, maka ia boleh melakukannya. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi berikut ini.

“Orang yang ihram, tidak boleh menikah dan menikahkan.” (HR. Muslim)

V. PERNIKAHAN MUSLIM DENGAN WANITA AHLI KITAB

Yang dimaksud dengan Ahli Kitab di sini adalah Yahudiah dan Nashraniah. Adapun para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menikahi wanita-wanita Ahli Kitab ini, yaitu sebagaimana  berikut ini.

* Sebagian mereka membolehkan seorang muslim menikahi wanita kitabiah, tanpa ada syarat apapun. Hal ini sesuai dengan firman Allah di bawah ini.

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (al-Maaidah: 5)

·        Sebagian mereka berpendapat, bahwa menikahi wanita kitabiah hukumnya makruh dan khilaful aula. Ini merupakan pendapat Hanafiah, Malikiah, dan Hanabilah. Hal ini disebabkan karena Umar bin Khattab pernah berkata kepada para sahabat yang menikahi wanita kitabiah, “Talaklah mereka.” Maka, mereka mentalaknya, kecuali Hudzaifah. Umar ra. lalu berkata kepadanya, “Ceraikanlah istrimu.” Hudzaifah balik bertanya, ”Apakah anda menyaksikan bahwa menikahi wanita kitabiah ini haram?” Umar menjawab, “Tidak, akan tetapi saya kuatir mereka dari wanita-wanita jalang.”

·        Ibnu Umar berpendapat, bahwa menikahi wanita kitabiah adalah haram. Ia menganologikan dengan wanita musyrikah. Hal ini karena tidak ada bedanya orang yang menyembah banyak Tuhan, dengan orang yang menuhankan Isa, atau Isa sebagai salah satu oknum Tuhan.

·        Syafi’iah membolehkan menikahi wanita kitabiah. Dengan syarat, mereka harus dari keturunan asli israiliah, dan nenek moyang mereka mengikuti agama Isa sebelum dinaskh.

Dari beberapa pendapat diatas, kita bisa konklusikan bahwa orang yang melarang dan memakruhkan pernikahan dengan wanita kitabiah, adalah  untuk menghindari fitnah-fitnah yang akan terjadi, diantaranya sebagai berikut.

Ø           Berkaitan dengan interaksi sosial mereka.

Ø           Berkaitan dengan agama.

Ø           Adanya kemungkinan istri menjadi mata-mata pihak lain.

Ø           Adanya kekhawatiran anak-anak akan mengikuti budaya-budaya mereka.

Ø           Adanya kekhawatiran tertariknya suami ke dalam agama istri.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

KEUTAMAAN MEMBACA AL QUR’AN

1.       Al Qur’an adalah Kalamullah

  1. Kitab yang Mubarak (diberkahi) QS. 6 : 92
  2. Menunun kepada jalan yang lurus Qs. 17 : 9
  3. Tidak ada sedikitpun kebatilan di dalamnya QS. 41: 42

 

2.       Membaca Al Qur’an adalah sebaik-baik amal perbuatan.

Rasulullah bersabda : “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan AL Qur’an” HR Al Bukhariy dari Utsman bin Affan.

 

3.       Al Qur’an akan menjadi syafi’ penolong di hari kiamat.

Rasulullah bersabda : Bacalah Al Qur’an sesungguhnya ia akan menjadi penolong pembacanya di hari kiamat “ HR Muslim dari Abu Umamah.

 

4.       Beserta para malaikat yang mulia di hari kiamat.

Sabda Nabi : “Orang yang membaca Al Qur’an dan dia lancar membacanya akan bersama para malaikat yang mulia dan baik. Dan orang yang membaca Al Qur’an  dengan terbata-bata, ia mendapatkan dua pahala “ Muttafaq alaih dari Aisyah ra.

 

5.       Aroma orang beriman.

Sabda Nabi : “Perumpamaan orang beriman yang membaca Al Qur’an adalah bagaikan buah utrujah, oromanya harum dan rasanya nikmat…..”

 

6.       Penyebab terangkatnya kaum. Sabda Nabi :

“Sesungguhnya Allah akan mengangkat suatu kaum dengan kitab ini dan akan menjatuhkannya dengan kitab ini pula” HR Muslim dari Umar bin Khatthab.

 

7.       Turunnya rahmah dan sakinah.

Sabda Nabi : “Tidak ada satu kaum yang mereka sedang berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat akan mengitarinya, dan rahmat Allah akan tercurah kepadanya, dan sakinah (kedamaian) akan turun di atasnya, dan Allah akan sebutkan mereka pada malaikat yang ada di sisi-Nya. HR. At Tirmidziy dan Ibn Majah dari Abu Hurairah dan Abu Said.

 

8.    Memperoleh kebajikan yang berlipat ganda.

Dari Ibnu Mas’ud ra berkata : Rasulullah SAW bersabda:”Barang siapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah, maka ia akan memperoleh satu hasanah (kebajikan). Dan satu hasanah akan dilipat gandakan menjadi sepuluh, saya tidak katakan alif lam mim satu huruf, akan tetapi ali satu hurf, lam satu huruf, dan mim satu huruf. HR At Tirmidziy

 

9.    Bukti hati yang terjaga/melek.

Dari Ibn Abbas ra berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya orang yang di hatinya tidak ada sesuatupun dari Al Qur’an, maka ia bagaikan rumah kosong. HR At Tirmidziy.  

Itsar Puncak Ukhuwwah

“Innamal mukminuna ikhwah. Faaslihu baina akhawaikum” (QS 49 : 10)

“Sesungguhnya mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah orang-orang yang berselisih diantaramu”

“Innal muslim akhul muslim” (sesungguhnya muslim itu saudara bagi muslim lainnya)

Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan Islam adalah sarana efektif dalam dakwah fardhiyah, selain itu ia juga memberikan sekaligus manfaat duniawi, ukhrawi, dan diniyah.

Persatuan dan persaudaraan yang paling kekal adalah jika didasari kesamaan dan kesatuan aqidah. Jadi asas pemersatu yang paling kuat dan langsung adalah kesatuan aqidah.

Dalam QS 3 : 103 nampak jelas bahwa Allah yang mempersatukan hati-hati manusia dan menjadikan mereka bersaudara. Jadi ukhuwah Islamiyah, ta’liful qulub (persatuan hati) adalah kerja Allah dan bukan manusia.

Hanya saja manusia harus berikhtiar lebih dulu dengan sama-sama berpegang teguh kepada tali Allah (yakni Al Islam) dan berusaha menyelaraskan diri dengan Islam serta memperbaiki hubungan antar sesama manusia. (QS 8 : 1). Bila sudah demikian insya Allah ukhuwah Islamiyah akan terwujud dengan sendirinya.

Dalam harakah dikenal paduan antara iltizam yang sempurna dan ukhuwah Islamiyah. Bila yang ada hanya disiplin yang sempurna (iltizamul kamil), maka suasana akan terasa kaku, kering, gersang seperti di markas militer. Sedangkan bila hanya sibuk dengan masalah ukhuwah tetapi mengabaikan iltizam, disiplin maka akan seperti sekumpulan orang tanpa arahan dan bimbingan.

Pribadi-pribadi muslim yang shalih/shalihah yang memiliki iltizam yang baik namun tetap diwarnai ukhuwah, bila bersatu padu dan bekerja sama akan seperti bangunan yang kokoh.

1.      Ukhuwah Islamiyah dapat sekaligus memberi manfaat duniawiyah, diniyah, dan ukhrawiyah.

a.    Ditilik dari manfaat duniawiyah, ukhuwah Islamiyah dapat membuat seorang muslim dapat terkena imbas manfaat rizki dan kedudukan yang dimiliki saudaranya sepanjang tidak melenceng dari jalur kebenaran. Sikap seorang muslim yang baik, ia tidak akan pernah iri ataupun hasad terhadap kelebihan-kelebihan rezeki, kedudukan, keilmuwan dll yang dimiliki saudaranya. Bahkan seharusnya ia ikut merasa bersyukur karena ia pun dapat terkena efek positif dengan segala kelebihan yang dimiliki saudaranya. Kalau perlu dan mampu sebaiknya bahkan ia turut berpacu dalam kebaikan agar bermanfaat bagi orang lain.

Imbas manfaat memang tidak boleh menjadi tujuan utama dalam menjalin ukhuwah, tetapi sekedar efek samping yang harus disyukuri. Misalnya punya teman, saudara seaqidah yang pandai dalam bidang matematika kita bisa belajar darinya. Atau punya teman dokter, maka ia bisa menjadi konsultan kesehatan bagi kita, kapan saja kita butuh pertolongan medis, ia siap sedia menolong kita.

Jika imbas manfaat (intifa’) dijadikan tujuan utama, dikhawatirkan kita akan bersikap memilih-milih dalam berteman dan menda’wahi seseorang. Kemungkinan besar kita hanya mau berteman atau menda’wahi orang-orang yang kira-kira menguntungkan kita.

Manfaat duniawiyah yang kedua adalah kita akan memiliki soliditas dan kekompakan dalam hal kemaslahatan atau kebaikan. Kita akan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa serta saling bercermin karena Rasulullah SAW. Juga besabda sesungguhnya, mukmin cermin bagi saudaranya yang lain kemudian Umar ra pernah mengatakan pula bahwa kalau bukan karena tiga hal, niscaya ia tidak akan betah hidup di dunia. Ketiga hal tersebut ialah:

         Memiliki kuda perang terbaik yang digunakan untuk berperang di jalan Allah Taala.

         Bersusah payah di waktu malam (qiamul lail)

         dan bergaul dengan orang-orang yang sidiq (benar dalam sikap, lisan, dan perbuatannya).

b. Ditilik dari manfaat diniyah (dari segi agama) paling tidak ada lima hal yang dapat diperoleh seseorang bila ia senantiasa menjaga ukhuwah Islamiyah.

1.      Saling mencintai di jalan Allah Taala. Orang yang saling mencintai di jalan Allah Taala akan dapat merasakan manisnya iman, memperoleh naungan di hari kiamat (hadits 7 golongan, di antara orang-orang yang saling mencintai karena Allah Taala, menjadi sebaik-baiknya sahabat di sisi Allah Taala dan akhirnya akan memperoleh mimbar dari cahaya di hari kiamat)

2.      Tolong-menolong dalam ketaatan. Orang-orang yang berukhuwah akan selalu siap tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah Taala dan Rasul-Nya. Di jaman Rasulullah hal itu jelas terlihat seperti menolong biaya orang yang akan menikah, sesama muslimah meminjamkan pakaian bagus agar saudarinya juga bisa hadir di shalat Idul Fitri atau Idul Adha, meminjamkan uang tanpa bunga. Jadi bukan menolong orang karena ada maksud-maksud tertentu atau ingin meraih keuntungan yang lebih besar.

3.      Mensucikan, mengagungkan Al haqq atau kebenaran. Dalam QS 103:3 disebutkan bahwa hendaknya kita saling tolong-menolong mengingatkan untuk menepati kebenaran dan untuk bersabar. Orang yang berukhuwah akan bahu membahu menegakkan kebenaran. Persahabatan mereka tulus karena sama-sama mencintai kebenaran.

4.      Persamaan dan kesejajaran, Firman Allah Taala QS 49:13 “Inna akramakum ‘indallahu atqaakum” benar-benar diwujudkan oleh orang-orang yang berukhuwah. Mereka benar-benar sadar dan merasa bahwa manusia sama, sejajar, setara di hadapan Allah Taala. Yang membuat seseorang lebih tinggi derajatnya di hadapan Allah Taala adalah jika kadar ketakwaannya lebih tinggi. Dalam hadits di tegaskan bahwa Allah Taala tidak melihat perbedaan fisik atau atribut-atribut duniawi melainkan langsung ke dalam hati manusia. Karena itu dalam Islam baik Abu Bakar yang bangsawan Arab berkulit putih maupun Bilal bekas budak berkulit hitam, kedua-duanya merupakan sahabat-sahabat yang wajib kita hormati dan kita teladani. Dan kedua-duanya sudah diketahui akan masuk surga, padahal mereka masih hidup saat itu.

5.      Saling menghormati. Sesama muslim yang berukhuwah akan saling menghormati satu sama lain. Mereka juga saling berlomba memberi salam lebih dulu. Dalam hadits dikatakan Rasulullah saw., “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang-orang yang lebih tua dan menyayangi orang-orang yang lebih muda”

6.      Itsar: Mementingkan saudara seaqidahnya lebih dari dirinya sendiri. Bisa dikatakan bahwa itsar adalah puncak ukhuwah Islamiyah. Bila bentuk minimal ukhuwah adalah “Salamatus Shodr”, kelapangan dada terhadap saudara seiman maka Itsar adalah bentuk maksimal ukhuwah itu sendiri.

c. Dan akhirnya manfaat tertinggi dan hakiki adalah manfaat ukhrawi yakni balasan optimal yang akan di peroleh di akhirat kelak. Ribathul Ukhuwah (ikatan ukhuwah) dan Ribathul Jamaah (ikatan jamaah) yang terjalin kuat di dunia insya Allah akan berlanjut di akhirat nanti.

Yang jelas tiga hal akan diterima orang-orang yang senantiasa menghidupkan ukhuwah, yakni:

1.      Mendapat mimbar dari cahaya pada saat menunggu dihisab.

2.      Mendapat pertolongan atau naungan Allah Taala di hari dimana tak ada pertolongan selain pertolongan-Nya.

3.      Mendapat Al-Jannah (surga)

1.      Itsar, puncak ukhuwah

a. Makna Itsar

Secara bahasa itsar berarti mementingkan orang lain lebih dari diri sendiri. Dari segi fitrah setiap manusia yang masih terjaga fitrah kemanusiaannya juga dapat berbuat mulia, mementingkan orang lain dan bukan diri sendiri serta menolong orang lain tanpa memikirkan diri sendiri. Di Inggris pernah terjadi kasus penyelamatan seorang anak yang jatuh di rel kereta api oleh seorang laki-laki. Alhamdulillah anak itu bisa diselamatkan, namun sebelah tangan laki-laki itu putus tersambar kereta api yang melaju kencang. Mungkin seumur hidupnya anak tersebut takkan bisa melupakan jasa seseorang yang rela mengorbankan sebelah tangannya untuk menyelamatkan nyawanya.

Dari segi istilah, itsar adalah salah satu manfaat diniyah (manfaat keagamaan) yang terwujud bila terjalin ukhuwah di antara orang-orang yang seaqidah. Ia juga dikatakan wujud maksimal ukhuwah Islamiyah yang dimiliki seseorang. Dalam rangka menggapai mardhatillah semata, seorang muslim bersedia berkorban mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya sendiri.

b. Urgensi dan keutamaan Itsar

Dalam QS 9:128 digambarkan sifat-sifat Rasulullah saw. yang mudah berempati pada penderitaan orang lain, senantiasa menginginkan kebaikan bagi orang lain dan santun serta pengasih dan penyayang terhadap sesama mukmin.

Kehidupan di dunia yang jauh dari sifat-sifat mulia akan dipenuhi keserakahan dan keegoisan, nafsi-nafsi, lu-lu, gua-gua. Semuanya mementingkan diri dan keluarganya saja termasuk para pemimpinnya yang mengidap penyakit kronis berupa KKN. Kehidupan yang individualistis (nafsi-nafsi) egoistis (mementingkan diri sendiri) dan apatis (masa bodoh terhadap orang lain) adalah cerminan masyarakat yang tidak menegakkan ukhuwah Islamiyah.

Contohnya kehidupan di masyarakat metropolis atau kosmopolis ada seorang tunawisma yang meninggal di dekat tempat sampah lalu di bawa ke RSCM akhirnya dikuburkan tanpa kehadiran sanak saudaranya. Atau orang-orang tua yang ditaruh di panti-panti jompo. Jarang dijenguk dan menjalani proses sakaratul maut sendirian tanpa didampingi atau ditalkinkan anak-cucu. Benar-benar mengenaskan. Sulit kita membayangkan keridhaan dan keberkahan Allah Taala akan tercurah kepada masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kebaikan tersebut.

Rasulullah mengatakan bukan dari golongan kami orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan. Begitu pula di hadits lain “Bukan golongan kami orang yang tidak peduli pada urusan orang Islam

Jadi sifat itsar sangat penting untuk memerangi sifat-sifat buruk seperti egois, kikir, individualis dsb serta menumbuhsuburkan sifat-sifat mulia seperti peduli, empati, pemurah dll.

Keutamaan orang yang berbuat itsar di dunia ia akan dicintai oleh orang-orang yang pernah merasakan kebaikannya dan mempererat ukhuwah serta di akhirat nanti akan mendapatkan mimbar terbuat dari cahaya, naungan dan lindungan Allah Taala serta Al-Jannah (surga)

c. Itsar generasi salafus shalih

Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia.” Dan beliau dengan pujian Allah Taala dalam QS 68:4 dan QS 9:128 yang sudah dicantumkan di bagian terdahulu tulisan ini menggambarkan sosok beliau yang mudah berempati, peka dan peduli terhadap penderitaan orang lain. Kemudian selalu menginginkan kebaikan bagi orang lain dan bersifat santun serta kasih sayang terhadap mukmin.

Bukti kemampuan berempati beliau, terlihat saat beliau segera tahu bahwa Abu Hurairah kelaparan tanpa harus diberitahu, padahal sebelumnya Abu Bakar dan Umar pun tak bisa menangkap sinyal-sinyal Abu Hurairah butuh bantuan.

Beliau tidak pernah menolak siapa saja yang minta bantuan dan pertolongan beliau padahal beliau sendiri sering kelaparan seperti nampak pada kisah beliau, Abu Bakar dan Umar ra sama-sama lapar dan dijamu makan oleh Abu Ayyub Al Anshari. Beliau meneteskan air mata kemudian berucap, “Kelak kalian akan ditanya akan nikmat ini, ketika kalian pergi dari rumah dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang”

Beliau hidup sangat sederhana dan tidur di atas tikar jerami sampai Umar menangis melihatnya dan Fatimah kelak bersyair di tepi kuburan bapaknya, “Ya ayahhandaku punggungnya penuh dengan bilur-bilur tikar”. Tetapi beliau tidak mau tikarnya itu dilipat terlalu banyak di bagian atasnya sebagai bantal karena takut tidurnya terlalu nyenyak bila terlalu empuk, sehingga khawatir tidak bisa bangun shalat malam.

Rasulullah juga menegaskan bahwa dunia bukan dari dan untuk keluarga Muhammad di saat Fatimah mendapat perhiasan, bagian dari rampasan perang hingga akhirnya putrinya mengembalikannya. Ia juga menasihati Fatimah dan Ali dengan bacaan-bacaan dzikir pada saat mereka minta khadimah dari tawanan perang. Rasulullah juga menghukum keras istri-istrinya yang meminta penghidupan (maisah) yang lebih dan perhiasan dengan cara mengasingkan diri selama sebulan hingga akhirnya Allah menawarkan opsi dalam wahyu-Nya di surat At Tahrim. Apakah istri-istri nabi tersebut memilih nabi dan kehidupan akhirat ataukah dunia. Tentu saja mereka memilih Rasulullah dan surga kelak walaupun kini hidup prihatin di dunia. Terlihat betapa Rasulullah lebih mementingkan yang lain ketimbang diri dan keluarganya karena pada saat yang bersamaan beliau ridha saja para sahabat dan istri-istrinya hidup berkecukupan dan memakai perhiasan hasil rampasan perang serta memiliki khadimah.

Bahkan sampai di saat-saat terakhir kehidupannya pun beliau tetap memikirkan umatnya dan bukan dirinya dan keluarganya sehingga ia tidak mewariskan apa-apa bagi keluarganya. Ucapan yang keluar dari mulut beliau di akhir kehidupannya adalah, “Ummati….Ummati….” (Umatku…Umatku…)

Keteladanan Rasulullah saw. dalam hal tersebut ternyata membias pula pada sahabat-sahabat yang utama seperti Abu Bakar, Abu Thalhah atau istri-istri beliau seperti Khadijah, Aisyah dan Zainab binti Jahsy serta Saudah binti Zum’ah.

Suatu saat ketika terjadi pengumpulan dana untuk berjihad fisabilillah semua sahabat berlomba-lomba untuk menginfaqkan segala yang dimilikinya.Termasuk sahabat-sahabat yang utama seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Kemudian Rasulullah bertanya kepada Umar, “Bagitu banyak yang kau infaqkan Umar, adakah yang tersisa untuk keluargamu?” Umar pun lalu menjawab, “Sebanyak itu pula ya Rasulullah”. Jadi istilahnya fifty-fifty, atau separuh-separuh. Jawaban seperti itu pun meluncur pula dari lidah Utsman ketika ditanya juga oleh Rasulullah dengan pertanyaan yang sama. Namun tatkala pertanyaan tersebut diajukan kepada Abu Bakar As shidiq ra, jawabannya sungguh mencengangkan dan menimbulkan decak kagum.

“Untuk keluargaku kutinggalkan Allah dan Rasulnya” Artinya keseluruhannya (100%) diinfaqannya di jalan Allah, sedangkan urusan keluarganya ia pasrahkan kepada Allah. Umar sampai berucap, “Sungguh aku tak akan bisa mengalahkan Abu Bakar selama-lamanya

Begitu pula, pada saat Abu Bakar pergi hijrah mendampingi Rasulullah. Dananya dihabiskan untuk membiayai kepergiannya hijrah bersama Rasulullah. Namun istri dan putri-putrinya memang luar biasa pula. Ketika kakek Asma atau ayah Abu Bakar yakni Abu Quhafah marah-marah kepada Abu Bakar yang dianggapnya tidak bertanggung jawab meninggalkan keluarganya begitu saja, maka Asma menenangkan kakeknya yang buta itu dengan memperdengarkan bunyi kerikil-kerikil seolah itu kepingan dirham yang banyak. “Tenang saja kek, ayah tidak menyia-nyiakan kami”, ujar Asma. Barulah Abu Quhafah menjadi tenang.

Ada lagi kisah itsar yang sangat indah dan diabadikan oleh Allah dalam QS Al-Hasyr ayat 8 dan 9. Dalam terjemah singkat tafsir Ibnu Katsier jilid 8 diungkap tentang itsar yang ditunjukkan orang-orang Anshar terhadap saudara-saudara mereka kaum muhajirin (QS 59:8)

Demi iman dan pembuktiannya kaum muhajirin meninggalkan sanak saudaranya, harta benda, dan kampung halamannya. Seperti Shuaib bin Sinan Ar Rumy yang dihadang dan dipaksa menyerahkan seluruh harta bendanya, dan Rasulullah saw. bersabda : ‘Beruntunglah Abu Yahya (Shuaib) dengan perniagaannya (artinya rela melepas harta benda dunia dengan keridhoan Allah da Rasul-Nya).

Ukhuwah Islamiyah yang dilandasi iman membuat suku Aus dan Khazraj di Yatsrib (kemudian menjadi Madinah) yang dahulunya bertikai menjadi damai dan bersaudara (QS 3:103) Kemudian, membuat kaum muhajirin yang datang dari Mekkah bersatu dengan kaum Anshar (penduduk asli Yatsrib) yang bersedia menolong dan menampung saudara-saudara seiman tersebut.

Ketika sahabat-sahabat Nabi saw. kaum muhajirin tiba di Yatsrib (Madinah), mereka segera dipersaudarakan dengan orang-orang Anshar. Di antaranya Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Raby yang kemudian menawarkan separuh hartanya dan 1 dari 2 istrinya untuk Abdurrahman bin Auf. Jika Sa’ad memiliki sifat itsar, maka kebalikannya Abdurrahman bin Auf memiliki sifat iffah (memelihara diri dari meminta-minta). Ia menolak halus tawaran Sa’ad bin Raby dan hanya minta ditunjukkan pasar. Ia pun berusaha sampai berhasil dalam perniagaannya bahkan merintis dan membangun pasar Ukaz yang menandingi pasarnya Yahudi.

Di ayat kesembilannya disebutkan ada orang Anshar yang tulus mencintai, tanpa pamrih dan dan mengutamakan kawan lebih dari diri sendiri, meskipun mereka merasa lapar. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah orang yang berbahagia dan beruntung.

Dalam hadits riwayat muslim dari Abu Hurairah, sepasang suami istri yang memenuhi perintah Rasulullah untuk memberi makan musafir yang kelaparan itu adalah Abu Thalhah dan Ummu Sulaim/ Rumaisha binti Milhan. Mereka sendiri malam itu segera menidurkan anak-anak mereka yang lapar dan berpura-pura makan agar tamu mereka makan dengan tenang. Padahal yang sedang disantap oleh tamu mereka itu adalah saru porsi terakhir yang mereka miliki hari itu.

Di ayat 9 tersebut Allah menegaskan “Wa yu’ tsiruuna alaa anfusihim walau kana bihim khashan’shah” (mereka itsar terhadap orang lain dibanding ke diri mereka sendiri walaupun mereka sendiri kelaparan)

Ketika keesokan hari Rasulullah berjumpa dengan Abu Thalhah, beliau bersabda, “Sungguh Allah sangat gembira (tersenyum) menyaksikan perbuatan Anda berdua

Hampir kesemua istri Nabi saw. menunjukkan sifat pemurah dan itsarnya. Istri pertama yang paling dicintainya, dan tak pernah dapat dilupakannya: Khadijah menunjukkan itsar saat Rasulullah meminta pembantu Kahdijah: Zaid bin Haritsah untuk menjadi pembantunya. Beliau juga menginfqkan seluruh harta kekayaannya untuk perjuangan fisabilillah menyebarkan agama Islam.

Istri Rasulullah seperti Zainab binti Jahsy yang pandai berwiraniaga juga terkenal dermawan dan suka membantu orang lain. Saudah bunti Zum’ah istri Rasulullah yang walaupun hanya berjualan roti kuah ala Thaif pun ikut berinfaq dengan hasil dagangannya.

Ummul mukminin Aisyah ra yang terkenal kepandaiannya sekaligus juga kedermawanannya pernah mendapat uang 40.000 dirham dari baitul mal. Oleh Aisyah harta itu segera di bagi-bagikan kepada fakir miskin sampai-sampai lupa menyisihkan sedikit saja untuk dirinya. Sampai ditegur Ummu Burdah yang membantunya, “Ya Ummul mukminin kenapa tak kau sisihkan sedikit saja untuk membeli makanan berbuka, bukankah engkau sedang berpuasa,” “Ya Ummu Burdah, kenapa tadi tak kau ingatkan”, jawab Aisyah tenang.

Kisah itsar yang sangat heroik terjadi pada saat perang Yarmuk. Ikrimah bin Abu Jahl seorang mujahid bersama dua sahabat yang lain terbaring dengan luka-luka sangat parah. Ketika seorang sahabat hendak memberinya minum, ia menolak dan menyuruh air itu diberikan ke teman di sebelahnya. Ketika air itu akan diberikan kesebelahnya, orang tersebut juga menyuruh diberikan lagi ke sebelahnya pula. Ia memilih mengalah pula pada saat-saat yang penting tersebut. Namun orang ketiga yang dimaksud sudah meninggal, ketika kembali lagi si pemberi minum ke sahabat yang tengah, ternyata ia sudah syahid juga. Dan ketika beranjak ke Ikrimah, ia pun telah syahid. Subhanallah dalam detik-detik terakhir kehidupan atau di saat-saat kritis sekalipun mereka tetap menjaga itsar mereka.

 

Penutup

Hal yang sangat kontras terjadi pada kita, saat kita menoleh ke kondisi umat Islam saat ini yang terpecah-pecah, tercabik-cabik dan terkotak-kotak.

Doa Nabi saw. yang dikabulkan saat meminta umatnya diselamatkan dari bahaya banjir dan kelaparan dan tidak dikabulkan saat meminta umatnya diselamatkan dari bahaya perpecahan, seyogianya membuat kita berfikir bahwa kerja mempersatukan umat adalah kerja besar yang harus diikhtiarkan secara maksimal baru kemudian Allah berkenan membantu (QS 13:11)

Bila kita melihat QS 3:103, nyata jelas bahwa hanya dengan sama-sama I’tisham bi hablillah (berpegang teguh di jalan Allah) sajalah, persatuan hati dan persaudaraan akan terwujud.

Wallahu a’lam.

ISTIQOMAH

Setiap muslim yang telah berikrar bahwa Allah Rabbnya, Islam agamanya dan Muhammad rasulnya, harus senantiasa memahami arti ikrar ini dan mampu merealisasikan nilai-nilainya dalam realitas kehidupannya. Setiap dimensi kehidupannya harus terwarnai dengan nilai-nilai tersebut baik dalam kondisi aman maupun terancam. Namun dalam realitas kehidupan dan fenomena umat, kita menyadari bahwa tidak setiap orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam mampu meimplementasikan dalam seluruh sisi-sisi kehidupannya. Dan orang yang mampu mengimplementasikannya belum tentu bisa bertahan sesuai yang diharapkan Islam, yaitu komitmen dan istiqomah dalam memegang ajarannya dalam sepanjang perjalanan hidupnya.

Maka istiqomah dalam memegang tali Islam merupakan kewajiban asasi dan sebuah keniscayaan bagi hamba-hamba Allah yang menginginkan husnul khatimah dan harapan-harapan surgaNya. Rasulullah saw bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَارِبُوا وَسَدِّدُوا وَاعْلَمُوا أَنَّهُ لَنْ يَنْجُوَ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِعَمَلِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْتَ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ رواه مسلم

“Rasulullah saw bersabda, “Berlaku moderatlah dan beristiqamah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga kamu Ya … Rasulullah, Beliau bersabda, “Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerah-Nya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)

Istiqamah bukan hanya diperintahkan kepada manusia biasa saja, akan tetapi istiqamah ini juga diperintahkan kepada manusia-manusia besar sepanjang sejarah peradaban dunia, yaitu para Nabi dan Rasul. Perhatikan ayat berikut ini;

“Maka tetaplah (istiqamahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS 11:112)

DEFENISI

Istiqamah adalah anonim dari thughyan (penyimpangan atau melampaui batas). Ia bisa berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena akar kata istiqamah dari kata “qooma” yang berarti berdiri. Maka secara etimologi, istiqamah berarti tegak lurus. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.

Secara terminologi, istiqamah bisa diartikan dengan beberapa pengertian berikut ini;

* Abu Bakar As-Shiddiq ra ketika ditanya tentang istiqamah ia menjawab; bahwa istiqamah adalah kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan siapa pun)
* Umar bin Khattab ra berkata, “Istiqamah adalah komitment terhadap perintah dan larangan dan tidak boleh menipu sebagaimana tipuan musang”
* Utsman bin Affan ra berkata, “Istiqamah adalah mengikhlaskan amal kepada Allah swt”
* Ali bin Abu Thalib ra berkata, “Istiqamah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban”
* Al-Hasan berkata, “Istiqamah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan”
* Mujahid berkata, “Istiqamah adalah komitmen terhadap syahadat tauhid sampai bertemu dengan Allah swt”
* Ibnu Taimiah berkata, “Mereka beristiqamah dalam mencintai dan beribadah kepada-Nya tanpa menengok kiri kanan”

Jadi muslim yang beristiqamah adalah muslim yang selalu mempertahankan keimanan dan akidahnya dalam situasi dan kondisi apapun. Ia bak batu karang yang tegar menghadapi gempuran ombak-ombak yang datang silih berganti. Ia tidak mudah loyo atau mengalami futur dan degradasi dalam perjalanan dakwah. Ia senantiasa sabar dalam menghadapi seluruh godaan dalam medan dakwah yang diembannya. Meskipun tahapan dakwah dan tokoh sentralnya mengalami perubahan. Itulah manusia muslim yang sesungguhnya, selalu istiqamah dalam sepanjang jalan dan di seluruh tahapan-tahapan dakwah.

DALIL-DALIL DAN DASAR ISTIQOMAH

Dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah saw banyak sekali ayat dan hadits yang berkaitan dengan masalah istiqamah di antaranya adalah;

“Maka tetaplah (istiqamahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS 11:112)

Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Rasullah dan orang-orang yang bertaubat bersamanya harus beristiqomah sebagaimana yang telah diperintahkan. Istiqomah dalam mabda (dasar atau awal pemberangkatan), minhaj dan hadaf (tujuan) yang digariskan dan tidak boleh menyimpang dari perintah-perintah ilahiah.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS 41: 30-32)

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya;

sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.(QS 46:13-14)

Empat ayat di atas menggambarkan urgensi istiqamah setelah beriman dan pahala besar yang dijanjikan Allah SWT seperti hilangnya rasa takut, sirnanya kesedihan dan surga bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai keimanan dalam setiap kondisi atau situasi apapun. Hal ini juga dikuatkan beberapa hadits nabi di bawah ini;

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ رواه مسلم

“Aku berkata, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang aku tidak akan bertanya kepada seorang pun selain engkau. Beliau bersabda, “Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamahlah (jangan menyimpang).” (HR Muslim dari Sufyan bin Abdullah)

“Rasulullah saw bersabda, “Berlaku moderatlah dan beristiqomah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorangpun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga Anda Ya … Rasulullah, Beliau bersabda, “Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerahNya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)

Selain ayat-ayat dan beberapa hadits di atas, ada beberapa pernyataan ulama tentang urgensi istiqamah sebagaimana berikut;

Sebagian orang-orang arif berkata, “Jadilah kamu orang yang memiliki istiqomah, tidak menjadi orang yang mencari karomah. Karena sesungguhnya dirimu bergerak untuk mencari karomah sementara Robbmu menuntutmu untuk beristiqomah.”

Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sebesar-besar karomah adalah memegang istiqamah.”

FAKTOR-FAKTOR YANG MELAHIRKAN ISTIQOMAH

Ibnu Qayyim dalam “Madaarijus Salikiin” menjelaskan bahwa ada enam faktor yang mampu melahirkan istiqomah dalam jiwa seseorang sebagaimana berikut;

-Beramal dan melakukan optimalisasi

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (QS 22:78)

-Berlaku moderat antara tindakan melampui batas dan menyia-nyiakan

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS 25:67)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ

Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami kefuturan (keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka”(HR Imam Ahmad dari sahabat Anshar)

-Tidak melampui batas yang telah digariskan ilmu pengetahuannya

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban.” (QS 17:36)

-Tidak menyandarkan pada faktor kontemporal, melainkan bersandar pada sesuatu yang jelas

-Ikhlas

“Padahal mereka tidak disuruh melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang

lurus.” (QS 98:5)

-Mengikuti Sunnah, Rasulullah saw bersabda, “Siapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perbedaan yang keras, maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidin (yang lurus), gigitlah ia dengan gigi taringmu.”(Abu Daud dari Al-Irbadl bin Sariah)

Imam Sufyan berkata, “Tidak diterima suatu perkataan kecuali bila ia disertai amal, dan tidaklah lurus perkataan dan amal kecuali dengan niat, dan tidaklah lurus perkataan, amal dan niat kecuali bila sesuai dengan sunnah.”

DAMPAK POSITIF DAN BUAH ISTIQOMAH

Manusia muslim yang beristiqomah dan yang selalu berkomitmen dengan nilai-nilai kebenaran Islam dalam seluruh aspek hidupnya akan merasakan dampaknya yang positif dan buahnya yang lezat sepanjang hidupnya. Adapun dampak dan buah istiqomah sebagai berikut;

a-Keberanian (Syaja’ah)

Muslim yang selalu istiqomah dalam hidupnya ia akan memiliki keberanian yang luar biasa. Ia tidak akan gentar menghadapi segala rintangan dakwah. Ia tidak akan pernah menjadi seorang pengecut dan pengkhianat dalam hutan belantara perjuangan. Selain itu jugaberbeda dengan orang yang di dalam hatinya ada penyakit nifaq yang senantiasa menimbulkan kegamangan dalam melangkah dan kekuatiran serta ketakutan dalam menghadapi rintangan-rintangan dakwah. Perhatikan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 52 di bawah ini;

“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, “Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”

Dan kita bisa melihat kembali keberanian para sahabat dan para kader dakwah dalam hal ini;

-Ketika Rasulullah saw menawarkan pedang kepada para sahabat dalam perang Uhud, seketika Abu Dujanah berkata, “Aku yang akan memenuhi haknya, kemudian membawa pedang itu dan menebaskan ke kepala orang-orang musyrik.” (HR Muslim)

-Pada saat seorang sahabat mendapat jawaban dari Rasulullah saw bahwasanya ia masuk surga kalau mati terbunuh dalam medan pertempuran, maka ia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya lagi seraya melempar kurma yang ada di genggamannya kemudian ia meluncur ke medan pertempuran dan akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan yaitu, syahadah (mati syahid). (Muttafaqun Alaih)

-Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abu Thalib setelah ia menerima bendera Islam dalam peperangan Khaibar sebagai berikut, “Jalanlah, jangan menoleh sehingga Allah SWT memberikan kemenangan kepada kamu.” Lantas Ali berjalan, kemudian berhenti sejenak dan tidak menoleh seraya bertanya dengan suara yang keras; “Ya Rasulullah atas dasar apa aku memerangi manusia?” Beliau bersabda, “Perangi mereka sampai bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah……” (HR Muslim)

Inilah gambaran keberanian para sahabat yang lahir dari keistiqomahannya yang harus diteladani oleh generasi-generasi penerus dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan Islam.

b-Ithmi’nan (ketenangan)

Keimanan seorang muslim yang telah sampai pada tangga kesempurnaan akan melahirkan tsabat dan istiqomah dalam medan perjuangan. Tsabat dan istiqomah sendiri akan melahirkan ketenangan, kedamaian dan kebahagian. Meskipun ia melalui rintangan dakwah yang panjang, melewati jalan terjal perjuangan dan menapak tilas lika-liku belantara hutan perjuangan. Karena ia yakin bahwa inilah jalan yang pernah ditempuh oleh hamba-hamba Allah yang agung yaitu para Nabi, Rasul, generasi terbaik setelahnya dan generasi yang bertekad membawa obor estafet dakwahnya. Perhatikan firman Allah di bawah ini;

“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepadamusuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.”(QS 3:146)

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS 6:82)

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS 13:28)

c-Tafa’ul (optimis)

Keistiqomahan yang dimiliki seorang muslim juga melahirkan sikap optimis. Ia jauh dari sikap pesimis dalam menjalani dan mengarungi lautan kehidupan. Ia senantiasa tidak pernah merasa lelah dan gelisah yang akhirnya melahirkan frustasi dalam menjalani kehidupannya. Kefuturan yang mencoba mengusik jiwa, kegalauan yang ingin mencabik jiwa mutmainnahnya dan kegelisahan yang menghantui benaknya akan terobati dengan keyakinannya kepada kehendak dan putusan-putusan ilahiah. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh beberapa ayat di bawah ini;

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS 57:22-23)

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.(QS 12: 87)

Ibrahim berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat”.(QS 15:56)

Maka dengan tiga buah istiqomah ini, seorang muslim akan selalu mendapatkan kemenangan dan merasakan kebahagiaan, baik yang ada di dunia maupun yang dijanjikan nanti di akherat kelak. Perhatikan ayat di bawah ini;

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat;di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta.Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS 41:30-32)

Ya Allah istiqamahkan kami di dalam Islam

Ya Allah istiqamahkan kami di dalam Amal

Ya Allah istiqamahkan kami di dalam Menegakkan Kebenaran

Ya Allah istiqamahkan kami di dalam Berdakwah

Ya Allah istiqamahkan kami menjadi pembela-pembela kebenaran.

Matikan kami dalam keridhaan dan ampunanmu.

BERINTERAKSI TANPA TERKONTAMINASI

Manusia di muka bumi ini mempunyai misi yang jelas dan pasti. Misi yang merupakan tujuan asasi di mana ia diciptakan di atasnya. Ada tiga misi yang bersifat given (‘atho’ rabbani) yang diemban manusia; yaitu misi utama untuk beribadah (QS 51:56), misi fungsional sebagai kholifah (QS 2:30) dan misi oprasional untuk memakmurkan bumi (QS 11:61). Namun keberlangsungan dan kelestarian misi ini secara benar apabila manusia mau mendengar dan mentaati risalah yang di bawa para Rasul. Hanya saja tidak semua manusia mengikuti dan menerima seruan mereka, bahkan sebagian besar dari manusia ini mendustakan dan mengingkari risalah ilahiah yang dibawanya. Allah berfirman;

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. 16:36)

Maka, manusia yang mampu menerjemahkan tiga misi tersebut ke dalam bahasa lisan, tindakan dan sikap adalah manusia yang beriman kepada Allah SWT. Manusia yang senantiasa merespon seruan dan khithob rabbani dengan hanya mengucapkan kalimat ini; “sami’naa wa atho’naa”. Inilah syi’ar kehidupan manusia qurani dan rabbani. Hamba-hamba Allah yang akan dijanjikan kepada mereka “istikhlaf” di bumi-Nya. Allah berfirman;

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. 24:51)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (QS. 24:55)

Berdasarkan ayat di atas bisa kita konklusikan bahwa umat Islamlah yang diberi beban amanah ilahiah dan yang sanggup mengimplementasikannya ke dalam seluruh dimensi kehidupan. Maka umat Islamlah yang seharusnya memimpin dunia, yang berkewajiban mengajarkan manusia tentang system ilahiah dan membimbingnya untuk melakukan islamisasi dalam kehidupannya secara totalitas sehingga mereka benar-benar bisa keluar dari kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam. Renungkan apa yang telah dikatakan seorang jundi, Rib’I bin Amir kepada Rustum, panglima Persia dalam perang Qodisiah, ketika ia bertanya:“Gerangan apa yang membuat anda datang ke negeri kami?”, lalu ia menjawab dengan kalimat ini;

“Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia yang dikehendaki-Nya dari penghambaan hamba menuju pengabdian kepada Allah semata, dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia dan akhirat dan dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”

Oleh karenanya, tugas ini bukanlah tugas yang ringan dan juz-iah (parsial) atau sampingan tanpa dibarengi dengan usaha-usaha maksimal. Akan tetapi tugas atau dakwah ini merupakan urusan yang besar nan agung, urusan yang berkaitan dengan pembentukan syakshiah islamiah, kelestarian system-sistem ilahiah dan kebahagian manusia di dunia dan akhirat. Sayyid Qutb mengatakan: “Barangsiapa menganggap ringan kewajiban (dakwah) ini, padahal ia merupakan kewajiban yang dapat mematahkan tulang punggung dan membuat orang gemetar, maka ia tidak bisa melaksanakan secara kontinu kecuali atas pertolongan Allah. Ia tidak akan bisa memikul dakwah kecuali atas bantuan Allah SWT dan tidak akan bisa teguh di atasnya kecuali dengan keikhlasan pada-Nya. Orang yang berada di jalan ini siangnya berpuasa, malamnya qiyam (shalat) dan ucapannya penuh dengan dzikir. Sungguh hidup dan matinya hanya untuk Allah Rabbal Alamin, yang tiada sekutu bagi-Nya.” (Tafsir Fii Zhilaalil Qur’an, Sayyid Qutb)  

Dan untuk mensukseskan amanat yang agung ini perlu dibutuhkan manusia-manusia yang memiliki iman yang kuat, keikhlasan, hamasah yang membara dan tadhhiat serta amal yang mustamir (kontinu). Sehingga nilai-nilai kebenaran Islam yang termuat dalam gerbong dakwah benar-benar terealisir dan bisa dirasakan oleh semua manusia.

 

URGENSI BERDAKWAH

Berdakwah yang bertujuan dan berorientasi kepada perbaikan individu muslim, pembentukan keluarga muslim, pembinaan masyarakat Islam, pembebasan tanah air dari hegemoni asing, perbaikan hukumah (pemerintah) agar menjadi hukumah islamiah yang senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat dan menjadi “ustadziatul ‘alaam” (soko guru dunia) merupakan risalat para Nabi dan Rasul. Di mana setiap Nabi berkewajiban mendakwahkan apa-apa yang telah diterima sebagai wahyu dari Allah -azza wa jalla- kepada umatnya. Ia harus mentablighkan risalat ilahiah ini dengan penuh amanah, kejujuran, kecerdasan dan kesabaran di tengah masyarakatnya. Allah berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. 16:36)   

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. (QS. 33:45-46)

Berdakwah juga merupakan kewajiban syar’I yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam berdasarkan beberapa dalil berikut ini;

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104)

Ayat ini secara jelas menunjukkan wajibnya berdakwah, karena ada “lam amr” di kalimat “wal takun”. Begitu juga Rasulullah SAW bersabda: “Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat.” Hadits ini secara eksplisit menisyaratkan bahwa setiap muslim harus mentablighkan apa-apa yang telah di bawa Rasulullah Saw kepada seluruh manusia, walaupun hanya satu ayat ataupun satu hadits.

“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. 5:63)

Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa ia berkata: “Tidak ada di dalam Al-Quran suatu ayat yang lebih keras mengolok-olok daripada ayat ini.”  (Tafsir Ibnu Jarir). Sedangkan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata: “Ali bin Abi Thalib pernah berkhotbah, setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, ia berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya umat sebelum kamu itu hancur disebabkan mereka berbuat maksiat sedangkan orang-orang alim dan para pendeta mereka tidak melarangnya sampai akhirnya ditimpa siksa di saat mereka terus menerus asyik dalam kemaksiatannya. Oleh karena itu, perintahkanlah mereka untuk berbuat makruf dan cegahlah mereka dari kemungkaran sebelum turun kepada adzab seperti yang turun kepada mereka. Ketahuilah bahwasanya amar makruf dan nahi mungkar itu tidak akan memutuskan rizki dan tidak pula mendekatkan ajal.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/74)

Berkaitan dengan masalah ini, Allah juga menggambarkan fenomena masyarakat mukmin yang selalu melakukan ta’wun dan amar ma’ruf nahi munkar di antara mereka. Allah berfirman;

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. 9:71)

Sebagaimana dakwah itu merupakan kewajiban syar’I, ia juga merupakan kebutuhan masyarakat. Karena dengan dakwah, masyarakat mampu memahami nilai-nilai kebenaran Islam, mampu membedakan antara yang hak dan yang batil dan akhirnya mereka bisa mengaplikasikan ajaran Islam ini lewat sentuhan lembut tangan para da’I yang bijak, para penunjuk jalan yang tegar dan para muballigh yang sabar. Dakwah merupakan muara segala kebaikan, benteng penangkal siksa dan escalator yang menghantarkan do’a para hamba.mi’raj kepada Rabbnya. Rasulullah SAW bersabda:

“Demi Dzat yang mana jiwaku ada pada Tangan-Nya, sungguh kamu harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar atau Allah akan menimpakan kepada kamu adzab, kemudian kamu berdo’a maka do’a itu tidak akan dikabulkan.” (HR at-Tirmidzi, hadits hasan)

Jadi, jelaslah bahwasanya setiap muslim yang sadar dengan identitasnya, ia harus berpartisipasi dalam mengemban amanah dakwah ini. Apalagi kita sebagai pemuda atau orang tua yang berjiwa muda, ia harus dinamis membangun jaringan dakwah dan pro aktif untuk ikut memperbaiki masyarakatnya. Imam Syafi’I dalam antologi puisinya berkata:

“Siapa yang tidak mau ta’lim (dakwah/membina) pada masa mudanya, maka takbirkan kepadanya empat kali takbir. Karena ia telah (mati sebelum ia mati).”

Maka Setiap ucapan, gerak dan tindakan seorang akh yang telah bergabung dalam dakwah ini harus benar-benar mencerminkan nilai-nilai Islam dan harus mampu menjadi pesona Islam di tengah-tengah masyarakatnya.

NAKHTALITHU WA LAAKIN NATAMAYYAZU

Nakhtalithu (bergumul dan berinteraksi)

Setelah kita memahami dengan benar urgensi dakwah di atas, maka tidak boleh ada sebagian kita yang hanya berpangku tangan, menikmati rehat yang berlebihan dan tidak boleh lagi ada seorang akh yang mengatakan kalimat ini; “Pergilah kamu sendiri ke medan dakwah, aku di sini menunggu natijah akhirnya saja.” Sebagaimana yang telah diabadikan Al-Quran dalam sebuah ayatnya tentang ungkapan Bani Israel kepada Nabinya, Musa as. Allah berfirman;

“Mereka berkata:”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”. (QS. 5:24)

Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Bani Israel takut turun ke medan pertempuran menghadapi musuh-musuh Allah, takut akan kematian, takut memikul beban berat dakwah dan membiarkan qiyadah berjuang sendirian dalam liku-liku terjal medan dakwa dan perjuangan. Inilah sebuah pengkhianatan jundiah terhadap qiyadah, sebuah bingkai kedustaan di antara mereka untuk menolong syari’at Allah dan agama-Nya dan sebuah pengingkaran terhadap nilai kebenaran dan jalan kebaikan yang dipilihnya. Haihaata, haihaata (jauh dan jauh) perbedaannya antara Bani Israel dengan sahabat-sahabat Rasulullah, di saat menghadapi Kuffar Quraisy dalam perang Badar. Di mana Abu Bakar bersama sebagian besar sahabat Muhajirin dan Anshor (Sa’ad bin Mu’adz dan al-Miqdad bin ‘Amr al-Kindy) begitu semangat mendukung keinginan Rasulullah untuk maju dalam medan pertempuran. Sebagian mereka mengatakan: “… Demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan haq, sekiranya kita berjumpa dengan lautan kemudian engkau menyeberanginya niscaya kami akan bersamamu. Tidak ada seorangpun yang boleh tertinggal. Kami juga tidak suka menunda peretempuran sampai besok. Sungguh kami adalah orang-orang yang sabar dalam pertempuran….”

Dan sebagian yang lain berkata: “Demi Allah …. Wahai Rasulullah, kami tidak akan mengatakan sebagaimana yang pernah dikatakan Bani Israel kepada Musa; “idzhab anta wa rabbuka faqootilaa innaa haa hunaa qoo’iduun”, akan tetapi kami akan berperang bersamamu, kami tetap berda di sampingmu, kanan, kiri depan maupun belakang.” (Mukhtahor Tafsir Ibnu Katsir, II/503)

Oleh karenanya, setelah kita mampu mengishlah diri kita dan mempersiapkan bekal dakwah yang memadai baik secara jasadiah, ruhiah maupun aqliah, maka kita harus “nakhtalith” (bergumul dan berinteraksi) dengan masyarakat untuk menyerukan nilai-nilai kebenaran Islam yang termuat dalam gerbong dakwah kita. Kita harus pro aktif melakukan interaksi social di tengah-tengah masyarakat untuk menebarkan cahaya Islam. Karena kita tidak boleh berhenti di saat kita sampai terminal kesalehan pribadi. Namun kita dituntut terus menerus mentransfer nilai-nilai kesalehan yang ada di terminal ini ke terminal selanjutnya, yaitu terminal kesalehan social. Ingat syi’ar dakwah kita adalah kalimat ini; “Ashlih nafsaka awwalan wad’u ghairaka tsanian.” Artinya setiap kita setelah mampu melakukan perbaikan diri harus menyeru dan mengajak orang lain untuk kembali kepada nilai-nilai Islam. Agar mereka sama-sama merasakan lezatnya beriman dan bertakwa dalam shaf dakwah.

Dan inilah sosok pribadi muslim yang diharapkan oleh Islam. Manusia muslim yang senantiasa berjalan dan bergumul di tengah-tengah masyarakat dengan cahaya Islam. Perhatikan ayat di bawah ini;

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya.” (QS. 6:122)

Ustadz al-Bahy al-Khuly dalam “Tadzkiraat ad-Du’aat” mengingatkan kepada seorang akh yang telah bergabung dalam dakwah ini, sedangkan ia masih ada kegamangan dan keraguan untuk memikul beban berat mas’uliah dakwah. “Kami berkata: “Kenapa kamu ini, tidakkah kamu ingin menjadi da’iah. Sementara kami telah menjelaskan sebagian beban-beban dakwah ini. Maka apabila kamu merasa mampu, lakukanlah sesuai dengan kemampuanmu. Dan jikalau tidak, maka sesungguhnya Allah mengabaikan (tidak memperhitungkan) orang-orang semacam kamu. Duduklah bersama barisan orang-orang yang lemah. Dan bertakwalah kepada Allah dalam barisan yang berbahaya ini.” (hal 208)

Dan untuk sampai kepada tujuan akhir yang kita inginkan, dakwah ini harus didukung oleh “katsratul anshor” (banyaknya penolong) yang memiliki kemampuan merekayasa masyarakat dan membentuk “ar-rakyul ‘aam” (opini umum). Hal ini mustahil bisa kita realisasikan tanpa ada usaha dan upaya maksimal dalam menjaring dan merekrut obyek dakwah yang ada di masyarakat. Dan tausi’ah (perekrutan) ini, tidaklah berhasil kecuali kita harus bergumul dan berinteraksi (ikhtilath) di tengah-tengah ummat. Jadi bergumul dengan masyarakat dalam qaidah dakwah kita merupakan suatu keniscayaan sekaligus kewajiban yang tidak mungkin diabaikan oleh kader-kader dakwah ini. Mungkinkah melahirkan generasi-generasi rabbani dengan berpangku tangan?, membangun umat dengan berdiam di rumah tanpa melakukan gerakan dan aktifitas?, dan mungkinkah menuju ustadziatul ‘alam dengan kemalasan, statis dan rehat yang berlebihan?.

Oleh karenanya, dalam melahirkan dan menjaring generasi-generasi rabbani dan generasi penolong-penolong agama harus ada gerakan dakwah yang terorganisir serta dibarengi dengan kehendak yang kuat, kehendak yang tidak pernah mengenal kejenuhan dan kelemahan. Harus ada “wafa’ tsabit” yang tidak pernah mengenal kepura-puraan dan pengkhianatan. Harus ada tadhhiat (pengorbanan) luhur yang tidak pernah mengharapkan imbalan dan harus diiringi dengan pemahaman yang benar tentang “mabda” (dasar atau prinsip) dakwah ini. Perhatikan ungkapan sang Da’I di bawah ini;

“Sesungguhnya tujuan akhir dan natijah yang sempurna tidak pernah terealisir kecuali setelah (adanya tiga kekuatan ini); “‘umuumud di’aayat” (gencarnya dan tersebarnya pesan sponsor dakwah yang membentuk opini umum), “katsratul anshaar” (banyaknya pendukung yang mampu membentuk jaringan-jeringan dakwah) dan “matanatut takwiin” (kekokohan pembinaan yang mampu membangun wajihat-wajihat amal)

“Sesungguhnya membangun bangsa, mentarbiah masyarakat, merealisasikan cita-cita dan memperjuangkan serta menancapkan tonggak-tonggak (dakwah) membutuhkan -dari umat atau kelompok yang berusaha atau menyeru kepadanya- minimal kepada kekuatan jiwa yang agung dengan ciri-ciri; (memiliki) iradah qowiah yang tidak pernah melemah, wafa tsabit (kesetiaan yang teguh) yang tidak pernah disusupi kepura-puraan dan pengkhianatan, pengorbanan yang tidak terbatasi oleh keserakahan dan kekikiran, pemahaman, keyakinan dan penghormatan yang tinggi terhadap prinsip atau dasar (dakwah) yang mampu menghidarkannya dari kesalahan, penyimpangan, tawar-menawar dan tertipu oleh prinsip atau ideology lain. Hanya di atas pilar-pilar utama ini-yang sepenuhnya menjadi kekhususan jiwa- dan hanya di atas kekuatan ruhiah yang dahsyiat, prinsip-prinsip dakwah ini dibangun, umat yang sedang bangkit terbina, bangsa yang berjiwa muda terbentuk dan sungai kehidupan terus mengalir dalam jiwa orang-orang yang sekian lama mengalami kekeringan….” (Risalat Ilaa Ayyi Syai-in Nad’u an-Naasa)

Natamayyazu (tampil beda dan istemewa)

Dan di saat berikhtilath (bergumul) dan berdakwah di tengah-tengah masyarakat, kita akan berhadapan dengan beragam sikap, watak, budaya dan nilai-nilai social yang jauh dari bingkai moral keagamaan. Bisa jadi kita berada dalam sebuah lingkungan social yang rentan dengan budaya negatif destruktif dan yang mampu menumbangkan tonggak-tonggak pemikiran serta prinsip yang selama ini kita yakini akan kebenarannya. Sehingga terjadi “idzbatusy syakhsyiah islamiah” dalam diri kita. Kemudian sedikit demi sedikit kita larut dalam kubangan budaya dan kebiasaan yang tidak islami. Dan akhirnya kita lupa akan prinsip-prinsip kebenaran yang selama ini kita bangun. 

Maka meskipun bergumul dengan seluruh segmen masyarakat, kita harus terus menerus mempertahankan prinsip kebenaran Islam. Kita tetap memilki benteng “mumaayazah wa muwaashalah” (pembeda dan pembatas) yang mampu menjembatani antara diri kita dan nilai-nilai destruktif yang ada di masyarakat. Karena prinsip dakwah kita adalah syi’ar ini; “nakhtalithu wa laakin matamayyazu” (berinteraksi tanpa terkontaminasi). Kita tidak boleh mengikuti keinginan-keinginan obyek dakwah yang tidak mencerminkan nilai-nilai Islam atau malahan bertentangan dengannya. Allah berfirman;

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS 5:48)

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. 23:71)

 Sebagai kader dakwah yang menjadi politikus atau yang duduk dalam tiga lembaga tinggi negara harus mampu menjaga “mabadi islamiah” yang berkaitan dengannya, mengutamakan pelayanan masyarakat, menjunjung tinggi prinsip keadilan dan supremasi hokum dan tidak kalah penting menjaga citra identitas keislamannya. Sehingga seorang kader senantiasa berhias dengan etika dan moral islami ketika memmainkan peran dalam lembaga tinggi ini. Dan tidak sebaliknya, bersikap dan bertindak yang tidak mencerminkan sikap seorang kader dan bahkan mencoreng citra serta nilai-nilai luhur Islam.

Sebagai ekonom, entrepreneur dan budayawan muslim, ia harus senantiasa berpegang teguh dengan aturan-aturan yang telah digariskan oleh Islam. Sehingga semua muslim yang terjun dalam berbagai macam dimensi kehidupan tetap menjadi cahaya yang terus menerus menyinari lingkungan sekitarnya. Mereka tidak pernah mendukung  atau ikut-ikutan KKN, mereka tidak terjangkit penyakit dekadensi moral (perselingkuhan, wil & pil, perzinaan dan mabuk/nyimeng) dan mereka juga tidak berfoya-foya serta menghambur-hamburkan uang negara. Sebaliknya, mereka harus bisa menjadi uswatun hasanah terhadap apa yang diserukannya, qudwah hasanah dalam ucapan, perbuatan, sikap keseharian dan harus menjadi model-model muslim yang ideal nan mempesona.

Oleh karenanya, seorang kader sebelum terjun dalam medan dakwah harus membekali dirinya dengan bekal ruhiah yang kokoh selain bekal ilmiah dan menegerial. Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani antara diri seorang kader dengan virus-virus budaya dan moral yang tumbuh bak jamur dalam masyarakat. Sehingga kekuatiran akan munculnya “idzbatu syakhsyiah islamiah” tidak terjadi pada diri seorang kader.    BEBERAPA TIPS UNTUK PARA DA’I

            Persiapan Para Da’I

Seorang da’I sebelum terjun ditengah-tengah masyarakatnya harus memiliki bekal-bekal sebagai berikut:

q       Persiapan ruhiah imaniah yang meliputi;

ü      Memperkuat ibadah amaliah dengan menjaga kewajiban, membiasakan wirid harian, iltizam dengan amalan sunnah dan fadloil ibadah maupun amaliah

ü      Membangun hubungan yang kuat dengan Allah SWT melalui dzikir yang kontinu, melakukan munajat rabbaniah, tahajjud, istislam (pasrah) terhadap segala ketentuan-ketentuan ilahiah dan mempertajam makna hubungan dengan-Nya

ü      Menghidupkan jiwa dan membangun hati yang salim dengan tazkiatunnafs, membangun ibadah-ibadah qolbiah -seperti ikhlas, rasa takut, tawakkal, mahabbah, raja’ dan bertaubat-, menutup pintu-pintu setan –seperti cinta kehidupan, panjang angan-angan, suka rehat, ujub, riya’, takabbur dan thama’- dan mengingat kehidupan akhirat.

q       Persiapan ilmiah tsaqofiah yang meliputi;

ü      Melakukan imunisasi dengan ilmu syar’I

ü      Memperkaya tsaqofah islamiah

ü      Mengkaji pemikiran Islam

ü      Membangun skill dan kebiasan berfikir

q       Persiapan jasadiah yang meliputi;

ü      Menkonsumsi makanan yang halal dan bergizi

ü      Memperhatikan sebab-sebab kekuatan dengan berolah raga

ü      Memperhatikan kesehatan dengan chek up dan mnejaga kebersihan

Sifat-sifat Seorang Da’i

            Dalam buku “Dakwah Fardiah” Ustadz Musthofa Masyhur menjelaskan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para da’I sebagai berikut;

Ø      Sifat ikhlas, karena tanpa keikhlasan segala amal usaha akan sia-sia

Ø      Harus dapat memperkirakan besarnya tugas yang akan diemban sehingga dapat memberikan perhatian secara proporsional dengan tetap mengharapkan balasan-Nya yang agung

Ø      Bersikap bijak dan hati-hati dalam memilih methode pendekatan, memberi nasehat yang baik dan berargumentasi dengan ahsan (cara terbaik)

Ø      Bersikap lembut dan berakhlak mulia; penyabar, dapat menahan diri dan menyerahkan segala kesulitan di jalan dakwah kepada Allah SWT

Ø      Hendaknya memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang masyarakatnya. Mengetahui segala permasalahan dan aliran yang berkembang di tengah-tengahnya da berusaha lebih banyak tentang orang yang didakwahi

Ø      Seorang da’I harus memilki pemahaman agama yang mendalam dan berusaha untuk memperkaya keilmuannya. Karena orang yang tidak memiliki apa-apa tidak mungkin memberi (Faaqidusy Syai’ Laa Yu’thi)

Ø      Hendaknya menghafal Al-Quran sesuai dengan kemampuan agar dapat digunakan sebagai dasar-dasar dalam dakwahnya.

Ø      Memadukan muatan rasional dan emosional dalam berdakwah.

Dan semoga dengan bekal-bekal yang kita siapkan bisa membantu menumbuhkan militansi kita dan mampu menjadi benteng yang kokoh untuk menghindari virus-virus moral ketika bergumul dan berinteraksi dengan masyarakat di medan dakwah. Wallahu a’lam bish showwab.

IMAN TERHADAP QODLO DAN QODAR

Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa diri manusia pasti telah digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang Mahabijaksana. Semua telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir, dan berupaya memperbaiki citra diri.

 

Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT. Ia akan berubah menjadi batu karang yang tegar menghadapi segala gelombang kehidupan dan senantiasa sabar dalam menyongsong badai ujian yang silih berganti. Ia juga selalu bersyukur apabila kenikmatan demi kenikmatan berada dalam genggamannya. Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Rasul berikut ini.

 

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (al-Hadiid: 22-23)

 

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”

(al-An’aam: 59)

 

“Tiada seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah …karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal).’ Kemudian, beliau membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (al-Lail: 5-10).’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)

 

“Sangat mengherankan seorang mukmin itu, karena semua urusannya mengandung kebaikan. Dan yang demikian itu tidak pernah dimiliki seseorang kecuali orang mukmin; apabila ia diuji dengan kenikmatan (kebahagiaan), ia bersyukur. Maka, inilah kebaikan baginya. Dan apabila ia diuji dengan kemelaratan (kepayahan), ia bersabar. Maka, inilah kebaikan baginya.” (HR Muslim dari, Abu Yahya Shuhaib bin Shinan)

 

 

       II.          DEFINISI DAN DALIL-DALILNYA

 

Secara etimologi, qadha memiliki banyak pengertian sebagaimana berikut.

 

-Pemutusan, hukuman. Kita bisa temukan pada ayat berikut ini.

(QS…..)

 

-Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah di bawah ini.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang  mulia.” (al-Israa`:23)

 

-Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat berikut ini.

“Dan  telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” (al-Hijr: 66)

 

Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu al-Atsir 4/78)

 

Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara yuqaddiru taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini.

 

“Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (Fushshilat: 10)

 

Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).

Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari 11/477)

 

Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.

Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).  

 

 

Dalil-dalil Qadha dan Qadar

 

Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa Syeikh al-Islam, 8/258).

 

Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini.

 

-Hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw. ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk.” (HR Muslim)

 

“Sekiranya Allah SWT menyiksa penduduk langit dan bumi, maka Dia sungguh melakukannya tanpa menzalimi mereka. Dan sekiranya Dia mengasihi mereka, maka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka. Dan sekiranya kamu memiliki emas seperti Gunung Uhud atau semisalnya, lalu kamu infakkan di jalan Allah, maka Dia tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman terhadap qadar dan kamu mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika kamu mati atas (aqidah) selain ini, maka niscaya kamu masuk neraka.” (HR Ahmad, dari Zaid bin Tsabit)

 

Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan qadha dan qadar-Nya berikut ini.

 

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadiid: 22-23)

 

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”

(al-Qamar: 49)

 

“(Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh, sedangkan kafilah itu berada di bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Anfaal: 42)

 

Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (al-Ahzab: 38)  

 

“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah…,’ Ia bertanya, ‘Apa yang saya tulis?’ Dia berfirman, ‘Maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)

 

“Tiada seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal),’ kemudian beliau membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)

 

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya  (jalan) yang sukar.” (al-Lail: 5-10)

 

 

 

     III.          RUKUN-RUKUN IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR

 

Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak tangga tersebut.

 

Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.

 

Pertama, Ilmu Allah SWT. Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus beriman kepda Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di masa yang akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.

 

Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah berikut ini.

 

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (ath-Thalaaq: 12)

 

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 22)

 

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”

(al-An’aam: 59)

 

“Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika menciptakan mereka.” (HR Muslim)

 

Kedua, Penulisan Takdir. Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah SWT menulis dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan amal” yang dijaga. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.

 

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (al-Hadiid: 22-23)

 

 

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (al-Hajj: 70)

 

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (al-An’aam: 38)

 

“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah….” Ia bertanya, ‘Apa yang aku tulis?’ Dia berfirman, maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)

 

Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah berfirman,

 

“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Faathir: 44)

 

Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur`an, di antaranya sebagai berikut.

 

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (at-Takwiir: 29)

 

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” (al-An’aam: 39)

 

“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (Yaasiin: 82)

 

“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih (memahami) agama ini.” (HR Bukhari)

 

Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.

“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak

Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada

Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui

Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta

Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan

Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)

Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung

Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik

 

Keempat, Penciptaan-Nya. Ketika beriman terhadap qadha dan qodar, seorang mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

 

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”

(az-Zumar: 62)

 

“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.”

(al-Furqaan: 2)

 

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat Itu.“ (ash-Shaaffat: 96)

 

“Sesungguhnya, Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.”

(HR Hakim)

 

Inilah empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini setiap muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai gerbang keimanan yang sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat rukun tersebut berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan ketika bangunan iman terhadap qadar rusak, maka juga akan menimbulkan kerusakan pada bangunan tauhid itu sendiri.

  

 

    IV.          MACAM-MACAM TAKDIR

 

Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.

 

Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah SWT memerintahkan al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

 

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

(al-Hadiid: 22)

 

“Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.” (HR Muslim)

 

Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini.

 

“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia… .” (HR Bukhari)

 

Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.

 

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”

(ad-Dukhaan: 4-5)

 

Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.

 

Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

 

“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (ar-Rahmaan: 29)

Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.

    

 

      V.          BERDALIH DENGAN QADAR DALAM KEMAKSIATAN DAN MUSIBAH

 

Semua yang ditakdirkan oleh Allah SWT selalu tersirat hikmah dan maslahat bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang telah diketahui oleh-Nya. Maka, Dia tidak pernah menciptakan kejelekan dan keburukan murni yang tidak pernah melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan keburukan ini tidak boleh dinisbatkan kepada Allah SWT, melainkan dinisbatkan kepada amal perbuatan manusia. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah mengandung keadilan, hikmah, dan rahmat 

 

Hal ini berdasarkan firman Allah SWT.

 

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (an-Nisaa`: 79)

 

Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan kemaksiatannya.

Allah membenci kekufuran dan kemaksiatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, Dia mencintai dan meridhai ketakwaan dan kesalehan. Dia juga menunjukkan dua jalan untuk hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan akal untuk memilih salah satu jalan tersebut sesuai pilihan dan kehendaknya. Maka, barangsiapa yang memilih jalan kebaikan ia berhak mendapat ganjaran dan yang memilih jalan keburukan atau kebatilan maka ia berhak mendapat siksa oleh karena hal ini dilakukan secara sadar dan atas pilihannya sendiri tanpa ada unsur paksaan. Meskipun sebab-sebab dan factor-faktor pendorong amal perbuatannya tidak lepas dari kehendak Allah SWT.

Maka, tidak ada alasan dan hujjah lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran dan kemaksiantan yang dilakukannya karena takdir Allah SWT. Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi-at Allah atas kekufuran mereka seperti dalam firmanNya;

 

“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” (al-An’aam: 148-149)

 

“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.’ Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka, maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Tiap-tiap umat mempunyai rasul yang diutus untuk menerangkan kebenaran.” (an-Nahl: 35)

 

Adapun berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpa manusia dapat dibenarkan Islam. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Nabi Adam dan Nabi Musa tentang musibah dikeluarkannya Bani Adam dari surga.

 

“Adam dan Musa berbantah-bantahan. Musa berkata, ‘Wahai, Adam, Anda adalah bapak kami yang telah mengecewakan dan mengeluarkan kami dari surga. Lalu Adam menjawab, ‘Kamu, wahai Musa yang telah dipilih Allah dengan Kalam-Nya dan menuliskan untkmu dengan Tangan-Nya, apakah kamu mencela kepadamu atas suatu perkara yang mana Allah telah menakdirkan kepadaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi bersabda, ‘Maka, Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.’” (HR Muslim)

  

 

    VI.          BUAH IMAN KEPADA QADAR

 

Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah SWT secara benar akan melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi setiap permasalahan hidup.

 

DR. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab “Al-Qadha wa Al-Qadar” menyimpulkan buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.

 

Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan.

Kedua, tetap istiqamah. “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” (al-Ma’arij: 19-22)

Ketiga, selalu berhati-hati. “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”  (al-A’raaf: 99)

Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan.

 

 

Iman kepada Rasul

Rasul adalah orang laki-laki pilihan yang Allah berikan wahyu berisi syari’ah dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaumnya. Sedang nabi adalah orang laki-laki yang Allah berikan wahyu kepadanya berisi syari’ah, tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaumnya. Rasul dan nabi sama-sama mendapatkan wahyu, tetapi sering kali seorang Nabi diutus Allah kepada kaum yang memang sudah beriman sehingga perannya hanya menjalankan syari’ah yang sudah ada itu dan tidak membawa ajaran yang baru.seperti para Nabi yang pernah Allah utus kepada Bani Israil setelah ditinggalkan Nabi Musa, mereka bertugas mengajarkan dan mengamalkan Taurat, tidak membawa ajaran yang baru/bukandari Taurat. (QS. 2: 246). Di sinilah rahasia sabda Nabi : al ulama waratsatul Anbiya, bukan waratsaturrasul, karena peran ulama hanya terbatas pada menyampaikan ajaran agama yang ada bukan membuat aturan baru.

1. Jumlah Nabi dan Rasul

Ketika Rasulullah ditanya oleh Abu Dzar, tentang berapa jumlah para nabi dan rasul itu? Nabi menjawab 120 (seratus dua puluh) ribu, dari mereka itu terdapat 313 (tiga ratus tiga belas) rasul. Dari jumlah itu, yang tersebut namanya dalam Al Qur’an terdapt 25 orang, yaitu : 1.Adam, 2. Nuh, 3. Idris, 4. Shalih, 5. Ibrahim, 6. Hud, 7. Luth, 8. Yunus, 9. Ismail, 10. Ishaq, 11. Ya,qub, 12. Yusuf, 13. Ayyub, 14. Syu’aib, 15. Musa, 16.Harun, 17. Yasa’, 18. Dzulkifli, 19. Dawud, 20. Zakariyyah, 21. Sualaiman, 22. Ilyas, 23. Yahya, 24. Isa dan 25. Muhammad SAW.

18 orang nabi disebutkan namanya dalam surah Al An’am/6: 83-86, kemudian yang lainnya disebutkan di ayat-ayat lain seperti QS. Ali Imran/3: 33, Al A’raf, 65, 73, 85, Huud/11:50, 61, 84, Al Anbiya/21: 85.

2. Syubuhat yang muncul dalam masalah Nubuwwah dan Risalah.

a. Mengapa nabi dan rasul itu tidak dari bangsa malaikat saja ?

Para nabi dan rasul diambil dari bangsa manusia itu sendiri, ( QS. 3:144) bukan dari jenis makhluk lain, meskipun pernah ada permintaan dari kaum kafir agar nabinya dari bangsa malaikat. Hal ini sangat tidak mungkin, karena akan bertentangan dengan fungsi dan tugas rasul yang menjadi teladan. Bisa jadi ketika nabi yang dari malaikat itu menyerukan sesuatu umatnya mudah saja menolak dengan mengatakan :”Wajar saja ia bisa berbuat begitu, karena memang dia malaikat, sementara kita manusia biasa, bagaimana bisa seperti dia…..dst”

b. Mengapa nabi dan rasul itu selalu dari laki-laki, tidak ada yang wanita

Begitu juga tidak ada nabi atau rasul dari kaum wanita. Kenabian adalah mutlak pilihan Allah, tidak ada intervensi siapapun dalam penunjukannya (QS. 21:7), disamping itu tugas-tugas kenabian yang harus dilakukan memang banyak yang bertentangan dengan fitrah kewanitaan, seperti menerima wahyu, berbaur dengan umat, berjihad, keluar rumah, dsb. Bagaimana jadinya jika nabi itu wanita yang sedang berhalangan lalu mendesak turun wahyu.. Dan sepanjang sejarah manusia memang belum pernah ada nabi wanita.

3. Sifaturrasul
a. Basyariyyaturrasul

Para nabi adalah manusia biasa yang juga membutuhkan hal-hal yang bersifat umum, seperti makan, minum, menikah, berketurunan dan sifat kemanusian/basyariyyah lainnya. (QS. 25: 20, 13:38, 5:75)

Para Nabi tidak memiliki kekuasaan sedikitpun yang menjadi kekhususan Allah, seperti mengetahui hal-hal ghaib, menguasai alam, mendatangkan keuntungan atau kerugian, memberkahi, dsb, kecuali yang telah Allah berikan kepadanya. QS. 7:188, Jin: 26-27

b. Ishmaturrasul.

Para rasul adalah orang yang ma’shum, terlindung dari dosa dan salah dalam kemampuan pemahaman agama, ketaatan, dan menyampaikan wahyu Allah, mereka telah dibekali Allah kesempurnaan dalam hal amanah, shidq/ kejujuran, fathonah/ kecerdasan, dan tabligh/ penyampaian, sehingga selalu siaga dalam menghadapi tantangan dan tugas apapun.

c. Iltizamurrasul

Para rasul adalah orang-orang yang selalu komitmen dengan apapun yang mereka ajarkan. Mereka bekerja dan berda’wah sesuai dengan arahan dan perintah Allah, meskipun untuk menjalankan perintah Allah itu harus berhadapan dengan tantangan-tantangan yang berat baik dari dalam diri pribadinya, maupun dari para musuhnya. Dalam hal ini para rasul tidak pernah sejengkal-pun menghindar atau mundur dari perintah Allah.

4. Mukjizat Rasul.

Para rasul juga dibekali mukjizat dan tanda-tanda keistimewaan lainnya, untuk membuktikan kebenaran kerasulannya, bahwa mereka datang dari Allah SWT. Seperti yang pernah Allah berikan kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad SAW.

5. Rasul Ulul-Azmi.

Dari 25 orang rasul itu terdapat lima orang rasul yang dikenal dengan Ulul- Azmi minarrusul, yaitu : Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW. Mereka itu Allah sebutkan dalam firman Allah: “Dan Ingatlah ketika kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu sendiri, dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh” QS. Al Ahzab/33:7

Lima rasul ulul-azmi inilah yang harus selalu kita kenang dan kita hayati perjalanan hidupnya, tanpa melupakan atau mengecilkan peran dan keteladanan rasul-rasul lainnya.

a. Nabi Nuh, as. Kegigihannya dalam berda’wah siang dan malam, tanpa mengharapkan jasa dan imbalan dari kaumnya. Keberadaan istri dan anak yang menjadi pengahalang da’wahnya serta ia tidak pernah terpengaruh oleh tantangan dan ejekan itu.

“Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu, sebagaimana kamu sekalian mengejek kami” QS. Hud/11: 38

b. Nabi Ibrahim, as. Kepatuhannya dalam menjalankan perintah Allah, mulai dari pernyataannya memisahkan diri dari kepercayaan kaumnya termasuk ayahnya sendiri, caranya berdialog menunjukkan kebatilan patung/berhala kepada kaumnya, keberaniannya menghancurkan patung-patung sesembahan Namrud dan kaumnya, hingga murka dan pembakaran Ibrahim oleh kaumnya (QS.21: 51-69). Maka wajar orang yang sedemikian hanifnya, dan tinggi semangat da’wahnya, Allah tidak relakan terbakar oleh api Namrud. Demikian juga kepindahannya ke Makkah, tanah tandus yang tidak berumput (QS. 14:37), kesiapan istri dan keluarga ketika harus ditinggal sendiri, Ibrahim pergi memenuhi perintah Allah. Kesungguhannya untuk berkorban, kebesaran jiwa istri, dan kepatuhan anak untuk dikorbankan, hanya karena memenuhi perintah Allah.

c. Nabi Musa, as. Kisah terbanyak dalam Al Qur’an adalah kisah Musa dan Fir’aun. Sejak kecilnya sudah dihadapkan dengan bahaya. Kerelaan ibunya menghanyutkan bayi Musa di sungai Nil, adalah sebuah pengorbanan yang tak terhingga. Pembelaannya pada Bani Israil yang tertindas, membuatnya keluar dari istana Fir’aun, menuju ke Madyan, menjadi penggembala kambing Nabi Syu’aib selama sepuluh tahun. Lalu diperintahkan Allah kembali menemui Fir’aun mengajaknya beriman kepada Allah,QS. Al Qashash/28:2-40, Musa mulai berhadapan dengan tantangan besar, ditentang dan dimusuhi Fir’aun. Musa berhasil membawa sebagian Bani Israil setelah mengalahkan tukang-tukang sihir Fir’aun. Musa di uji kesabarannya membawa Bani Israil, keluar dari Mesir menuju ke Baitul Maqdis dan pendurhakaan Bani Israil pada Musa, (QS.5:20-25).

d. Nabi Isa, as. Kelahiran tanpa ayah (19:16-22), tuduhan keluarga Maryam atas diri Maryam, (19:27-28). Mukjizat Isa yang bisa berbicara saat di buaian, menyembuhkan orang sakit, dan menghidupkan orang mati, atas izin Allah (3:49) tidak membuatnya keluar dari statusnya sebagai hamba Allah (4:172). Tantangan dari kaum Yahudi, yang berusaha membunuhnya (4:157-158). Pengkultusan yang dilakukan oleh kaum Nasrani, karena Isa dianggap memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati, dan membuat burung dari tanah (3:49, 4:1710, 5:72-73, 116-120) membuatnya berdoa “ Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesngguhnya Engkau yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana ”.

e. Nabi Muhammad, SAW. Kesabarannya yang tak terhingga dalam mengajak kaumnya bertauhid kepda Allah. Tantangan dari kaumnya dan bahkan pamannya sendiri, hingga ia harus terusir dari kampung halamannya. Ke Thaif, dilempari batu, dituduh orang gila, tapi yang keluar dari mulutnya, hanya permohonan kepada Allah agar menunjuki mereka. Dst.

Demikianlah kegigihan para rasul ulul azmi dalam menyelamatkan kaumnya dari bahaya kufur, agar mereka bertauhid kepada Allah. Seluruh usaha dan pengerahan kemampuan hanya ditujukan agar umat manusia menjadi beriman kepada Allah, hidup dengan benar, keluar dari lingkaran kebinatangan untuk menjadi manusia utuh dan sempurna, memerankan fungsi khalifah, sebagai makhluk yang memiliki keutamaan dibandingkan dengan makhluk manapun adanya.

Wallahu a’lam.

Ilmu Allah

Dalam asmaul husna Allah SWT disebut sebagai Al ‘Alim (Yang Maha Mengetahui).

Bahwasanya ilmu Allah SWT tidak terbatas. Dia mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, yang dahulu, sekarang ataupun besok, baik yang ghaib maupun yang nyata:

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi..”(Al Hajj:70)

“Dialah Allah, Yang tiada Tuhan selain Dia. Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (Al Hasyr:22)

Tak ada satupun yang tersembunyi bagi Allah SWT. Sebutir biji di dalam gelap gulita bumi yang berlapis tetap diketahui Allah SWT:

“Di sisi-Nya segala anak kunci yang ghaib, tiadalah yang mengetahui kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa-apa yang ada di daratan dan di lautan. Tiada gugur sehelai daun kayu pun, melainkan Dia mengetahuinya, dan tiada sebuah biji dalam gelap gulita bumi dan tiada pula benda yang basah dan yang kering, melainkan semuanya dalam Kitab yang terang” (Al An’am:59)

Ilmu Allah SWT maha luas, tak terjangkau dan tak terbayangkan oleh akal pikiran, tiada terbatas. Dia mengetahui apa yang sudah, dan akan terjadi serta yang mengaturnya. Manusia, malaikat, dan makhluq manapun tak akan bisa menyelami lautan ilmu Allah SWT. Bahkan untuk mengetahui ciptaan Allah saja manusia tidak akan mampu. Dalam tubuh manusia tak semuanya terjangkau oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin didalami semakin jauh pula yang harus dijangkau, semakin banyak misteri yang harus dipecahkan, seperti jaringan kerja otak manusia masih merupakan hal yang teramat rumit untuk dikaji. Belum lagi tentang astronomi, berapa banyak bintang, galaksi di langit, berapa jauhnya, bagaimana cara mencapainya, proses terjadinya, apakah ada penghuninya, dsb. Jika kita menatap ke luar angkasa betapa kecil bumi ini bagaikan debu bahkan lebih kecil dari itu. Andaikan saja ada manusia yang menguasai planet bumi sebagai miliknya pribadi, maka di hadapan alam di ruang angkasa ini dia hanyalah memiliki debu tak berarti. Jika saja ada manusia menguasai bumi, dia hanya menguasai debu. Sementara kekuasaan, kerajaan Allah SWT tak akan tertandingi sedikitpun jua.

Allah SWT menggambarkan betapa kecil dan tak berdayanya manusia bila dibandingkan dengan ilmu Allah SWT, dengan perumpamaan air laut bahkan tujuh lautan dijadikan tinta untuk menulis kalimat Allah SWT, niscaya tidak akan habis-habisnya kalimat Allah tersebut dituliskan:

”Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelumhabis ditulis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu pula” (Al Kahfi:109)

“Dan seandainya pohon-pohon di muka bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan lagi, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Luqman:27).

Allah SWT telah menciptakan langit dan bumi dengan segala isi dan peristiwa yang terkandung di dalamnya merupakan fenomena yang sangat mengesankan dan menakjubkan akal serta hati sanubari manusia. Itulah alam semesta atau al kaun (universum). Simaklah firman Allah SWT berikut ini:

“Dia lah Allah Yang menciptakan, Yang mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-nama Yang Paling Baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi . Dan Dia lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Al Hasyr: 24).

Hendaknya manusia senantiasa men-taddaburi ayata-ayat-Nya, baik yang qouliyah maupun kauniyah. Karena di sana terdapat lautan ilmu-Nya,serta dorongan/ motivasi untuk mengkaji maupun mengimplementasikannya. “Hai jama’ah jin dan manusia jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan” (Ar Rahman :33). Dengan ayat ini manusia akan mengerti jika ingin menembus langit diperlukan energi yang besar. Maka dengan segala bahan-bahan yang ada di alam ini manusia harus mampu mengkonversi energi tersebut. Masih banyak ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan cabang-cabangnya. Allah SWT telah menciptakan alam beserta isi dan sistemnya dan juga telah mengajarkannya kepada manusia. Dengan mencermati Al Qur’an, akan melahirkan kajian-kajian yang lebih detail tentang keberadaan ciptaan-Nya.

Timbulnya ilmu pengetahuan, disebabkan kebutuhan-kebutuhan manusia yang berkemauan hidup bahagia. Dalam mencapai dan memenuhi kebutuhan hidupnya itu, manusia menggunakan akal pikirannya. Mereka menengadah ke langit, memandang alam sekitarnya dan melihat dirinya sendiri. Dalam hal ini memang telah menjadi qudrat dan iradat Nya, bahwa manusia dapat memikirkan sesuatu kebutuhan hidupnya. Telah tercantum dalam Al Qur’an perintah Allah SWT : “Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman” (Yunus: 101). Hasil dari pemikiran manusia itu melahirkan ilmu pengetahuan dengan berbagai cabangnya. Maka ilmu pengetahuan bukanlah musuh atau lawan dari iman, melainkan sebagai wasailul hayah (sarana kehidupan) dan juga nantinya yang akan membimbing ke arah iman. Sebagaimana kita ketahui, banyak ahli ilmu pengetahuan yang berpikir dalam, telah dipimpin oleh pengetahuannya kepada suatu pandangan, bahwa di balik alam yang nyata ini ada kekuatan yang lebih tinggi, yang mengatur dan menyusunnya, memelihara segala sesuatu dengan ukuran dan perhitungan.

Herbert Spencer dalam tulisannya tentang pendidikan, menerangkan sebagai berikut: “Pengetahuan itu berlawanan dengan khurafat, tetapi tidak berlawanan dengan agama. Dalam kebanyakan ilmu alam kedapatan paham tidak bertuhan (atheisme), tetapi pengetahuan yang sehat dan mendalami kenyataan, bebas dari paham yang demikian itu. Ilmu alam tidak bertentangan dengan agama. Mempelajari ilmu itu merupakan ibadat secara diam, dan pengakuan yang membisu tentang keindahan sesuatuyang kita selidiki dan kita pelajari, dan selanjutnya pengakuan tentang kekuasaany Penciptanya. Mempelajari ilmu alam itu tasbih (memuji Tuhan) tapi bukan berupa ucapan, melainkan tasbih berupa amal dan menolong bekerja. Pengetahuan ini bukan mengatakan mustahil akan memperoleh sebab yang pertama, yaitu Allah”.

“Seorang ahli pengetahuan yang emlihat setitik air, lalu dia mengetahuinya bahwa air itu tersusun dari oksigen dan hidrogen, dengan perbandingan tertentu, dan kalau sekiranya perbandingan itu berubah, niscaya air itu akan berubah pula menjadi sesuatu yang bukan air. Maka dengan itu ia akan meyakini kebesaran Pencipta, kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Sebaliknya orang yang bukan ahli dalam ilmu alam, akan melihatnya idak lebih dari setitik air”.

Manusia sejak zaman dahulu telah mengerahkan daya akal untuk menyelidiki rahasia serta mencari hubungannya dengan kebutuhan dan tujuan hidupnya di atas bumi ini. Maka lahirlah para ahli ilmu alam seperti astronom, meteorolog, geolog, fisikawan, dsb beserta para ahli filsafatnya di bidang tersebut.

Penemuan di bidang astronomi menyebabkan kosmologi terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang beranggapan bahwa alam semesta ini statis, dari permulaan diciptakannya samapai sekarang ini tak berubah dan kelompok yang beranggapan bahwa alam semesta ini dinamis, bergerak atau berubah.

Kelompok yang beranggapan bahwa alam semesta ini dinamis ditunjang oleh ilmu pengetahuan modern. Menurut teori evolusi, pengembangan seperti dibuktikan oleh adanya red shift, ditafsirkan bahwa alam semesta ini dimulai dengan satu ledakan dahsyat. Materi yang terdapat dalam alam semesta itu mula-mula berdesakan satu sama lain dalam suhu dan kepadatan yang sangat tinggi, sehingga hanya berupa proton, neutron, dan elektron, tidak mampu membentuk susunan yang lebih berat. Karena mengembang, maka suhu menurun sehingga proton dan neutron berkumpul membentuk inti atom. Kecepatan mengembang ini menentukan macam atom yang terbentuk.

Para ahli ilmu alam telah menghitung bahwa masa mendidih itu tidak lebih dari 30 menit. Bila kurang artinya mengembung lebih cepat, alam semesta ini akan didominir oleh unsur hidrogen. Apabila lebih dari 30 menit, berarti mengembung lambat, unsur berat akan dominan

Selama 250 juta tahun sesudah ledakan dahsyat, energi sinar dominan terhadap materi, transformasi di antara keduanya bisa terjadi sesuai dengan rumus Einstein, E = mc2. Dalam proses pengembungan inienergi sinar banyak terpakai dan meteri semakin dominan. Setelah 250 juta tahun maka masa dari meteri dan sinar menmjadi sama. Sebelum itu, tidak dibayangkan behwa meteri larut dalam panas radiasi, seperti garam larut di air. Pada masa itu, setelah lewat 250 juta tahun, matei dan gravitasi dominan, terdapat differensiasi yang tadinya homogin. Bola-bola gas masa galaxi terbentuk dengan garis tengah kurang lebih 40.000 tahun cahaya dan masanya 200 juta kali massa matahari kita. Awan gas gelap itu kemudian berdifferensiasi atau berkondensasi menjadi bola-bola gas bintang yang berkontraksi sangat cepat. Akibat kontraksi sangat cepat. Akibat kontraksi atau pemadatan itu maka suhu naik sampai 20.000.000 derajat, yaitu threshold reaksi inti, dan bintang itupun mulai bercahaya.

Karena sebagian dari materi terhisap ke pusat bintang, maka planet dibentuk dari sisa-sisanya. Yaitu butir-butir debu berbenturan satu sama lain dan membentuk massa yang lebih besar, berseliweran di ruang angkasa dan makin lama makin besar.

Proses kondensasi bintang pembentukan planet membutuhkan waktu beberapa ratus juta tahun. Kita mengetahui bahwa bulan bergerak menjauhi bumi, hal ini berarti bahwa beberapa milyar tahun yang lalu bumi dan bulan itu satu, dan bulan merupakan pecahan dari bumi yang memisahkan diri. Firman Allah SWT:

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya fahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman” (Al Anbiya: 30)

Konsep ini jelas menunjang teori kedinamisan alam semesta. Orang Rusia berdasarkan umur batu bulan, telah menetapkan bahwa bulan berumur 4,5 milyar tahun.

Dalam mempelajari red shift, jarak diukur dengan tahun cahaya, bukan dengan kilometer. Kecepatan cahaya adalah 300.000 km per detik, sedangkan beberapa galaxi beberapa juta tahun cahaya jauhnya. Pada waktu kita memandang galaxi yang sangat jauh itu, sebetulnya kita sedang meneropong jauh ke masa yang silam. Dalam mempelajari galaxi yang jauhnya satu milyar tahun cahaya , sebetulnya membuktikan bahwa satu milyar tahun yang lalu alam semesta ini mengembung dengan kecepatan yang lebih tinggi dari sekarang. Hal ini berarti pula bahwa kita berada di alam semesta yang dinamis, bukan statis.

Lain daripda itu penurunan kecepatan mengembung meramalkan bahwa pada suatu waktu pengembungan itu akan berhenti, kemudian berkontraksi, pada akhirnya kembali kepada situasi kepadatan seperti asalnya lebih kurang lima milyar tahun yang lalu.

Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa alam semesta ini mengembung dan mengempis. Untuk lebih lanjut perhatikan uraian George Gemov dalam bukunya The Creation of the Universe, hal.36: “…bahwa tekanan raksasa yang terjadi pada permulaan sejarah alam semesta, adalah akibat dari suatu kehancuran yang terjadi sebelumnya , dan bahwa pengembungan yang sekarang ini sebenarnya hanyalah suatu gerak kembali yang elastis yang terjadi segera setelah tercapai kepadatan maximun yang diizinkan.”

Kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana besarrnya tekanan yang tercapai pada kepadatan yang maksimum itu, tetapi menurut semua petunjuk tekanan itu sungguh-sungguh amat tinggi. Besar kemungkinan seluruh massa alam semesta yang mempunyai kemungkinan bentuk yang bagaimanapun dalam masa pra kehancuran telah dimusnahkan secara sempurna, dan bahwa atom-atom dan intinya telah dipecahkan menjadi proton, neutron, dan elektron serta partikel dasar lainnya, jadi tak ada satupun yang bisa dituturkan tentang masa alam sebelum pemadatan alam semesta itu. Segera setelah kepadatan massa alam semesta itu mencapai titik maksimum, kepadatan yang sangat tinggi itu hanya bertahan dalam waktu sebentar saja.

Segala sesuatu yang berada dalam alam semesta, adalah merupakan ciptaan (makhluq) Allah SWT sebegai refleksi dan manifestasi dari wujud Allah SWT dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Karena itu manusia tidak habis-habisnya mengagumi isi al kaun ini terus mengambil pelajaran dan ibroh yang bermanfaat dari padanya.

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihtaanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah” (Al Mulk: 3,4)

Tegaknya langit, keseimbangan benda-benmda langit sesuai dengan ciptaan dan pengaturan dari Penciptanya.

“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)” (Ar Rahman:7)

“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidaka tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (Faathir:41)

Ayat di atas menyatakan adanya semacam penahan yang membawa kepada ketenangan benda-benda langit, meskipun benda-benda langit itu saling bergerak. Hal ini menunjukkan kenyataan kebenarannya terhadap ummat manusia.

Para ahli fisika sudah cukup lama mengenal gaya gravitasi antara benda-benda bermassa yang bekerja secara luas dalam alam ini. setelah Issac Newton pada tahun 1686 merumuskan hukum gravitasi, maka orang dapat dengan mudah memahami dan menerangkan berbagai peristiwa dalam jagad raya ini. Hukum-hukum Kepler yang sudah ada sebelum Newton, ternyata dapat dipahamkan sebagai akibat saja dari hukum gravitasi Newton tersebut.

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa universum itu berjalan dengan eksak, kokoh, teratur, rapi dan harmonis, yang tidak akan ada habis-habisnya menjadi tantangan yang menakjubkan bagi manusia. Setelah beriman kepada Allah, maka menjadi mudah bagi kita untuk menerima, bahwa hukum-hukum itu adalah sunatullah atau aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah bagi makhluq-Nya yang tidak berubah-ubah.

“Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nati-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan menemui perubahan bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (Faathir: 43)

Demikianlah, Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan sempurna, seimbang, beraturan, sistemik. Maka Dia jualah yang paling tahu hakikat dan tujuan penciptaa-Nya, dan telah dikabarkannya ciptaan Allah SWT itu kepada manusia. Manusia telah diperintahkan untuk bertafakur atas ciptaan-Nya, sehingga mampu memanfaatkannya. Dan agar manusia mampu mengenal pencipta-Nya serta mengagungkan-Nya; Dia lah Allah SWT tiada Tuhan selain-Nya. Dengan ilmu-Nya Allah mengajarkan kepada hamba-Nya apa-apa yang telah diciptakan dengan proses terjadinya, sehingga manusia akan menjadi tahu dan berilmu. Setelah itu akan lahir cabang-cabang ilmu pengetahuan yang menyebar ke setiap penjuru ufuk kehidupan manusia. Dengan ilmunya manusia diharapkan menemukan kebenaran dan menjadikannya sebagai landasan kehidupan.

“Kami akan memperlihatkan kapada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Fushshilat: 53).

Ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah.

Allah SWT menuangkan sebagian kecil dari ilmu Nya kepada umat manusia dengan dua jalan. Pertama, dengan ath thoriqoh ar rosmiyah (jalan resmi) yaitu dalam jalur wahyu melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasul-Nya, yang disebut juga dengan ayat-ayat qauliyah. Kedua, dengan ath thoriqoh ghoiru rosmiyah (jalan tidak resmi) yaitu melalui ilham secara kepada makhluq-Nya di alam semesta ini (baik makhluq hidup maupun yang mati), tanpa melalui perantaraan malaikat Jibril. Kerena tak melalui perantaraan malaikat Jibril maka bisa disebut jalan langsung (mubasyarotan). Kemudian jalan ini disebut juga dengan ayat-ayat kauniyah.

Wahyu dalam pengertian ishtilahi adalah: “kalamullah yang diturunkan kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang menjadi hudan (petunjuk) bagi umat manusia”, baik yang diturunkan langsung, dari belakang tabir (min wara’ hijab) maupun yang diturunkan melalui malaikat Jibril, seperti firman Allah SWT:

“Tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seseorang (malaikat) lalu diwahyukan kepadaNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi maha Bijaksana” (Asy Syura:51)

Pengertian wahyu secara ishtilahi perlu dipertegas karena ma’na wahyu secara lughawi memiliki pengertian yang bermacam-macam, antara lain:

1. Ilham Fithri, seperti wahyu yang diberikan kepada ibu Nabi Musa untuk menyusukan Musa yang masih bayi.

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil)…” (Al Qashash:7).

1. Instink Hayawan, seperti wahyu yang diberikan kepada lebah untuk bersarang di bukit-bukit, pohon-pohon, dan dimana saja dia bersarang.

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia” (An Nahl:68).

1. Isyarat, seperti yang diwahyukan oleh Nabi Zakaria kepada kaumnya untuk bertasbih pagi dan sore.

“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang” (Maryam:11).

1. Perintah Allah kepada malaikat, untuk mengerjakan sesuatu seperti perintah Allah kepada malaikat untuk membantu kaum muslimin dalam perang Badr.

“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat; Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman…” (Al Anfal:12).

1. Bisikan syaitan

“…Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musrik” (Al An’am :121).

Dalam ayat tersebut ada kata layuhuna (mewahyukan) yang berarti membisikkan.

1. Hadits Qudsi, juga termasuk dalam wahyu (hadits yang ma’nanya dari Allah SWT, sedangkan redaksinya dari Rasulullah SAW), dan
2. hadits Nabawiy, (makna dan redaksinya dari Rasulullah SAW) karena pada hakekatnya apa saja yang berasal dari Rasulullah SAW mempinyai nilai wahyu, firman Allah SWT:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dia; dan bertaqwa-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya” (Al Hasyr:7).

Ayat-ayat qauliyah mengisyaratkan kepada manusia untuk mencari ilmu alam semesta (ayat-ayat kauniyah), oleh sebab itu manusia harus berusaha membacanya, mempelajari, menyelidiki dan merenungkannya, untuk kemudian mengambil kesimpulan. Allah SWT berfirman:

“Bacalah (ya Muhammad) dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan alam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Al ‘Alaq:1-5).

“Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan. Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Ar Ra’du:3)

“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian tanah yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanam-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir” (Ar Ra’du:4)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imron:190-191).

Dengan mempelajari, mengamati, menyelidiki dan merenungkan alam semesta (al kaun) dengan segala isinya, manusia dapat melahirkan berbagai disiplin ilmu seperti: Kosmologi, Astronomi, Botani, Meterologi, Geografi, Zoologi, Antropologi, Psikologi dsb. Sedangkan dari mempelajari wahyu manusia melahirkan berbagai disiplin ilmu seperti: Tafsir, Ilmu Tafsir, Hadits, Ilmu Hadits, Fiqih, Ushul Fiqih dsb.

Dengan memahami bahwa semua ilmu itu adalah dari Allah SWT maka dalam mendalami dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan pun (al kaun) harus mengacu firman Allah SWT sebagai referensi, sehingga akan semakin meneguhkan keimanan. Selain itu penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi akan terkendali serta mengenal adab. Sebagai misal dalam dunia teknologi kedokteran, pengalihan sperma ke sebuah rahim seorang wanita –dalam proses bayi tabung- maka harus memperhatikan sperma itu diambil dari siapa diletakkan ke rahim siapa. Proses kesepakatan, perizinan juga harus jelas. Jangan sampai bayi lahir menjadi tidak jelas nasabnya. Di bidang astronomi tidak boleh diselewengkan untuk meramal nasib, padahal antara keduanya tak ada hubungan sama sekali. Dalam hal menikmati keindahan alam, akan menjadi suatu kedurhakaan jika dalam menikmatinya dengan membangun vila-vila untuk berbuat maksiyat. Namun seorang mu’min menjadikan alam semesta adalah untuk tafakur agar dekat dengan-Nya.

Konsep Kebenaran Ilmu

Wahyu (al Qur’an dan as Sunnah) memiliki nilai kebenaran yang mutlak (al haqiqah al muthlaqah) karena langsung berasal dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Tetapi pemahaman terhadap wahyu yang memungkinkan beberapa alternatif pemahaman tidaklah bersifat mutlak. Sedangkan ilmu yang didapat dari alam semesta memiliki nilai kebenaran yang nisbi (realtif) dan tajribi (eksprimentatif) atau dengan istilah al haqiqah at tajribiyah.

Kebenaran yang mutlak harus dijadikan burhan atau alat untuk mengukur kebenaran yang nisbi, jangan sampai terbalik, justru kebenaran yang mutlak diragukan karena bertentangan dengan kebenaran yang nisbi (relatif dan eksprimentatif). Sejarah ilmu pengetahuan sudah membuktikan bahwa suatu penemuan atau teori yang dianggap benar pada satu masa digugurkan kebenarannya pada masa yang akan datang. Hal itu disebabkan keterbatasan manusia. Dalam mengamati, menyelidiki dan menyimpulkan segala fenomena yang ada dalam alam semesta. Oleh sebab itu jika terjadi pertentangan antara kesimpulan yang didapat oleh manusia dari al kaun dengan wahyu, maka yang harus dilakukan adalah menguji kembali kesimpulan tersebut, atau menguji kembali pemahaman manusia terhadap wahyu. Logikanya, wahyu dan alam semesta semuanya berasal dari Allah SWT yang Maha Benar, mustahil terjadi pertentangan satu sama lain.

Hikmah mengimani ilmu Allah SWT

Pertama, membuat manusia sadar bahwa betapa tidak berarti dirinya dihadapan Allah SWT, sebab seluruh ilmu yang dimiliki manusia adalah ibarat setitik air laut dibandingkan dengan air laut secara keseluruhan. Oleh karena itu manusia tidak ada alasan untuk sombong dan menjadikan ilmu menjadi penyebab kekufuran dan kedurhakaan kepada Yang Maha Mengetahui segalanya. Seharusnya manusia menjadikan ilmu untuk alat ber-taqorub kepada-Nya, sebagaimana perilaku para ulil albab.

Kedua, dengan menyadari bahwa ilmu Allah SWT sangat luas, tidak ada satupun –betapa pun kecil dan halusnya- yang luput dari ilmu Nya, maka manusia akan dapat mengontrol tingkah laku, ucapan amalan batinnya sehingga selalu sesuai dengan yang diridhai Allah SWT.

Ketiga, keyakinan terhadap ilmu Allah SWT akan menjadi terapi yang ampuh untuk segala penyelewengan, penipuan dan kemaksiatan lainnya.

Maka dalam pemahamannya adalah dengan mengaplikasikan sifat Allah SWT tsb dalam kehidupan nyata sehari hari, berusaha melaksanakan perintah dan larangan-Nya baik ditempat ramai maupun sunyi. Kita tidak lagi terpengaruh dengan “diketahui” atau “tidak diketahui” oleh orang lain untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Karena kita menyadari betapa Allah SWT Maha Mengetahui yang pasti selalu melihat, mendengar, memperhatikan apa yang kita lakukan di mana dan kapan saja

Di zaman salafus sholeh, kita masih ingat kisah seorang gadis shalihah dengan ibunya menjual susu. Suatu saat ibunya menyuruh dagangannya untuk dicampur dengan air, agar mendapatkan untung yang lebih. Namun puterinya menolak. “Bukankah Khalifah Umar tidak melihat?” kata sang ibu. “Tapi Tuhannya Umar mengetahui, bu!” kata putrinya. Tak disangka percakapan itu didengar Umar bin Khaththab. Maka gadis shalihah tsb dipinang untuk putera Umar sang Khalifah. Dan kitapun tahu persis bahwa dari seorang wanita shalihah tsb, akhirnya menurunkan (cucu) tokoh Umar Bin Abdul ‘Aziz yang legendaris.

Juga kisah seorang anak gembala dengan sekian banyak gembalaan milik tuannya. Suatu saat Umar bin Khaththab menguji kekuatan muroqobatullah-nya. Dikatakan kepada anak tsb, bahwa kambingnya akan dibeli dengan harga yang lebih. Namun anak itu menolak. “Kamu bisa mengatakan kepada tuanmu kambingnya dimakan binatang buas!” kata Umar RA. “Lantas dimana Allah?” tanya anak tersebut. Subhanallah…

Sebenarnya bagi seorang muslim yang sudah ber-iltizam akan selalu merasa tenang, bahagia karena segala amal kebaikannya tidak akan dirugikan sedikitpun baik diketahui ataupun tidak oleh orang lain, kerena dia yakin bahwa Allah SWT telah mengawasinya. Sehingga seorang al akh ash shodiq akan senantiasa beramal dengan ikhlas karena Allah SWT semata, bukan karena murobinya, apalagi karena calon istri atau pun mertuanya. Tidak bangga karena pujian, tidak merasa lemah karna celaan. Tetap semangat walau tak diketahui orang, tak takabur ketika dilihat banyak orang. Juga tak takut dengan kegagalannya, atau tak bangga diri dengan keberhasilannya. Apapun yang terjadi tak akan mengoncangkan jiwanya, atau merusak muamalah dengan saudaranya (karena mungkin saudara kita telah menilai salah terhadap diri kita), atau bahkan membahayakan aqidahnya.

“Dan katakanlah; bekerjalah kamu maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (At Taubah:105)

Ihsan

Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hambah Allah SWT. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata Allah SWT. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.

Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari aqidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril—yang menyamar sebagai seorang manusia—mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah SWT memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.

“…Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah SWT mencitai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 195)

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….”(an-Nahl: 90)

II.               PENGERTIAN IHSAN

Ihsan berasal dari kata أحسن    يحسن  , yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah احسان , yang artinya kebaikan.  Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.

إن أحسنتم أحسنتم لأنفسكم

“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (al-Isra’: 7)

وأحسن كما أحسن الله إليك

“…Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (al-Qashash: 77)

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah SWT.

Landasan Syar’i Ihsan.

Pertama, Al-Qur`anul Karim.

Dalam Al-Qur`an, terdapat seratus enam puluh enam ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.

“…Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 195)

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (an-Nahl: 90)

“…serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….”(al-Baqarah: 83)

“…Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan para hamba sahayamu….” (an-Nisaa`: 36)

Kedua, As-Sunnah.

Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, diantara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut,  ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan mengenai ihsan—ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, ”Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)

Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik…”(HR. Muslim)

III.             TIGA ASPEK POKOK DALAM IHSAN

Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal ini lah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.

1.      Ibadah

Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga    dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan ini lah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan  Rasulullah saw yang berbunyi,  “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.

Tingkatan Ibadah dan Derajatnya.

Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah, kita berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati jannatul firdaus, derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan saling memandang dengan penghuni surga  tingkat tertinggi, laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang  menandakan jauhnya jarak antara mereka.

Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.

·        Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.

·        Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.

·        Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.

Pertama, Tingkat Takwa.

Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk katagori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketaqwaan masing-masing.

Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sangsi dan melakukan salah satu larangannya  adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah melakukan seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Namun, ada satu hal yang harus kita fahami dengan baik, yaitu bahwa Allah SWT Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah SWT akan mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.

Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah SWT.

Kedua, Tingkat al-Bir.

Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini  sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.

Peringkat ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus  terdapat janji pahala didalamnya.

Akan tetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok al-bir, kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.

Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak mengimani unsur-unsur qaidah iman dalam Islam, serta tidak terhidar dari siksaan neraka, maka ia tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya.

”…Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (al-Baqarah: 189)

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 193)

Ketiga, Tingkatan Ihsan

Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).

Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna—seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi: Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.

Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah.

2. Muamalah

Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah SWT pada surah an Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut, ”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu…”

Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah  dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:

Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua.

Allah SWT menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya.

“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (al-Israa’: 23-24)

Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah.

Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. bersabda, “Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”

Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman.

Kedua, Ihsan kepada kerabat karib.

Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman, ”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?” (Muhammad: 22)

Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, ”Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.”(HR. Turmuzdi)

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, ”Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.”(HR. Syaikahni dan Abu Dawud)

Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin.

Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”

Diriwayatkan oleh Turmuzdi, Nabi saw. bersabda, ”Barangsiapa—dari Kaum Muslimin—yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni.”

Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat,  tetangga jauh, serta teman sejawat.

Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta  tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.

Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had,  dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya, “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Para sahabat bertanya, “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR. Syaikhani)

Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda, ”Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. ath-Thabrani)

Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya.

Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini, ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)

Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.

Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, ”Jika seorang hamba sahaya membuat makanan untuk salah seorang diantara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka hendaklah kamu mempersilahkannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu mememberinya satu atau dua suapan.” (HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)

Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pridainya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.

Pada akhir pembahasan mnegenai bab muamalah ini, Allah SWT  menutupnya firman-Nya yang berbunyi, ”Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (al-Hajj: 38)

Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh Allah SWT.

Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.

Rasulullah saw. bersabda, ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, ”Ucapan yang baik adalah sedekah.”

Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.

Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang.

Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika  ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.

Inilah sisi-sisi  ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.

·        Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah

1. Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw, yaitu Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan giginya, kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah saw.  berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akan tetapi, Rasulullah malah berkata, ”Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”

2. Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun  mengipasinya sampai ia tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun,  beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak  menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini kepadamu,  sebagaimana engkau melakukannya padaku”.

3. Akhlak.

Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.

Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang—yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya,  pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits, ”Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”

IV.            PENUTUP

Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, dimata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah SWT mengambil ruh ini dari kita. Wallahu a’lam bish-shawwab.

INILAH JALANKU

Katakanlah : Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yag nyata. Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.
Ayat diatas terdapat dalam surat Yusuf ayat 108 termasuk golongan surat Makkiyah. Khitob ayatnya ditujukan kepada Nabi Muhammad saw setelah Allah swt menerangkan kisah Nabi Yusuf as, agar beliau mengambil pelajaran yang banyak sekaligus merupakan penghibur beliau dalam menjalankan tugas dakwahnya.
“Inilah jalanku” (inilah pendirian dan peganganku) merupakan kata pemisah yang sangat tegas dan jelas, jalan yang ditempuh Rasulullah sebagai garis batas antara Tauhid dan Syirik, garis pemisah antara yang haq dan yang batil, selama-lamanya tidak akan mungkin bersatu, walaupun saat itu posisi Rasulullah saw lemah dan pengikutnya masih sedikit sementara  golongan kafir dan musyrikin menguasai masyarakat. Namun keteguhan prinsip ini tertanam dalam iman dan keyakinan dengan kerelaan menanggung segala konsekwensinya.
Keyakinan dan keteguhan inilah yang membentuk sikap hidup dengan dakwah menyeru kepada Dinullah sebagai jalannya. Jalan dakwah ini dipelopori oleh para Anbiya’ ‘alaihimus salam  yang menyeru manusia kepada subul-as-Salam (jalan kebahagiaan),  menunjukkan manusia kepada jalan yang lurus (sirat-al-Mustaqim), sehingga manusia menerima seruan Allah dan Rasul. Dakwah  berawal dari hati yang sadar bahwa inilah jalan yang harus ditempuh, yaitu untuk menyeru manusia kepada Allah sehingga mereka mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW.
Jalan dakwah ini  merupakan jalan yang sangat panjang dan berliku, dan tidak ada pilihan selain jalan ini yang dapat ditempuh untuk membangun kejayaan ummat.
Dakwah menuju jalan Allah ini merupakan tugas para rasul dan seluruh pengikut mereka (“aku dan orang-orang yang mengikutiku”}dengan tujuan untuk mengeluarkan manusia dari zulumat menuju nur (cahaya), dari kekufuran menuju keimanan, dari kemusyrikan menuju ketauhidan  dari neraka menuju surgaNya. Aktivitas dakwah sebagai jalan yang harus ditempuh ini benar-benar berdasarkan hujjah yang nyata dan keyakinan yang benar.
‘ala bashirotin adalah hujjah, berupa ‘ilmu’ yang mesti dipersiapkan oleh pengikut ‘jalan ini’agar mereka mampu memberi penjelasan dan keterangan yang sejelas-jelasnya bagi orang-orang yang siap membantahnya dengan kebatilan.
Orang-orang yang mengikuti jalan dakwah ini senantiasa mensucikan Allah ‘Subhanallah’ dan dengan tegas menyatakan dengan sikap dan I’tiqad yang sungguh-sungguh bahwa mereka bukanlah orang-orang yang mensekutukanNya (‘dan aku tidaklah termasuk orang yang musyrik’).
Jalan dakwah adalah jalan yang satu. Di atas jalan inilah Rasulullah saw dan para sahabat Baginda ra. berjalan. Demikian juga kita dan para pendukung dakwah berjalan dengan taufik dari Allah swt. Kita dan mereka
berjalan  berbekalkan dengan iman, amal, mahabbah (kasih sayang), dan
ukhuwah (persaudaraan). Rasulullah saw menyeru mereka kepada iman dan
amal, kemudian menyatupadukan hati-hati mereka di atas dasar cinta dan
ukhuwah. Berpadulah kekuatan iman dan kekuatan aqidah dengan kekuatan
persatuan. Jadilah jemaah mereka jemaah contoh teladan. Kalimahnya mesti
lahir dan dakwahnya mesti menang walaupun ditentang oleh semua penghuni
muka bumi ini”
Modal dasar untuk pencapaian tujuan dengan dakwah sebagai jalannya memerlukan 3 syarat:
1-      Ana (hazihi sabili ana wa manittaba’ani), yaitu pemimpin
Dalam meniti dakwah ini memerlukan seorang pemimpin dan Nabi Muhammad saw merupakan penghulu para nabi sekaligus penutup masa kenabian yang merupakan pemimpin dakwah pertama bagi umat yang terakhir ini. Allah mengutusnya sebagai rahmat bagi segenap alam, membawa berita gembira dan ancaman, Ia adalah pemimpin dakwah menyeru kejalan Allah. Ia memulai dakwahnya dengan pemahaman kalimah “La ilaha Illallah, Muhammadur Rasulullah”.
Setelah beliau dakwah inipun memerlukan pemimpin- pemimpin lainnya sebagai penyambung risalah Muhammad saw yang kuat dan terpercaya yang dapat memimpin dan mengarahkan serta memberikan teladan kepada orang-orang yang menjadi pengikutnya, ia mesti memiliki kegigihan dalam memperjuangkan cita-cita, tidak mudah menyerah, tidak berputus asa dari mengharap pertolongan Allah, sekalipun dakwah itu memakan waktu yang panjang, ia mesti menghambil qudwah dari Muhammad saw dalam menghadapi tantangan hebat dari kaum kuffar.
2-     Pendukung yang beriman/jamaah (wamanittaba’ani)
3-     Manhaj yang benar (‘ala basshirotin)
Menyeru umat pada kalimat Tauhidullah tidak bisa dilakukan tanpa program dan tanpa manhaj yang jelas. Oleh karena itu untuk pekerjaan besar ini memerlukan manhaj yang terdapat dalam al-Quran, Sunnah dan hukum-hukum Islam.

Orang yang berda’wah hendaknya mengerti dan mengetahui benar apa yang dida’wahkannya, serta yakin akan kebenarannya. Hal ini merupakan syarat mutlak di dalam da’wah.
Dalam ayat ini tegas ditunjukkan bahwa da’i hendaknya menunjukkan dengan jelas arah yang seharusnya ditempuh oleh mad’u ‘alaihi yang membawa kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. oleh da’i. Orang yang telah yakin akan kebenaran petunjuk itu, wajib mempertahankan keyakinannya untuk menye barluaskan ajaran itu. Hal ini hanya dapat dilaksanakan oleh orang- orang yang mengerti, kaum ulama yang telah mendalami isi petunjuk itu. Yang dimaksud dengan ulama, ialah orang-orang yang tidak keluar dari Alquran dan sunnah Rasul serta mengamalkan petunjuk itu. Mereka inilah terutama yang wajib menyebarluaskan petunjuk itu, karena mereka telah dapat berjalan menurut petunjuk Allah.

Selanjutnya diperintahkan pula agar orang-orang yang mengajak pada jalan Allah menyatakan dengan tegas bahwa Allah Maha Suci dari Syirik, tiada sekutu bagiNya. Hendaknya benar-benar bersikap dan beritiqad mengEsakan Allah dengan menunjukkan dalil yang jelas. Perbuatan seperti ini adalah jalan yang ditunjukkan para Rasul, dan para Rasul ini diutus untuk keperluan itu

« Older entries Newer entries »