LOYALITAS ISLAM

Salah satu prinsip utama yang diajarkan dalam aqidah islamiyah adalah memberikan wala’ (loyalitas). Al Wala’ atau walayah adalah buah dari mahabbah (kecintaan). Ketika seseorang mencintai sesuatu, ia wajib memberikan wala’ kepada yang dicintainya. Demikian juga halnya manakala seorang hamba mencintai Allah, maka dia harus memberikan wala’nya itu kepada Allah. Cinta yang tidak menghasilkan wala’ tidaklah dapat disebut sebagai cinta yang sebenarnya.

Wala’ atau walayah biasanya diartikan sebagai loyalitas. Menurut Muhammad ibn Said ibn Saliim dalam “Al Wala’ Wal bara fil Islam”, al-walayah artinya pertolongan, kecintaan, pemuliaan, penghormatan, terhadap orang-orang yang dicintai baik dzohir maupun batin. Lawan dari kata wala’ adalah baro’ atau ‘adawah yaitu kebencian atau permusuhan.

Allah Wali dari orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir, wali-walinya adalah syetan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan”. (Al Baqarah: 257)

Allah sebagai “waliyullladzina amaanuu” maksudnya Allah merupakan pemimpin, penolong, dan pelindung bagi orang-orang beriman. Allah membimbing mereka dengan cinta dan kasih sayang sehingga mereka terlepas dari kegelapan jahiliyyah menuju cahaya Islam. Sebaliknya “awliyaa” (para pemimpin, penolong, dan pelindung) orang-orang kafir adalah thagut. Thagut adalah syetan dan segala yang disembah selain Allah. Thagut itu jumlahnya banyak dan mereka menyesatkan orang-orang yang mengikutinya sehingga mereka keluar dari cahaya Islam menuju kegelapan jahiliyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mendefinisikan Al Wala’ dan Al Baro’ dengan ungkapan, “Al Walayah kebalikan dari al-‘adawah. Asal pengertian al walayah adalah kecintaan dan kedekatan. Sedangkan asal pengertian al-‘adawah adalah kebencian dan kejauhan. Wali artinya orang yang dekat. Dalam Bahasa Arab “hadza yali hadza” artinya ini dekat dengan ini. Seperti dalam sabda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam,

“Serahkan ilmu waris kepada pakarnya. Bila masih ada yang menyisa dari harta warisan, maka ia menjadi milik orang yang paling dekat dengan orang yang mati”.

Berwala’ dalam Islam ini implementasinya dilakukan dengan memberikan wala’ kepada Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman dalam satu kesatuan, sebagaimana disebutkan Al Qur-an,

Sesungguhnya Wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (QS. 5, Al Maaidah:55)

Loyalitas Kepada Allah

Sumber utama dari Al Wala’ wal Baro’ adalah Kalimat tauhid “laa ilaha illa-Llah”. Di antara makna kalimat Tawhid adalah “Laa waliya illa Llah”(tiada wali yang disembah kecuali Allah). Loyalitas kepada Allah adalah memberikan kepercayaan bulat untuk dipimpin dan diarahkan oleh Allah dengan segala kecintaan dan kesetiaan. Maka wala’ kepada Allah bermakna bersedia menyerahkan diri secara total kepada Allah untuk dipimpin dan diarahkan dengan segala kecintaan. Atau menyediakan diri untuk dipimpin Allah secara total tanpa sedikitpun perlawanan. Wala’ kepada Allah ini hanya akan diterima manakala terdapat Bara (penolakan) kepada segala bentuk sembahan selain Allah atau kepemimpinan yang tidak bersumber dari Allah.

Al Waliy merupakan salah satu makna Al Ilah (Sembahan). Dengan kata lain sesuatu yang disembah adalah sesuatu yang dijadikan pemimpin, penolong, pelindung atau teman akrab yang sangat dicintai. Tiada yang boleh diperlakukan sebagai sembahan dalam bentuk seperti ini kecuali Allah semata. Nabi Ibrahim Alaihissalaam telah menunjukkan sikap tauhid seperti ini,

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:”Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja… (QS. 60. Al Mumtahanah:4)

Al Wala’ kepada Allah ini selain diartikan loyalitas juga mengandung makna “kesetiaan” dan lawan dari pengkhianatan. Karena itu, manakala seseorang memberikan wala’nya kepada Allah maka dia tidak boleh mengkhianati-Nya. Dia pun wajib memberikan kesetiaan kepada Allah meskipun dia berada dalam keadaan susah.

Bukan itu saja, dia pun harus menyesuaikan diri dengan mengikuti petunjuk-Nya tentang apa yang dicintai dan diridhai-Nya, tentang apa yang dimurkai, diperintah dan dilarang-Nya. Sebagai balasannya, Allah akan memberikan wala’Nya kepada orang tersebut. Allah pasti akan mencintai, melindungi, membimbing dan menolongnya. Bahkan orang yang memusuhi wali Allah juga akan menjadi musuh Allah. Dan orang yang menjadi musuh Allah otomatis menjadi musuh walinya pula. Firman Allah,

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan musuhku dan musuhmu menjadi teman-teman setia, yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang”. (Al Mumtahanah: 1)

Barang siapa yang memusuhi wali Allah berarti dia memusuhi Allah. Dan barang siapa memusuhinya, berarti ia memeranginya. Maka disebutkan dalam sebuah hadits: “Dan barang siapa memusuhi penolong-Ku, maka dia telah memperlihatkan kepada-Ku permusuhan”.

Bagaimanakah penampilan orang-orang yang memberikan walanya kepada Allah sepenuhnya? Sejarah Islam memperkenalkan kepada kita pribadi-pribadi mulia pencinta Allah dan pemuja-pemuja-Nya yang setia. Pola kehidupan mereka memang terasa aneh untuk orang-orang di zaman ini, tetapi itu adalah kenyataan dari hasil keimanan dan amal sholeh mereka. Beberapa hal berikut ini merupakan sekelumit dari kisah-kisah mereka.

Amirul mu’minin Khalifah Umar bin Khattab pernah mengalami kesibukan yang luar biasa. Beliau asyik mengurus kebunnya sampai masuklah waktu sholat ashar. Ketika beliau sadar, beliau segera bergegas ke masjid ternyata orang-orang sudah pulang dari masjid. Khalifah sangat menyesali kejadian itu. Baru kali ini dalam hidupnya beliau terlambat sholat berjamaah di masjid. Karena kejadian ini, Khalifah Umar memutuskan untuk menyedekahkan kebun yang melalaikan dirinya.

Ketika melukiskan pribadi Al Hasan Al Zubdy, Imam Al Zahaby berkata, “Beliau menghabiskan seluruh waktunya demi ibadah, ilmu, menulis, mengajar dan belajar, hingga akhirnya Allah memberinya tempat yang istimewa di hati manusia, baik kaum awam maupun ulama”.

Imam Ibnul Qayyim Al Jauzy sendiri adalah seorang ulama yang sangat sholeh. Dalam perjalanan hajinya dari Syria menuju Makkah Al Mukarramah beliau menulis Kitab Zadul Ma’ad yang spektakuler. Kitab itu kadang beliau tulis di atas ontanya yang sedang melaju menuju Baitullah.

Adapun Imam Ibnu Taimiyah, guru Ibnul Qayyim terkenal sebagai ulama mujadid (pembaharu) yang banyak menghasilkan karya besar. Namun hidup beliau senantiasa dalam fitnah karena dikejar-kejar orang-orang yang memusuhi Islam. Ketika beliau di penjara, beliau bersenandung,

Apa yang dikehendaki musuh-musuhku daripadaku

sesungguhnya surgaku ada dalam hatiku

Apabila mereka memenjarakan daku, maka penjara itu tempatku berkhalwat

Dan apabila mereka mengusirku maka kepergianku adalah tamasya

Dan apabila mereka membunuhku mereka mempertemukan Aku dengan kekasih-Ku

Beliau berkata, “Di dunia ini ada satu surga, siapa saja yang tidak memasukinya, ia tidak akan merasakan surga akhirat”. Yang dimaksud surga oleh beliau adalah “kelezatan iman dan cinta kepada Allah”. Demikianlah pendirian Ibnu Taimiyah yang telah menunjukkan wala-Nya kepada Allah dan mengabdikan diri untuk berjihad di jalan-Nya.

Gambaran di atas baru sekelumit saja dari panggung sejarah Islam yang kaya dengan orang-orang sholeh dan sepak terjangnya di jalan Allah.

Loyalitas Kepada Rasulullah

Sebagai konsekuensi mencintai Allah adalah mencintai Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam dan mengikuti beliau. Nabi Muhammad adalah kekasih Allah. Karena itu, mencintai Allah juga harus diwujudkan dengan memberikan wala’ kepada Nabi. Inilah makna firman Allah,

Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3. Ali Imraan:31)

Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam adalah seorang hamba yang diutus Allah untuk memimpin manusia dalam beribadah kepada-Nya. Karena itu berwala’ kepada Nabi artinya dengan segala kecintaan menjadikan Nabi Muhammad sebagai kekasih, pemimpin, pembimbing hidup, penuntun jalan, idola, dan panutan yang dibela dengan segenap daya upaya dan pengorbanan dalam rangka berwala’ kepada Allah. Hal ini tidak bertentangan dengan berwala’ kepada Allah, malahan menjadi konsekuensi dari wala’ kepada Allah sebagaimana mengikuti Rasulullah merupakan konsekuensi cinta dan taat kepada Allah.

Berwala’ kepada Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam menjadikan wala’ seseorang kepada Allah mengikuti manhaj (konsepsi) yang benar dan diridhai Allah. Nabi Muhammad adalah sebaik-baik manusia dalam hubungannya dengan Rabbul Alamin, menjadi contoh dan teladan utama dalam menegakkan Kalimat tauhid.

Rasulullah adalah Kholilullah (Kekasih Allah) sekaligus Waliyullah (Sahabat Dekat Allah). Inilah manusia yang paling dicintai Allah sepanjang adanya kehidupan. Mengapa? Karena beliau diberi Allah karunia terbesar sepanjang sejarah kehidupan. Beliau adalah hamba pilihan Allah dan utusannya yang terakhir untuk segenap manusia. Beliau telah menunaikan tugas mulia ini dengan sukses. Ia telah meletakkan pancangan “Iqomatud diin” (penegakkan Agama) yang akan tetap terpelihara sampai hari kiamat nanti.Rasulullah merupakan orang yang paling bersyukur kepada Allah atas karunia dan ni’mat yang diberikan-Nya. Beliau merupakan manusia paling thaat dan patuh pada ajaran yang dibawanya. Menjadi contoh dan teladan bagi pelaksanaan ajaran Islam sepanjang masa. Karena itu Allah dan para Malaikat memuji beliau,

Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan baginya”. (Al Ahzab: 56)

Bila Allah dan para Malaikatnya menyampaikan sholawat kepada Rasul, maka kita lebih wajib lagi untuk mengucapkannya. Disebutkan dalam hadis,

Dari Anas r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Barang siapa yang disebut namaku di hadapannya, makabershalawatlah kepadaku, barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan mendoakannya sepuluh kali”

Suatu ketika shahabat Rasulullah Umar bin Khattab datang menemui Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam. Umar radliyallahu anhu berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu!”

“Seperti apakah kecintaanmu padaku hai Umar?” tanya Rasulullah.

“Aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri!” sahut Umar.

“Tidak, hai Umar!! Engkau baru dikatakan mu’min bila mencintaiku lebih dari mencintai dirimu sendiri”. kata Rasulullah menegaskan.

Umar berkata, “Kalau begitu, aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri”.

“Nah sekarang baru benar” , kata Rasulullah salallahu alaihi wa sallam.

Jelas bahwa Rasulullah mengajarkan para shahabatnya untuk lebih mencintai beliau dari diri mereka sendiri. Dalam ajaran Islam kecintaan seperti ini merupakan pertanda lurusnya iman seseorang. Beliau bersabda,

Tidak beriman salah seorang dari kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, atau seluruh manusia”. (HR. Bukhari)

Hal ini berarti, kecintaan kepada Rasulullah tidak boleh dikalahkan oleh kecintaan kepada istri, anak tersayang, profesi, hobbi, bangsa, negara, dan sebagainya. Bila tidak, maka kita tidak bisa digolongkan orang mu’min! Jika ada orang mengaku beriman, tetapi ternyata hawa nafsunya belum bisa meninggalkan suatu yang dilarang Rasulullah, maka imannya dusta, dan ia tergolong munafik! Hal ini ditegaskan pula oleh Rasulullah,

Tidak beriman salah seorang dari kamu, sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”. (HR. Bukhari Muslim)

Kalau kita buka lembaran sejarah dan menelusuri kembali rangkaian kisah generasi pertama dari kalangan sahabat Rasulullah dan para pengikutnya, niscaya akan kita jumpai contoh-contoh manusiawi yang mengagumkan tentang bagaimana mereka merasakan gelora cintanya kepada Allah dan Rasul.

Al Baghawi menuturkan kisah dialog Rasulullah dengan Tsauban, seorang khadam (pelayan) yang sangat cinta pada beliau. Suatu hari, saat Rasulullah menjumpai Tsauban, serta merta raut wajahnya berubah. Lalu Rasulullah bertanya padanya, “Mengapa rona wajahmu berubah Tsauban?”. Dengan serius, Tsauban menjawab, “Saya tidak sakit ya Rasulullah, kecuali hanya saya tidak dapat memandangmu. Saya merasa begitu sepi dan dicekam oleh rasa ketakutan yang luar biasa. Ketakutan dan kesepian itu baru hilang sampai saat saya berjumpa denganmu. Kemudian saya ingat akan akhirat, dan sayapun kembali diliputi oleh rasa cemas kalau-kalau saya tidak dapat melihat engkau. Bukankah engkau kelak diangkat dan dikumpulkan dengan para Nabi lainnya. Sedangkan saya, jika saya masuk surga mungkin saya tidak bisa tinggal dekat denganmu. Tetapi jika saya tidak masuk surga, tentu saya tidak akan dapat memandangmu lagi selama-lamanya”.

Itulah ungkapan perasaan Tsauban yang teramat mencintai Rasulullah. Perasaan seperti itu sungguh mengagumkan, sehingga Allah sendiri berkenan menjawab keresahan hati Tsauban. Kepada Rasulullah turunlah Surat An Nisa ayat 69, sebagai jawaban bagi kerinduan hati Tsauban:

“Siapa saja yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para syuhada dan orang-orang yang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”

Loyalitas kepada orang-orang yang beriman

Bagian ketiga dari wala’ dalam Islam adalah berwala’ kepada orang-orang yang beriman. Loyalitas yang diberikan kepada orang-orang mu’min merupakan perwujudan dari berwala’ kepada Allah dan Rasulnya. Al Qur-anul Karim telah menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah awliya Allah (para wali Allah).

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (QS. 10:62-63)

Karena mereka merupakan awliya Allah maka setiap mereka hendaknya saling memberikan wala. Dalam hubungan interaksi sesama mu’min diwajibkan adanya mahabbah (kecintaan) antara seorang muslim dengan yang lain. Adapun tingkatan mahabbah yang paling rendah adalah bersihnya hati (salamush shadr) dari perasaan hasud, membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan dan pertengkaran. Mahabbah dalam kesehariannya direalisasikan dalam bentuk sikap wala’ (loyalitas, tolong menolong, saling membimbing) antara satu dengan lain, “ba’duhum awliya-u ba’din”. Bentuk wala’ yang paling tinggi adalah itsar, yaitu mengutamakan memenuhi kepentingan saudaranya sesama muslim daripada kepentingannya sendiri.

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 9. At Taubah:71)

Berbagai bentuk itsar, sebagai wala’ yang tertinggi telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Di antaranya adalah persahabatan antara Abu Bakar dan Rasulullah. Abu Bakar senantiasa mengutamakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam dari kepentingan dirinya. Ketika keduanya berada di gua Tsur dalam perjalanan hijrah yang menegangkan misalnya, Abu Bakar selalu melindungi Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam.Abu Bakar tidak berani membangunkan Nabi yang tertidur di pangkuannya. Padahal kakinya dipatuk ular. Dia tetap menahan rasa sakitnya yang bersangatan karena tidak ingin mengganggu Nabi yang kelelahan dan beristirahat di pangkuannya. Nabi terbangun karena tetesan airmata Abu Bakar yang kesakitan. Setelah terbangun, Nabi pun mengobati luka Abu Bakar …

Benarlah Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR.Muttafaqun’Alaih)

Dengan demikian maka ia juga membenci segala sesuatu yang menimpa atas saudaranya sebagaimana ia membenci sesuatu itu menimpa dirinya. Maka jika ia senang bila dirinya memperoleh kemakmuran hidup maka ia juga menginginkan hal yang demikian itu terhadap saudaranya. Dan jika ia menginginkan mendapat kemudahan dalam kehidupan berkeluarga(nya), maka ia juga menginginkan hal itu diperoleh orang lain. Dan jika ia ingin anak-anaknya menjadi cerdas, maka ia juga menginginkan hal yang sama untuk orang lain. Dan manakala ia menginginkan untuk tidak disakiti baik ketika berada di rumah atau ketika sedang bepergian, maka begitu pula ia menginginkan kepada seluruh manusia. Dengan demikian ia menempatkan saudaranya seperti dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai dan benci.

Berwala’ kepada orang-orang beriman mewajibkan kaum muslimin meninggalkan wala’ kepada selain Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman. Ini berarti kaum muslimin harus mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Sejalan dengan firman Allah,

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)

Islam telah melarang kaum muslimin untuk memberikan wala’nya kepada orang-orang selain mereka. Memberikan wala’ kepada orang-orang kafir akan membawa kepada kemunafikan,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) (QS. 4:144)

Memberikan wala’ kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah pengkhianatan yang membuat pelakunya digolongkan kepada golongan mereka


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. 5:51)

Kisah Neraka Jahannam

Dikisahkan dalam sebuah hadis bahwa sesungguhnya neraka Jahannam itu adalah hitam gelap, tidak ada cahaya dan tidak pula ia menyala. Dan ia memiliki 7 buah pintu dan pada setiap pintu itu terdapat 70,000 gunung, pada setiap gunung itu terdapat 70,000 lereng dari api dan pada setiap lereng itu terdapat 70,000 belahan tanah yang terdiri dari api, pada setiap belahannya pula terdapat 70,000 lembah dari api.

Dikisahkan dalam hadis tersebut bahwa pada setiap lembah itu terdapat 70,000 gudang dari api, dan pada setiap gudang itu pula terdapat 70,000 kamar dari api, pada setiap kamar itu pula terdapat 70,000 ular dan 70,000 kala, dan dikisahkan dalam hadis tersebut bahawa setiap kala itu mempunyai 70,000 ekor dan setiap ekor pula memiliki 70,000 ruas. Pada setiap ruas kala tersebut ianya mempunyai 70,000 qullah bisa.

Dalam hadis yang sama menerangkan bahwa pada hari kiamat nanti akan dibuka penutup neraka Jahannam, maka sebaik sahaja pintu neraka Jahannam itu terbuka, akan keluarlah asap datang mengepung mereka di sebelah kiri, lalu datang pula sebuah kumpulan asap mengepung mereka disebelah hadapan muka mereka, serta datang kumpulan asap mengepung di atas kepala dan di belakang mereka. Dan mereka (Jin dan Mausia) apabila terpandang akan asap tersebut maka bergetarlah dan mereka berlutut dan memanggil-manggil, “Ya Tuhan kami, selamatkanlah.”

Diriwayatkan bahawa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah bersabda : “Akan didatangkan pada hari kiamat itu neraka Jahannam, dan neraka Jahannam itu mempunyai 70,000 kendali, dan pada setiap kendali itu ditarik oleh 70,000 malaikat, dan berkenaan dengan malaikat penjaga neraka itu besarnya ada diterangkan oleh Allah s.w.t. dalam surah At-Tahrim ayat 6 yang bermaksud : “Sedang penjaganya malaikat-malaikat yang kasar lagi keras.” Setiap malaikat apa yang ada di antara pundaknya adalah jarak perjalanan setahun, dan setiap satu dari mereka itu mempunyai kekuatan yang mana kalau dia memukul gunung dengan pemukul yang ada padanya, maka nescaya akan hancur lebur gunung tersebut. Dan dengan sekali pukulan sahaja ia akan membenamkan 70,000 ke dalam neraka Jahannam.

MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM

Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujzak.
Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab: 72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3),  serta fujur dan taqwa (asy-Syams: 8).

Selain itu, manusia juga diciptakan untuk mengaplikasikan beban-beban ilahiah yang mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah yang harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam mayapada memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya tidaklah untuk huru-hara dan tanpa hadaf  ‘tujuan’ yang berarti. Perhatikanlah ayat-ayat Qur`aniah di bawah  ini.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:  “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)

Manusia adalah makhluk pilihan dan makkhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT dari makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya, seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia  dengan ahsanu taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. Dengan akal yang dimilikinya, manusia  diharapkan mampu memilah dan memilih nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam risalah para  rasul. Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai dengan iradah Robbnya dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk melahirkan karya-karya besar dan tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia tetap mempertahankan gelar kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya seperti ahsanu taqwim, ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya.

Maka, dengan sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat insaniah yang berkaitan dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi khusus kepada manusia untuk menguji dan  mengetahui siapa yang jujur dalam beriman dan dusta dalam beragama.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan  (saja)  mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji  orang-orang  yang  sebelum  mereka, maka   sesungguhnya   Allah   mengetahui   orang-orang  yang  benar  dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3).

Oleh karena itu, ia harus benar-benar mampu menjabarkan kehendak-kehendak ilahiah dalam setiap misi dan risalah yang diembannya.

II.    RISALAH INSAN

1. Manusia dan Misi

Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus: misi utama; misi fungsional; dan misi operasional.

A. Misi Utama

Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45).
Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang dijadikan  satu-satunya tujuan penciptaannya.
Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).
Hal ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan, dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka) yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.
Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32)

•    Sabiqun bil khairat

Hamba Allah SWT yang termasuk dalam kategori ini adalah hamba yang tidak hanya puas melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Akal sehatnya menerawang jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif. Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan, dan kepasrahan kepada Allah SWT.

•    Muqtashidun

Hamba Allah yang masuk dalam kategori ini adalah manusia muslim yang puas ketika mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya, tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang dimakruhkan.

•    Dzalimun linafsihi

Hamba yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang masih mencampuradukkan antara hak dan batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah Allah SWT, ia juga masih sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada dua kekuatan yang mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih dominan,  dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.
“Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat mujarab dab terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali al-Mawardy)

Apabila manusia mengikuti libido, mengekor nafsu angkara murka, dan menjadi budak syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah ‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah ‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin ‘tempat yang paling rendah’, al-an’aam ‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri. Inilah manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60, al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)

Ali bin Abu Thalib ra. berkata, “Ada dua masalah yang saya takutkn menimpa kamu. Pertama, mengikuti hawa nafsu. Kedua, banyak menghayal. Karena, yang pertama akan menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua mengakibatkan lupa akan akhirat.”
Sebagian ahli hikmah berkata, “Akal merupakan teman setia, dan hawa nafsu adalah musuh yang ditaati.”
Sebagian ahli hikmah yang lain berkata, “Hawa nafsu adalah raja yang bengis dan penguasa yang lalim.” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya)

B. Misi Fungsional

Selain misi utama yang harus diemban manusia, ia juga mempunyai misi fungsional sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di atas rel-rel robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah ‘kekuasan’, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah ‘binatang ternak’.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah)
Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah, maka ia akan mempertahankan kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27  dan Shaad: 26).
Adapun ketika jiwa manusia terbelenggu oleh syahwat syaithaniah dan bahaimiah, maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan  menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat.

C. Misi Operasional

Manusia diciptakan di bumi ini—selain untuk beribadah dan sebagai khalifah,  juga harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi (ar-Ruum: 41). Oleh karena itu, bumi ini membutuhkan pengelola dari manusia-manusia yang ideal. Manusia yang memiliki sifat-sifat luhur sebagaimana disebutkan di bawah ini.

    Syukur  (Luqman: 31)
    Sabar  (Ibrahim: 5)
    Mempunyai belas kasih  (at-Taubah: 128)
    Santun  (at-Taubah: 114)
    Taubat  (Huud: 75)
    Jujur  (Maryam: 54)
    Terpercaya  (al-A’raaf: 18)

Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu mengendalikan nafsu dan menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya,  diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya. Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

MENGHINDARI JIMAT, JAMPI, PERDUKUNAN DAN PARANORMAL

Bertawakkal dan berpegang teguh hanya kepada Allah dalam semua urusan adalah prinsip dasar keimanan. Firman Allah :

“ Karena itu, hendaklah kepada Allah saja, orang –orang mukmin bertawakkal” QS. 3:160

“ Dan hanya kepada Allah, hendaklah kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang beriman” QS. 5:23

“Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya” QS. 65:3

Penggunaan sarana-sarana untuk mencapai tujuan dengan tetap berkeyakinan – bahwa keberhasilannya tergantung pada Allah- tidak menafikan makna tawakkal. Rasulullah SAW orang yang paling bertawakkal kepada Allah tetap menggunakan sarana-sarana fisik untuk memenuhi kebutuhannya seperti berobat sewaktu sakit, dsb.

Penggunaan sarana-sarana jahiliyyah untuk mencapai tujuan, tidak diperbolehkan bagi setiap muslim, bahkan ia wajib menolak dan memeranginya. Demikianlah yang pernah dilakukan oleh Nabi beserta para sahabatnya. Islam memberikan penjelasan yang membedakan cara jahiliyyah dan Islamiyyah dalam hal jimat dan jampi untuk menjaga dan melindungi aqidah ummat dari keterpurukan syirik.

Ta’rif dan Hukumnya

1. AT TAMA’IM/JIMAT

At Tama’im adalah bentuk jama’ dari kata Tamimah, yaitu untaian batu atau semacamnya yang oleh orang Arab terdahulu dikalungkan pada leher, khususnya anak-anak, dengan dugaan ia bisa mengusir jin, atau menjadi benteng dari pengaruh jahat, dan semacamnya. Dalam bahasa kita sering disebut dengan jimat, atau pusaka.

Tradisi ini kemudian dibatalkan oleh Islam. Bahwa tidak ada yang bisa menolak dan menghalangi bahaya kecuali Allah. (QS. 6:17) Sabda Nabi :

Dari Uqbah bin Amir, ia berkata : Rasulullah saw bersabda: “ Barang siapa menggantungkan tamimah (jimat) semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya, dan barang siapa menggantungkan wada’ah (sesuatu yang diambil dari laut, menyerupai rumah kerang. Menurut anggapan jahiliyah dapat digunakan sebagai penangkal penyakit) semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya”. HR. Ahmad.

Termasuk dalam pengertian tamimah adalah : jami’ah (aji-ajian terbuat dari tulisan), khorz (jimat penangkal terbuat dari benda-benda kecil dari laut dan semacamnya), hijab (jarum tusuk atau semacamnya yang diyakini bisa membentengi diri) dan semacamnya.

Jika tamimah terbuat dari ayat-ayat Al Qur’an, atau memuat nama-nama dari sifat Allah, ulama salaf berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian memperbolehkan dan sebagian lain melarang, dengan alasan :

a. Umumnya dalil yang melarang bentuk tamimah

b. Saddudz-Dzari’ah (preventif), karena memperbolehkan tamimah dari Al Qur’an akan membuka peluang dari selainnya.

c. Diperbolehkannya tamimah dari Al Qur’an, menjadi bentuk pelecehan Al Qur’an. Karena pemakainya akan membawanya ke tempat-tempat najis atau sejenisnya. Seperti waktu buang hajat, haidh, junub, dan sebagainya.

d. Tamimah dengan Al Qur’an akan berdampak pada pengecilan peran dan tujuan Al Qur’an diturunkan. Sebab Al Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk,bukan untuk tamimah dan isi kalung.

2. RUQYAH/JAMPI-JAMPI

Ruqyah adalah kalimat-kalimat atau gumaman-gumaman tertentu yang biasa dilakukan orang jahiliyah dengan keyakinan bisa menangkal bahaya, menyembuhkan penyakit, dsb, dengan meminta bantuan kepada jin, atau dengan menyebut nama-nama asing dan kata-kata yang tidak difahami. Islam melarang perbuatan ini, sebagaimana dalam sabda Nabi :

“Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah (sesuatu yang dibuat/dibikin dengan anggapan menjadikan suami/istri mencintai pasangannya, sering disebut :guna-guna/pelet ) adalah syirik” HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibn Majah.

Ruqyah yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah ruqyah yang berisi permohonan pertolongan kepada selain Allah.

Adapun ruqyah yang menggunakan Asma, sifat, firman Allah, dan pernah dicontohkan Rasulullah , maka hukumnya jaiz/boleh, bahkan dianjurkan. Seperti yang ditunjukkan oleh hadits Imam Muslim :

Dari Auf bin Malik ra, berkata:”Saya pernah meruqyah di masa jahiliyyah, lalu saya bertanya kepada Rasulullah: “Bagaimana menurutmu Ya Rasulallah? Sabda Nabi : “Tunjukkan kepadaku jampi-jampi kalian, tidak apa-apa selama tidak mengandung syirik”.

Dengan demikian hukum mantera ada dua macam : haram dan halal.

a. Haram

Mantera/jampi yang haram adalah yang di dalamnya terdapat permohonan bantuan kepada selain Allah, atau dengan selain Bahasa Arab. Mantera yang demikian bisa menyebabkan kafir atau ucapan yang mengandung syirik.

b. Halal/boleh

Imam Nawawi, Ibn Hajar, dan As Suyuti memperbolehkan ruqyah selain yang tersebut di atas dengan syarat :

1. menggunakan kalamullah, asma’ atau sifat-Nya

2. menggunakan Bahasa Arab dan diketahui maknanya

3. berkeyakinan bahwa ruqyah tidak mempunyai pengaruh dengan sendirinya, akan tetapi karena taqdir Allah.

3. AR RAML/MERAMAL

Ar Raml adalah cara mencari barang yang hilang dengan cara membuat garis-garis di atas pasir/tanah.. Termasuk dalam kategori ini adalah ramalan bintang/astrologi, yang dalam agama dikenal dengan istilah tanjim. Perbuatan ini termasuk dalam kategori sihir dan dajl (kebohongan besar). Rasulullah bersabda :

“Barangsiapa mengutip ilmu (pengetahuan) dari bintang, ia telah mengutip satu cabang dari sihir, ia bertambah sesuai dengan tambahan yang dikutip”. HR. Abu Daud, Ibn Majah, Ahmad

Hadits ini ditujukan kepada orang yang mempelajari aspek perbintangan yang bisa menghantarkan kepada kekufuran, seperti mengklaim ilmu ghaib. Hal ini termasuk sihir dan syirik, sebab tidak ada yang mengetahui alam gaib selain Allah.

Hadits ini tidak ditujukan kepada orang yang mempelajari jarak bintang, posisi, ukuran besar, daerah edarnya dan semacamnya, yang bisa diketahui dengan pengamatan, teleskop dan semacamnya yang dikenal dengan ilmu falak (astronom). Sebab ilmu ini memiliki dasar kaidah dan sarananya.

Perbuatan yang sama dengan tanjim adalah kahanah dan arrafah, pelakunya disebut Kahin dan Arraf.

Kahin adalah orang yang menginformasikan tentang hal-hal gaib di masa datang, atau yang menginformasikan tentang sesuatu yang ada pada hati manusia.

Arraf adalah nama yang mencakup Kahin, Munajjim (pelaku tanjim)Rammal (peramal) dan semacamnya, yang mengaku mengetahui ilmu gaib, baik tentang masa datang atau yang ada pada hati manusia, baik dengan cara berhubungan dengan jin, atau melihat (mengamati) atau dengan menggaris-garis di pasir, atau membaca telapak tangan, lepek (tatakan gelas) atau benda lainnya. Rasulullah SAW bersabda tentang mereka:

“Siapa yang mendatangi Arraf lalu ia menanyakan sesuatu dan membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari” HR. Muslim dan Ahmad.

“Barangsiapa mendatangi Kahin (dukun) lalu ia membenarkan apa yang diucapkannya, niscaya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW. HR. Abu Dawud, at Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad dan Ad Darimiy.

Demikian ini keadaan orang yang mendatangi dukun. Bagaimana dengan yang ditanya (dukunnya)? Perbuatan demikian dilarang dalam Islam dan dianggap kufur terhadap ajaran yang diturunkan kepada Muhammad, karena dalam ajaran itu ditegaskan bahwa tidak ada yang mengetahui ilmu gaib selain Allah SWT.

Pola perdukunan di masa Jahiliyah terbagi dalam tiga macam :

1. Bekerja sama dengan jin, yang memberikan informasi kepada dukun itu, setelah mencuri informasi dari langit.

2. Memberitahukan sesuatu yang diketahui dan pernah terjadi di wilayah lain, kepada orang yang bertanya sesuatu kepadanya.

3. Munajjim, dengan menggunakan bintang-bintang.

Wallahu a’lam

Loyalitas dalam Islam

Bukti keimanan seseorang adalah adanya amal nyata dalam kehidupan sehari-hari oleh karena iman bukan sekadar pengakuan kosong dan “lip service” belaka, tanpa mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam kehidupan seorang Mukmin. Selain merespon seluruh amal islami dan menyerapnya ke dalam ruang kehidupannya, seorang Mukmin juga harus selalu loyal dan memberikan wala’-nya kepada Allah dan Rasulnya. Ia harus mencintai dan mengikuti apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi seluruh perbuatan yang dilarang. Perhatikan firman Allah berikut ini.

 

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (al-Maa`idah: 54-55)

 

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya,’ jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 31-32)

 

Di sisi lain, seorang Mukmin tidak boleh loyal dan cinta terhadap musuh-musuh Islam. Oleh karenanya, dalam beberapa firman-Nya, Allah mengingatkan orang-orang beriman tentang hal ini.

 

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imran: 28)

 

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka, janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.” (an-Nisaa`: 89)

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maa`idah: 51) 

 

Oleh karena itu, setiap Muslim harus memahami dengan baik tentang konsep al-wala’ dalam perspektif Islam.

 

 

  I.          DEFINISI

 

Secara etimologi, al-wala’ memiliki beberapa makna, antara lain ‘mencintai’, ‘menolong’, ‘mengikuti’ dan ‘mendekat kepada sesuatu’. Ibnu al-A’rabi berkata, “Ada dua orang yang bertengkar, kemudian pihak ketiga datang untuk meng-ishlah (memberbaiki hubungan). Kemungkinan ia memiliki kecenderungan atau wala’ kepada salah satu di antara keduanya.”

 

Adapun maula memiliki banyak makna, sebagaimana berikut ini.

“Ar-Rabb, Pemilik, Sayyid (Tuan), Yang Memberikan kenikmatan, Yang Memerdekakan, Yang Menolong, Yang Mencintai tetangga, anak paman, mitra, atau sekutu, Yang Menikahkan mertua, hamba sahaya, dan yang diberi nikmat. Semua arti ini menunjukkan arti pertolongan dan percintaan.” (Lihat Lisanul-Arab, Ibnu Mandzur, 3/985-986)

 

Selanjutnya, kata muwaalah adalah anonim dari kata mu’aadah ‘permusuhan’ dan kata al-wali adalah anonim dari kata al-aduw ‘musuh’. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.

 

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai pelindung.” (Muhammad: 11)

 

“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 45)

 

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 257)

 

Dalam terminologi syariat, al-wala’ bermakna penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang disukai dan diridhai Allah, berupa perkataan, perbuatan, keyakinan, dan orang (pelaku). Jadi, ciri utama orang Mukmin yang ber-wala’ kepada Allah SWT adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah. Ia mengimplementasikan semua itu dengan penuh komitmen.

 

 

II.          KEDUDUKAN AKIDAH AL-WALA’

 

Akidah al-wala’ ini memiliki kedudukan yang sangat urgen dalam keseluruhan muatan Islam.

Pertama, ia merupakan bagian penting dari makna syahadat. Maka, menetapkan “hanya Allah” dalam syahadat tauhid berarti seorang Muslim harus berserah diri hanya kepada Allah, membenci dan mencintai hanya karena Allah, lembut dan marah hanya kepada Allah, dan ia harus memberikan dedikasi maupun loyalitasnya hanya kepada Allah.

 

“Katakanlah, sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (al-An’aam: 162)

 

“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa, ‘Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘(Allah telah menurunkan) kebaikan.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (an-Nahl: 30)

 

Kedua, ia merupakan bagian dari ikatan iman yang kuat. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR Ahmad dalam Musnadnya dari al-Bara bin ‘Azib)

 

Ketiga, ia merupakan sebab utama yang menjadikan hati bisa merasakan manisnya iman. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Ada tiga hal yang apabila seseorang mendapatkan dalam dirinya, niscaya ia akan merasakan manisnya iman: hendaklah Allah dan Rasulnya lebih ia cintai daripada dirinya sendiri; hendaklah ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah; hendaklah ia benci kepada kekufuran seperti bencinya untuk dilemparkan ke dalam neraka setelah Allah menyelamatkannya daripadanya.” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

Keempat, ia merupakan tali hubungan di mana masyarakat Islam dibangun di atasnya.

 

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujuraat: 10)

 

Rasulullah saw. bersabda, “Cintailah saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri.” (HR Ahmad dalam Musnadnya)

 

Kelima, pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Allah. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Orang-orang yang saling mencintai (karena Allah) akan berada di atas mimbar dari cahaya pada hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi)

 

“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah, di mana pada hari itu tiada naungan kecuali naungan-Nya. (Di antara mereka) adalah dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena Allah.” (HR Muslim)

 

Keenam, perintah syariat untuk mendahulukan akidah al-wala’ ini daripada hubungan yang lain.

 

“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 24)

 

Ketujuh, mendapatkan walayatullah.

 

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 257)

 

Kedelapan, akidah ini merupakan tali penghubung yang kekal di antara manusia hingga hari kiamat. Allah berfirman,

 

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (al-Baqarah: 166)

 

 

 

 

III.          HUKUM AKIDAH AL-WALA’

 

Berdasarkan beberapa ayat dan hadits, aqidah al-wala’ dan al-bara’ merupakan suatu kewajiban yang harus ditegakkan dalam syariat Islam. Ia merupakan salah satu konsekuensi dan syarat sahnya syahadat. Seorang Muslim tidak mungkin lepas dari akidah ini dalam setiap dimensi kehidupannya. Ia harus mencintai Allah SWT, Rasul, dan hamba-hamba yang beriman, dengan segala pengorbanannya. Pada saat yang sama, ia harus menegakkan permusuhan terhadap kekufuran dan manusia-manusia yang mendukung kekufuran tersebut. Perhatikan ayat-ayat Allah berikut ini.

 

            “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 24)

 

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imran: 28)

 

“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (al-Mujaadilah: 22)

 

“Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku lebih ia cintai daripada anaknya, bapaknya, dan seluruh manusia.” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

“Barangsiapa yang berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal (merasa tenang) dengannya, maka ia sama dengannya.” (HR Abu Dawud dari Samurah bin Jundub)

 

 

IV.          HAK-HAK AL-WALA’

 

Ada beberapa hak yang berkaitan dengan akidah al-wala’ dalam syariat Islam, sebagaimana penjelasan berikut.

 

Pertama, hijrah, yaitu hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim, kecuali bagi orang yang lemah atau tidak dapat berhijrah karena kondisi geografis dan politik kontemporer yang tidak memungkinkan. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan, ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (an-Nisaa`: 97-99)

 

Kedua, membantu dan menolong kaum muslimin dengan lisan, harta, dan jiwa di manapun ia berada dan dalam semua kebutuhan, baik dunia maupun agama. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Anfaal: 72)

 

“Orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain bagaikan bangunan yang sebagian menyangga sebagian yang lain.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

“Tolonglah saudara kamu baik yang melakukan kezhaliman atau yang dizhalimi.” (HR Bukhari)

 

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, ia tidak meremehkannya, tidak menghinakannya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh).” (HR Muslim)

 

Ketiga, terlibat dalam harapan-harapan dan kesedihan-kesedihan kaum Muslimin. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Perumpamaan kaum Muslimin dalam cinta, kekompakan, dan kasih sayang bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya mengeluh sakit, maka seluruh anggota tubuh juga ikut menjaga dan berjaga.” (HR Bukhari)

 

Keempat, hendaklah ia mencintai saudara Muslim sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, baik berupa kebaikan maupun menolak keburukan. Ia wajib menasihati mereka, tidak menyombongkan diri dan atau mendendam terhadap mereka.

 

Kelima, tidak mengejek, melecehkan, mencari aib, dan ber-ghibah serta menyebarkan namimah terhadap sesama kaum Muslimin.

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan)yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (al-Hujuraat: 11-12)

 

Yang dimaksud dengan ‘jangan mencela dirimu sendiri’ ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh. Dan ‘panggilan yang buruk’ ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti “Hai, Fasik”, “Hai, Kafir,” dan sebagainya.

 

Keenam, mencintai kaum Muslimin dan berusaha untuk berkumpul bersama mereka. Rasulullah saw. bersabda, “Adalah wajib bagiku mencintai orang-orang yang saling menziarahi.” (HR Ahmad)

 

“Ikatan iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR ath-Thabrani)

 

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (al-Kahfi: 28)

 

Ketujuh, melakukan apa saja yang menjadi hak kaum Muslimin, seperti menjenguk yang sakit atau mengantar jenazah, tidak curang dalam bergaul dengan mereka, tidak memakan harta mereka dengan cara yang batil, dan lainnya. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Barangsiapa yang curang terhadap kami, maka dia bukan dari golongan kami.” (HR Muslim)

 

“Hak seorang Muslim atas seorang Muslim yang lain ada enam: bila kamu melihatnya berilah salam kepadanya, jika ia sakit jenguklah, jika ia mati antarkanlah jenazahnya….” (HR Muslim)

 

Kedelapan, bersikap lembut terhadap Muslimin, mendoakan dan memohonkan ampun bagi mereka. Allah berfirman,

 

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (Muhammad: 19)

 

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Kesembilan, menyuruh mereka kepada yang makruf dan mencegah mereka dari kemungkaran, serta menasihati mereka.

 

“Rasulullah bersabda, ‘Agama adalah nasihat.’ Mereka bertanya, ‘Untuk siapakah, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, Rasul, kitab-kitab, pemimpin kaum Muslimin, dan untuk mereka semua.’” (HR Muslim)

 

“Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan; maka apabila tidak mampu hendaklah (ia lakukan) dengan lisannya; dan apabila tidak mampu, hendaklah (ia lakukan) dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

 

Kesepuluh, tidak mencari-cari aib dan kesalahan kaum Muslimin serta membeberkan rahasia mereka kepada musuh-musuh Islam.

 

“…dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan mereka…” (al-Hujuraat: 12)

 

Kesebelas, bergabung ke dalam jamaah kaum Muslimin dan tidak berpisah dengan mereka.

 

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103) 

 

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa`: 115)

 

 

 

Keduabelas, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.

 

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (al-Maa`idah: 2)

KEUTAMAAN MEMBACA AL QUR’AN

1.       Al Qur’an adalah Kalamullah

  1. Kitab yang Mubarak (diberkahi) QS. 6 : 92
  2. Menunun kepada jalan yang lurus Qs. 17 : 9
  3. Tidak ada sedikitpun kebatilan di dalamnya QS. 41: 42

 

2.       Membaca Al Qur’an adalah sebaik-baik amal perbuatan.

Rasulullah bersabda : “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan AL Qur’an” HR Al Bukhariy dari Utsman bin Affan.

 

3.       Al Qur’an akan menjadi syafi’ penolong di hari kiamat.

Rasulullah bersabda : Bacalah Al Qur’an sesungguhnya ia akan menjadi penolong pembacanya di hari kiamat “ HR Muslim dari Abu Umamah.

 

4.       Beserta para malaikat yang mulia di hari kiamat.

Sabda Nabi : “Orang yang membaca Al Qur’an dan dia lancar membacanya akan bersama para malaikat yang mulia dan baik. Dan orang yang membaca Al Qur’an  dengan terbata-bata, ia mendapatkan dua pahala “ Muttafaq alaih dari Aisyah ra.

 

5.       Aroma orang beriman.

Sabda Nabi : “Perumpamaan orang beriman yang membaca Al Qur’an adalah bagaikan buah utrujah, oromanya harum dan rasanya nikmat…..”

 

6.       Penyebab terangkatnya kaum. Sabda Nabi :

“Sesungguhnya Allah akan mengangkat suatu kaum dengan kitab ini dan akan menjatuhkannya dengan kitab ini pula” HR Muslim dari Umar bin Khatthab.

 

7.       Turunnya rahmah dan sakinah.

Sabda Nabi : “Tidak ada satu kaum yang mereka sedang berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat akan mengitarinya, dan rahmat Allah akan tercurah kepadanya, dan sakinah (kedamaian) akan turun di atasnya, dan Allah akan sebutkan mereka pada malaikat yang ada di sisi-Nya. HR. At Tirmidziy dan Ibn Majah dari Abu Hurairah dan Abu Said.

 

8.    Memperoleh kebajikan yang berlipat ganda.

Dari Ibnu Mas’ud ra berkata : Rasulullah SAW bersabda:”Barang siapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah, maka ia akan memperoleh satu hasanah (kebajikan). Dan satu hasanah akan dilipat gandakan menjadi sepuluh, saya tidak katakan alif lam mim satu huruf, akan tetapi ali satu hurf, lam satu huruf, dan mim satu huruf. HR At Tirmidziy

 

9.    Bukti hati yang terjaga/melek.

Dari Ibn Abbas ra berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya orang yang di hatinya tidak ada sesuatupun dari Al Qur’an, maka ia bagaikan rumah kosong. HR At Tirmidziy.  

ISTIQOMAH

Setiap muslim yang telah berikrar bahwa Allah Rabbnya, Islam agamanya dan Muhammad rasulnya, harus senantiasa memahami arti ikrar ini dan mampu merealisasikan nilai-nilainya dalam realitas kehidupannya. Setiap dimensi kehidupannya harus terwarnai dengan nilai-nilai tersebut baik dalam kondisi aman maupun terancam. Namun dalam realitas kehidupan dan fenomena umat, kita menyadari bahwa tidak setiap orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam mampu meimplementasikan dalam seluruh sisi-sisi kehidupannya. Dan orang yang mampu mengimplementasikannya belum tentu bisa bertahan sesuai yang diharapkan Islam, yaitu komitmen dan istiqomah dalam memegang ajarannya dalam sepanjang perjalanan hidupnya.

Maka istiqomah dalam memegang tali Islam merupakan kewajiban asasi dan sebuah keniscayaan bagi hamba-hamba Allah yang menginginkan husnul khatimah dan harapan-harapan surgaNya. Rasulullah saw bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَارِبُوا وَسَدِّدُوا وَاعْلَمُوا أَنَّهُ لَنْ يَنْجُوَ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِعَمَلِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْتَ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ رواه مسلم

“Rasulullah saw bersabda, “Berlaku moderatlah dan beristiqamah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga kamu Ya … Rasulullah, Beliau bersabda, “Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerah-Nya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)

Istiqamah bukan hanya diperintahkan kepada manusia biasa saja, akan tetapi istiqamah ini juga diperintahkan kepada manusia-manusia besar sepanjang sejarah peradaban dunia, yaitu para Nabi dan Rasul. Perhatikan ayat berikut ini;

“Maka tetaplah (istiqamahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS 11:112)

DEFENISI

Istiqamah adalah anonim dari thughyan (penyimpangan atau melampaui batas). Ia bisa berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena akar kata istiqamah dari kata “qooma” yang berarti berdiri. Maka secara etimologi, istiqamah berarti tegak lurus. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.

Secara terminologi, istiqamah bisa diartikan dengan beberapa pengertian berikut ini;

* Abu Bakar As-Shiddiq ra ketika ditanya tentang istiqamah ia menjawab; bahwa istiqamah adalah kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan siapa pun)
* Umar bin Khattab ra berkata, “Istiqamah adalah komitment terhadap perintah dan larangan dan tidak boleh menipu sebagaimana tipuan musang”
* Utsman bin Affan ra berkata, “Istiqamah adalah mengikhlaskan amal kepada Allah swt”
* Ali bin Abu Thalib ra berkata, “Istiqamah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban”
* Al-Hasan berkata, “Istiqamah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan”
* Mujahid berkata, “Istiqamah adalah komitmen terhadap syahadat tauhid sampai bertemu dengan Allah swt”
* Ibnu Taimiah berkata, “Mereka beristiqamah dalam mencintai dan beribadah kepada-Nya tanpa menengok kiri kanan”

Jadi muslim yang beristiqamah adalah muslim yang selalu mempertahankan keimanan dan akidahnya dalam situasi dan kondisi apapun. Ia bak batu karang yang tegar menghadapi gempuran ombak-ombak yang datang silih berganti. Ia tidak mudah loyo atau mengalami futur dan degradasi dalam perjalanan dakwah. Ia senantiasa sabar dalam menghadapi seluruh godaan dalam medan dakwah yang diembannya. Meskipun tahapan dakwah dan tokoh sentralnya mengalami perubahan. Itulah manusia muslim yang sesungguhnya, selalu istiqamah dalam sepanjang jalan dan di seluruh tahapan-tahapan dakwah.

DALIL-DALIL DAN DASAR ISTIQOMAH

Dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah saw banyak sekali ayat dan hadits yang berkaitan dengan masalah istiqamah di antaranya adalah;

“Maka tetaplah (istiqamahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS 11:112)

Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Rasullah dan orang-orang yang bertaubat bersamanya harus beristiqomah sebagaimana yang telah diperintahkan. Istiqomah dalam mabda (dasar atau awal pemberangkatan), minhaj dan hadaf (tujuan) yang digariskan dan tidak boleh menyimpang dari perintah-perintah ilahiah.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS 41: 30-32)

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya;

sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.(QS 46:13-14)

Empat ayat di atas menggambarkan urgensi istiqamah setelah beriman dan pahala besar yang dijanjikan Allah SWT seperti hilangnya rasa takut, sirnanya kesedihan dan surga bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai keimanan dalam setiap kondisi atau situasi apapun. Hal ini juga dikuatkan beberapa hadits nabi di bawah ini;

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ رواه مسلم

“Aku berkata, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang aku tidak akan bertanya kepada seorang pun selain engkau. Beliau bersabda, “Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamahlah (jangan menyimpang).” (HR Muslim dari Sufyan bin Abdullah)

“Rasulullah saw bersabda, “Berlaku moderatlah dan beristiqomah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorangpun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga Anda Ya … Rasulullah, Beliau bersabda, “Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerahNya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)

Selain ayat-ayat dan beberapa hadits di atas, ada beberapa pernyataan ulama tentang urgensi istiqamah sebagaimana berikut;

Sebagian orang-orang arif berkata, “Jadilah kamu orang yang memiliki istiqomah, tidak menjadi orang yang mencari karomah. Karena sesungguhnya dirimu bergerak untuk mencari karomah sementara Robbmu menuntutmu untuk beristiqomah.”

Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sebesar-besar karomah adalah memegang istiqamah.”

FAKTOR-FAKTOR YANG MELAHIRKAN ISTIQOMAH

Ibnu Qayyim dalam “Madaarijus Salikiin” menjelaskan bahwa ada enam faktor yang mampu melahirkan istiqomah dalam jiwa seseorang sebagaimana berikut;

-Beramal dan melakukan optimalisasi

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (QS 22:78)

-Berlaku moderat antara tindakan melampui batas dan menyia-nyiakan

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS 25:67)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ

Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami kefuturan (keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka”(HR Imam Ahmad dari sahabat Anshar)

-Tidak melampui batas yang telah digariskan ilmu pengetahuannya

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban.” (QS 17:36)

-Tidak menyandarkan pada faktor kontemporal, melainkan bersandar pada sesuatu yang jelas

-Ikhlas

“Padahal mereka tidak disuruh melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang

lurus.” (QS 98:5)

-Mengikuti Sunnah, Rasulullah saw bersabda, “Siapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perbedaan yang keras, maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidin (yang lurus), gigitlah ia dengan gigi taringmu.”(Abu Daud dari Al-Irbadl bin Sariah)

Imam Sufyan berkata, “Tidak diterima suatu perkataan kecuali bila ia disertai amal, dan tidaklah lurus perkataan dan amal kecuali dengan niat, dan tidaklah lurus perkataan, amal dan niat kecuali bila sesuai dengan sunnah.”

DAMPAK POSITIF DAN BUAH ISTIQOMAH

Manusia muslim yang beristiqomah dan yang selalu berkomitmen dengan nilai-nilai kebenaran Islam dalam seluruh aspek hidupnya akan merasakan dampaknya yang positif dan buahnya yang lezat sepanjang hidupnya. Adapun dampak dan buah istiqomah sebagai berikut;

a-Keberanian (Syaja’ah)

Muslim yang selalu istiqomah dalam hidupnya ia akan memiliki keberanian yang luar biasa. Ia tidak akan gentar menghadapi segala rintangan dakwah. Ia tidak akan pernah menjadi seorang pengecut dan pengkhianat dalam hutan belantara perjuangan. Selain itu jugaberbeda dengan orang yang di dalam hatinya ada penyakit nifaq yang senantiasa menimbulkan kegamangan dalam melangkah dan kekuatiran serta ketakutan dalam menghadapi rintangan-rintangan dakwah. Perhatikan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 52 di bawah ini;

“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, “Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”

Dan kita bisa melihat kembali keberanian para sahabat dan para kader dakwah dalam hal ini;

-Ketika Rasulullah saw menawarkan pedang kepada para sahabat dalam perang Uhud, seketika Abu Dujanah berkata, “Aku yang akan memenuhi haknya, kemudian membawa pedang itu dan menebaskan ke kepala orang-orang musyrik.” (HR Muslim)

-Pada saat seorang sahabat mendapat jawaban dari Rasulullah saw bahwasanya ia masuk surga kalau mati terbunuh dalam medan pertempuran, maka ia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya lagi seraya melempar kurma yang ada di genggamannya kemudian ia meluncur ke medan pertempuran dan akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan yaitu, syahadah (mati syahid). (Muttafaqun Alaih)

-Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abu Thalib setelah ia menerima bendera Islam dalam peperangan Khaibar sebagai berikut, “Jalanlah, jangan menoleh sehingga Allah SWT memberikan kemenangan kepada kamu.” Lantas Ali berjalan, kemudian berhenti sejenak dan tidak menoleh seraya bertanya dengan suara yang keras; “Ya Rasulullah atas dasar apa aku memerangi manusia?” Beliau bersabda, “Perangi mereka sampai bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah……” (HR Muslim)

Inilah gambaran keberanian para sahabat yang lahir dari keistiqomahannya yang harus diteladani oleh generasi-generasi penerus dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan Islam.

b-Ithmi’nan (ketenangan)

Keimanan seorang muslim yang telah sampai pada tangga kesempurnaan akan melahirkan tsabat dan istiqomah dalam medan perjuangan. Tsabat dan istiqomah sendiri akan melahirkan ketenangan, kedamaian dan kebahagian. Meskipun ia melalui rintangan dakwah yang panjang, melewati jalan terjal perjuangan dan menapak tilas lika-liku belantara hutan perjuangan. Karena ia yakin bahwa inilah jalan yang pernah ditempuh oleh hamba-hamba Allah yang agung yaitu para Nabi, Rasul, generasi terbaik setelahnya dan generasi yang bertekad membawa obor estafet dakwahnya. Perhatikan firman Allah di bawah ini;

“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepadamusuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.”(QS 3:146)

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS 6:82)

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS 13:28)

c-Tafa’ul (optimis)

Keistiqomahan yang dimiliki seorang muslim juga melahirkan sikap optimis. Ia jauh dari sikap pesimis dalam menjalani dan mengarungi lautan kehidupan. Ia senantiasa tidak pernah merasa lelah dan gelisah yang akhirnya melahirkan frustasi dalam menjalani kehidupannya. Kefuturan yang mencoba mengusik jiwa, kegalauan yang ingin mencabik jiwa mutmainnahnya dan kegelisahan yang menghantui benaknya akan terobati dengan keyakinannya kepada kehendak dan putusan-putusan ilahiah. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh beberapa ayat di bawah ini;

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS 57:22-23)

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.(QS 12: 87)

Ibrahim berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat”.(QS 15:56)

Maka dengan tiga buah istiqomah ini, seorang muslim akan selalu mendapatkan kemenangan dan merasakan kebahagiaan, baik yang ada di dunia maupun yang dijanjikan nanti di akherat kelak. Perhatikan ayat di bawah ini;

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat;di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta.Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS 41:30-32)

Ya Allah istiqamahkan kami di dalam Islam

Ya Allah istiqamahkan kami di dalam Amal

Ya Allah istiqamahkan kami di dalam Menegakkan Kebenaran

Ya Allah istiqamahkan kami di dalam Berdakwah

Ya Allah istiqamahkan kami menjadi pembela-pembela kebenaran.

Matikan kami dalam keridhaan dan ampunanmu.

IMAN TERHADAP QODLO DAN QODAR

Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa diri manusia pasti telah digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang Mahabijaksana. Semua telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir, dan berupaya memperbaiki citra diri.

 

Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT. Ia akan berubah menjadi batu karang yang tegar menghadapi segala gelombang kehidupan dan senantiasa sabar dalam menyongsong badai ujian yang silih berganti. Ia juga selalu bersyukur apabila kenikmatan demi kenikmatan berada dalam genggamannya. Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Rasul berikut ini.

 

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (al-Hadiid: 22-23)

 

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”

(al-An’aam: 59)

 

“Tiada seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah …karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal).’ Kemudian, beliau membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (al-Lail: 5-10).’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)

 

“Sangat mengherankan seorang mukmin itu, karena semua urusannya mengandung kebaikan. Dan yang demikian itu tidak pernah dimiliki seseorang kecuali orang mukmin; apabila ia diuji dengan kenikmatan (kebahagiaan), ia bersyukur. Maka, inilah kebaikan baginya. Dan apabila ia diuji dengan kemelaratan (kepayahan), ia bersabar. Maka, inilah kebaikan baginya.” (HR Muslim dari, Abu Yahya Shuhaib bin Shinan)

 

 

       II.          DEFINISI DAN DALIL-DALILNYA

 

Secara etimologi, qadha memiliki banyak pengertian sebagaimana berikut.

 

-Pemutusan, hukuman. Kita bisa temukan pada ayat berikut ini.

(QS…..)

 

-Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah di bawah ini.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang  mulia.” (al-Israa`:23)

 

-Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat berikut ini.

“Dan  telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” (al-Hijr: 66)

 

Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu al-Atsir 4/78)

 

Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara yuqaddiru taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini.

 

“Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (Fushshilat: 10)

 

Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).

Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari 11/477)

 

Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.

Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).  

 

 

Dalil-dalil Qadha dan Qadar

 

Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa Syeikh al-Islam, 8/258).

 

Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini.

 

-Hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw. ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk.” (HR Muslim)

 

“Sekiranya Allah SWT menyiksa penduduk langit dan bumi, maka Dia sungguh melakukannya tanpa menzalimi mereka. Dan sekiranya Dia mengasihi mereka, maka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka. Dan sekiranya kamu memiliki emas seperti Gunung Uhud atau semisalnya, lalu kamu infakkan di jalan Allah, maka Dia tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman terhadap qadar dan kamu mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika kamu mati atas (aqidah) selain ini, maka niscaya kamu masuk neraka.” (HR Ahmad, dari Zaid bin Tsabit)

 

Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan qadha dan qadar-Nya berikut ini.

 

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadiid: 22-23)

 

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”

(al-Qamar: 49)

 

“(Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh, sedangkan kafilah itu berada di bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Anfaal: 42)

 

Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (al-Ahzab: 38)  

 

“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah…,’ Ia bertanya, ‘Apa yang saya tulis?’ Dia berfirman, ‘Maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)

 

“Tiada seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal),’ kemudian beliau membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)

 

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya  (jalan) yang sukar.” (al-Lail: 5-10)

 

 

 

     III.          RUKUN-RUKUN IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR

 

Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak tangga tersebut.

 

Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.

 

Pertama, Ilmu Allah SWT. Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus beriman kepda Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di masa yang akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.

 

Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah berikut ini.

 

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (ath-Thalaaq: 12)

 

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 22)

 

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”

(al-An’aam: 59)

 

“Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika menciptakan mereka.” (HR Muslim)

 

Kedua, Penulisan Takdir. Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah SWT menulis dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan amal” yang dijaga. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.

 

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (al-Hadiid: 22-23)

 

 

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (al-Hajj: 70)

 

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (al-An’aam: 38)

 

“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah….” Ia bertanya, ‘Apa yang aku tulis?’ Dia berfirman, maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)

 

Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah berfirman,

 

“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Faathir: 44)

 

Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur`an, di antaranya sebagai berikut.

 

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (at-Takwiir: 29)

 

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” (al-An’aam: 39)

 

“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (Yaasiin: 82)

 

“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih (memahami) agama ini.” (HR Bukhari)

 

Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.

“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak

Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada

Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui

Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta

Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan

Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)

Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung

Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik

 

Keempat, Penciptaan-Nya. Ketika beriman terhadap qadha dan qodar, seorang mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

 

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”

(az-Zumar: 62)

 

“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.”

(al-Furqaan: 2)

 

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat Itu.“ (ash-Shaaffat: 96)

 

“Sesungguhnya, Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.”

(HR Hakim)

 

Inilah empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini setiap muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai gerbang keimanan yang sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat rukun tersebut berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan ketika bangunan iman terhadap qadar rusak, maka juga akan menimbulkan kerusakan pada bangunan tauhid itu sendiri.

  

 

    IV.          MACAM-MACAM TAKDIR

 

Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.

 

Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah SWT memerintahkan al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

 

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

(al-Hadiid: 22)

 

“Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.” (HR Muslim)

 

Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini.

 

“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia… .” (HR Bukhari)

 

Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.

 

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”

(ad-Dukhaan: 4-5)

 

Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.

 

Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

 

“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (ar-Rahmaan: 29)

Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.

    

 

      V.          BERDALIH DENGAN QADAR DALAM KEMAKSIATAN DAN MUSIBAH

 

Semua yang ditakdirkan oleh Allah SWT selalu tersirat hikmah dan maslahat bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang telah diketahui oleh-Nya. Maka, Dia tidak pernah menciptakan kejelekan dan keburukan murni yang tidak pernah melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan keburukan ini tidak boleh dinisbatkan kepada Allah SWT, melainkan dinisbatkan kepada amal perbuatan manusia. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah mengandung keadilan, hikmah, dan rahmat 

 

Hal ini berdasarkan firman Allah SWT.

 

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (an-Nisaa`: 79)

 

Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan kemaksiatannya.

Allah membenci kekufuran dan kemaksiatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, Dia mencintai dan meridhai ketakwaan dan kesalehan. Dia juga menunjukkan dua jalan untuk hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan akal untuk memilih salah satu jalan tersebut sesuai pilihan dan kehendaknya. Maka, barangsiapa yang memilih jalan kebaikan ia berhak mendapat ganjaran dan yang memilih jalan keburukan atau kebatilan maka ia berhak mendapat siksa oleh karena hal ini dilakukan secara sadar dan atas pilihannya sendiri tanpa ada unsur paksaan. Meskipun sebab-sebab dan factor-faktor pendorong amal perbuatannya tidak lepas dari kehendak Allah SWT.

Maka, tidak ada alasan dan hujjah lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran dan kemaksiantan yang dilakukannya karena takdir Allah SWT. Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi-at Allah atas kekufuran mereka seperti dalam firmanNya;

 

“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” (al-An’aam: 148-149)

 

“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.’ Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka, maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Tiap-tiap umat mempunyai rasul yang diutus untuk menerangkan kebenaran.” (an-Nahl: 35)

 

Adapun berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpa manusia dapat dibenarkan Islam. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Nabi Adam dan Nabi Musa tentang musibah dikeluarkannya Bani Adam dari surga.

 

“Adam dan Musa berbantah-bantahan. Musa berkata, ‘Wahai, Adam, Anda adalah bapak kami yang telah mengecewakan dan mengeluarkan kami dari surga. Lalu Adam menjawab, ‘Kamu, wahai Musa yang telah dipilih Allah dengan Kalam-Nya dan menuliskan untkmu dengan Tangan-Nya, apakah kamu mencela kepadamu atas suatu perkara yang mana Allah telah menakdirkan kepadaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi bersabda, ‘Maka, Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.’” (HR Muslim)

  

 

    VI.          BUAH IMAN KEPADA QADAR

 

Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah SWT secara benar akan melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi setiap permasalahan hidup.

 

DR. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab “Al-Qadha wa Al-Qadar” menyimpulkan buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.

 

Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan.

Kedua, tetap istiqamah. “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” (al-Ma’arij: 19-22)

Ketiga, selalu berhati-hati. “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”  (al-A’raaf: 99)

Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan.

 

 

Iman kepada Rasul

Rasul adalah orang laki-laki pilihan yang Allah berikan wahyu berisi syari’ah dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaumnya. Sedang nabi adalah orang laki-laki yang Allah berikan wahyu kepadanya berisi syari’ah, tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaumnya. Rasul dan nabi sama-sama mendapatkan wahyu, tetapi sering kali seorang Nabi diutus Allah kepada kaum yang memang sudah beriman sehingga perannya hanya menjalankan syari’ah yang sudah ada itu dan tidak membawa ajaran yang baru.seperti para Nabi yang pernah Allah utus kepada Bani Israil setelah ditinggalkan Nabi Musa, mereka bertugas mengajarkan dan mengamalkan Taurat, tidak membawa ajaran yang baru/bukandari Taurat. (QS. 2: 246). Di sinilah rahasia sabda Nabi : al ulama waratsatul Anbiya, bukan waratsaturrasul, karena peran ulama hanya terbatas pada menyampaikan ajaran agama yang ada bukan membuat aturan baru.

1. Jumlah Nabi dan Rasul

Ketika Rasulullah ditanya oleh Abu Dzar, tentang berapa jumlah para nabi dan rasul itu? Nabi menjawab 120 (seratus dua puluh) ribu, dari mereka itu terdapat 313 (tiga ratus tiga belas) rasul. Dari jumlah itu, yang tersebut namanya dalam Al Qur’an terdapt 25 orang, yaitu : 1.Adam, 2. Nuh, 3. Idris, 4. Shalih, 5. Ibrahim, 6. Hud, 7. Luth, 8. Yunus, 9. Ismail, 10. Ishaq, 11. Ya,qub, 12. Yusuf, 13. Ayyub, 14. Syu’aib, 15. Musa, 16.Harun, 17. Yasa’, 18. Dzulkifli, 19. Dawud, 20. Zakariyyah, 21. Sualaiman, 22. Ilyas, 23. Yahya, 24. Isa dan 25. Muhammad SAW.

18 orang nabi disebutkan namanya dalam surah Al An’am/6: 83-86, kemudian yang lainnya disebutkan di ayat-ayat lain seperti QS. Ali Imran/3: 33, Al A’raf, 65, 73, 85, Huud/11:50, 61, 84, Al Anbiya/21: 85.

2. Syubuhat yang muncul dalam masalah Nubuwwah dan Risalah.

a. Mengapa nabi dan rasul itu tidak dari bangsa malaikat saja ?

Para nabi dan rasul diambil dari bangsa manusia itu sendiri, ( QS. 3:144) bukan dari jenis makhluk lain, meskipun pernah ada permintaan dari kaum kafir agar nabinya dari bangsa malaikat. Hal ini sangat tidak mungkin, karena akan bertentangan dengan fungsi dan tugas rasul yang menjadi teladan. Bisa jadi ketika nabi yang dari malaikat itu menyerukan sesuatu umatnya mudah saja menolak dengan mengatakan :”Wajar saja ia bisa berbuat begitu, karena memang dia malaikat, sementara kita manusia biasa, bagaimana bisa seperti dia…..dst”

b. Mengapa nabi dan rasul itu selalu dari laki-laki, tidak ada yang wanita

Begitu juga tidak ada nabi atau rasul dari kaum wanita. Kenabian adalah mutlak pilihan Allah, tidak ada intervensi siapapun dalam penunjukannya (QS. 21:7), disamping itu tugas-tugas kenabian yang harus dilakukan memang banyak yang bertentangan dengan fitrah kewanitaan, seperti menerima wahyu, berbaur dengan umat, berjihad, keluar rumah, dsb. Bagaimana jadinya jika nabi itu wanita yang sedang berhalangan lalu mendesak turun wahyu.. Dan sepanjang sejarah manusia memang belum pernah ada nabi wanita.

3. Sifaturrasul
a. Basyariyyaturrasul

Para nabi adalah manusia biasa yang juga membutuhkan hal-hal yang bersifat umum, seperti makan, minum, menikah, berketurunan dan sifat kemanusian/basyariyyah lainnya. (QS. 25: 20, 13:38, 5:75)

Para Nabi tidak memiliki kekuasaan sedikitpun yang menjadi kekhususan Allah, seperti mengetahui hal-hal ghaib, menguasai alam, mendatangkan keuntungan atau kerugian, memberkahi, dsb, kecuali yang telah Allah berikan kepadanya. QS. 7:188, Jin: 26-27

b. Ishmaturrasul.

Para rasul adalah orang yang ma’shum, terlindung dari dosa dan salah dalam kemampuan pemahaman agama, ketaatan, dan menyampaikan wahyu Allah, mereka telah dibekali Allah kesempurnaan dalam hal amanah, shidq/ kejujuran, fathonah/ kecerdasan, dan tabligh/ penyampaian, sehingga selalu siaga dalam menghadapi tantangan dan tugas apapun.

c. Iltizamurrasul

Para rasul adalah orang-orang yang selalu komitmen dengan apapun yang mereka ajarkan. Mereka bekerja dan berda’wah sesuai dengan arahan dan perintah Allah, meskipun untuk menjalankan perintah Allah itu harus berhadapan dengan tantangan-tantangan yang berat baik dari dalam diri pribadinya, maupun dari para musuhnya. Dalam hal ini para rasul tidak pernah sejengkal-pun menghindar atau mundur dari perintah Allah.

4. Mukjizat Rasul.

Para rasul juga dibekali mukjizat dan tanda-tanda keistimewaan lainnya, untuk membuktikan kebenaran kerasulannya, bahwa mereka datang dari Allah SWT. Seperti yang pernah Allah berikan kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad SAW.

5. Rasul Ulul-Azmi.

Dari 25 orang rasul itu terdapat lima orang rasul yang dikenal dengan Ulul- Azmi minarrusul, yaitu : Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW. Mereka itu Allah sebutkan dalam firman Allah: “Dan Ingatlah ketika kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu sendiri, dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh” QS. Al Ahzab/33:7

Lima rasul ulul-azmi inilah yang harus selalu kita kenang dan kita hayati perjalanan hidupnya, tanpa melupakan atau mengecilkan peran dan keteladanan rasul-rasul lainnya.

a. Nabi Nuh, as. Kegigihannya dalam berda’wah siang dan malam, tanpa mengharapkan jasa dan imbalan dari kaumnya. Keberadaan istri dan anak yang menjadi pengahalang da’wahnya serta ia tidak pernah terpengaruh oleh tantangan dan ejekan itu.

“Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu, sebagaimana kamu sekalian mengejek kami” QS. Hud/11: 38

b. Nabi Ibrahim, as. Kepatuhannya dalam menjalankan perintah Allah, mulai dari pernyataannya memisahkan diri dari kepercayaan kaumnya termasuk ayahnya sendiri, caranya berdialog menunjukkan kebatilan patung/berhala kepada kaumnya, keberaniannya menghancurkan patung-patung sesembahan Namrud dan kaumnya, hingga murka dan pembakaran Ibrahim oleh kaumnya (QS.21: 51-69). Maka wajar orang yang sedemikian hanifnya, dan tinggi semangat da’wahnya, Allah tidak relakan terbakar oleh api Namrud. Demikian juga kepindahannya ke Makkah, tanah tandus yang tidak berumput (QS. 14:37), kesiapan istri dan keluarga ketika harus ditinggal sendiri, Ibrahim pergi memenuhi perintah Allah. Kesungguhannya untuk berkorban, kebesaran jiwa istri, dan kepatuhan anak untuk dikorbankan, hanya karena memenuhi perintah Allah.

c. Nabi Musa, as. Kisah terbanyak dalam Al Qur’an adalah kisah Musa dan Fir’aun. Sejak kecilnya sudah dihadapkan dengan bahaya. Kerelaan ibunya menghanyutkan bayi Musa di sungai Nil, adalah sebuah pengorbanan yang tak terhingga. Pembelaannya pada Bani Israil yang tertindas, membuatnya keluar dari istana Fir’aun, menuju ke Madyan, menjadi penggembala kambing Nabi Syu’aib selama sepuluh tahun. Lalu diperintahkan Allah kembali menemui Fir’aun mengajaknya beriman kepada Allah,QS. Al Qashash/28:2-40, Musa mulai berhadapan dengan tantangan besar, ditentang dan dimusuhi Fir’aun. Musa berhasil membawa sebagian Bani Israil setelah mengalahkan tukang-tukang sihir Fir’aun. Musa di uji kesabarannya membawa Bani Israil, keluar dari Mesir menuju ke Baitul Maqdis dan pendurhakaan Bani Israil pada Musa, (QS.5:20-25).

d. Nabi Isa, as. Kelahiran tanpa ayah (19:16-22), tuduhan keluarga Maryam atas diri Maryam, (19:27-28). Mukjizat Isa yang bisa berbicara saat di buaian, menyembuhkan orang sakit, dan menghidupkan orang mati, atas izin Allah (3:49) tidak membuatnya keluar dari statusnya sebagai hamba Allah (4:172). Tantangan dari kaum Yahudi, yang berusaha membunuhnya (4:157-158). Pengkultusan yang dilakukan oleh kaum Nasrani, karena Isa dianggap memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati, dan membuat burung dari tanah (3:49, 4:1710, 5:72-73, 116-120) membuatnya berdoa “ Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesngguhnya Engkau yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana ”.

e. Nabi Muhammad, SAW. Kesabarannya yang tak terhingga dalam mengajak kaumnya bertauhid kepda Allah. Tantangan dari kaumnya dan bahkan pamannya sendiri, hingga ia harus terusir dari kampung halamannya. Ke Thaif, dilempari batu, dituduh orang gila, tapi yang keluar dari mulutnya, hanya permohonan kepada Allah agar menunjuki mereka. Dst.

Demikianlah kegigihan para rasul ulul azmi dalam menyelamatkan kaumnya dari bahaya kufur, agar mereka bertauhid kepada Allah. Seluruh usaha dan pengerahan kemampuan hanya ditujukan agar umat manusia menjadi beriman kepada Allah, hidup dengan benar, keluar dari lingkaran kebinatangan untuk menjadi manusia utuh dan sempurna, memerankan fungsi khalifah, sebagai makhluk yang memiliki keutamaan dibandingkan dengan makhluk manapun adanya.

Wallahu a’lam.

Ilmu Allah

Dalam asmaul husna Allah SWT disebut sebagai Al ‘Alim (Yang Maha Mengetahui).

Bahwasanya ilmu Allah SWT tidak terbatas. Dia mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, yang dahulu, sekarang ataupun besok, baik yang ghaib maupun yang nyata:

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi..”(Al Hajj:70)

“Dialah Allah, Yang tiada Tuhan selain Dia. Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (Al Hasyr:22)

Tak ada satupun yang tersembunyi bagi Allah SWT. Sebutir biji di dalam gelap gulita bumi yang berlapis tetap diketahui Allah SWT:

“Di sisi-Nya segala anak kunci yang ghaib, tiadalah yang mengetahui kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa-apa yang ada di daratan dan di lautan. Tiada gugur sehelai daun kayu pun, melainkan Dia mengetahuinya, dan tiada sebuah biji dalam gelap gulita bumi dan tiada pula benda yang basah dan yang kering, melainkan semuanya dalam Kitab yang terang” (Al An’am:59)

Ilmu Allah SWT maha luas, tak terjangkau dan tak terbayangkan oleh akal pikiran, tiada terbatas. Dia mengetahui apa yang sudah, dan akan terjadi serta yang mengaturnya. Manusia, malaikat, dan makhluq manapun tak akan bisa menyelami lautan ilmu Allah SWT. Bahkan untuk mengetahui ciptaan Allah saja manusia tidak akan mampu. Dalam tubuh manusia tak semuanya terjangkau oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin didalami semakin jauh pula yang harus dijangkau, semakin banyak misteri yang harus dipecahkan, seperti jaringan kerja otak manusia masih merupakan hal yang teramat rumit untuk dikaji. Belum lagi tentang astronomi, berapa banyak bintang, galaksi di langit, berapa jauhnya, bagaimana cara mencapainya, proses terjadinya, apakah ada penghuninya, dsb. Jika kita menatap ke luar angkasa betapa kecil bumi ini bagaikan debu bahkan lebih kecil dari itu. Andaikan saja ada manusia yang menguasai planet bumi sebagai miliknya pribadi, maka di hadapan alam di ruang angkasa ini dia hanyalah memiliki debu tak berarti. Jika saja ada manusia menguasai bumi, dia hanya menguasai debu. Sementara kekuasaan, kerajaan Allah SWT tak akan tertandingi sedikitpun jua.

Allah SWT menggambarkan betapa kecil dan tak berdayanya manusia bila dibandingkan dengan ilmu Allah SWT, dengan perumpamaan air laut bahkan tujuh lautan dijadikan tinta untuk menulis kalimat Allah SWT, niscaya tidak akan habis-habisnya kalimat Allah tersebut dituliskan:

”Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelumhabis ditulis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu pula” (Al Kahfi:109)

“Dan seandainya pohon-pohon di muka bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan lagi, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Luqman:27).

Allah SWT telah menciptakan langit dan bumi dengan segala isi dan peristiwa yang terkandung di dalamnya merupakan fenomena yang sangat mengesankan dan menakjubkan akal serta hati sanubari manusia. Itulah alam semesta atau al kaun (universum). Simaklah firman Allah SWT berikut ini:

“Dia lah Allah Yang menciptakan, Yang mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-nama Yang Paling Baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi . Dan Dia lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Al Hasyr: 24).

Hendaknya manusia senantiasa men-taddaburi ayata-ayat-Nya, baik yang qouliyah maupun kauniyah. Karena di sana terdapat lautan ilmu-Nya,serta dorongan/ motivasi untuk mengkaji maupun mengimplementasikannya. “Hai jama’ah jin dan manusia jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan” (Ar Rahman :33). Dengan ayat ini manusia akan mengerti jika ingin menembus langit diperlukan energi yang besar. Maka dengan segala bahan-bahan yang ada di alam ini manusia harus mampu mengkonversi energi tersebut. Masih banyak ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan cabang-cabangnya. Allah SWT telah menciptakan alam beserta isi dan sistemnya dan juga telah mengajarkannya kepada manusia. Dengan mencermati Al Qur’an, akan melahirkan kajian-kajian yang lebih detail tentang keberadaan ciptaan-Nya.

Timbulnya ilmu pengetahuan, disebabkan kebutuhan-kebutuhan manusia yang berkemauan hidup bahagia. Dalam mencapai dan memenuhi kebutuhan hidupnya itu, manusia menggunakan akal pikirannya. Mereka menengadah ke langit, memandang alam sekitarnya dan melihat dirinya sendiri. Dalam hal ini memang telah menjadi qudrat dan iradat Nya, bahwa manusia dapat memikirkan sesuatu kebutuhan hidupnya. Telah tercantum dalam Al Qur’an perintah Allah SWT : “Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman” (Yunus: 101). Hasil dari pemikiran manusia itu melahirkan ilmu pengetahuan dengan berbagai cabangnya. Maka ilmu pengetahuan bukanlah musuh atau lawan dari iman, melainkan sebagai wasailul hayah (sarana kehidupan) dan juga nantinya yang akan membimbing ke arah iman. Sebagaimana kita ketahui, banyak ahli ilmu pengetahuan yang berpikir dalam, telah dipimpin oleh pengetahuannya kepada suatu pandangan, bahwa di balik alam yang nyata ini ada kekuatan yang lebih tinggi, yang mengatur dan menyusunnya, memelihara segala sesuatu dengan ukuran dan perhitungan.

Herbert Spencer dalam tulisannya tentang pendidikan, menerangkan sebagai berikut: “Pengetahuan itu berlawanan dengan khurafat, tetapi tidak berlawanan dengan agama. Dalam kebanyakan ilmu alam kedapatan paham tidak bertuhan (atheisme), tetapi pengetahuan yang sehat dan mendalami kenyataan, bebas dari paham yang demikian itu. Ilmu alam tidak bertentangan dengan agama. Mempelajari ilmu itu merupakan ibadat secara diam, dan pengakuan yang membisu tentang keindahan sesuatuyang kita selidiki dan kita pelajari, dan selanjutnya pengakuan tentang kekuasaany Penciptanya. Mempelajari ilmu alam itu tasbih (memuji Tuhan) tapi bukan berupa ucapan, melainkan tasbih berupa amal dan menolong bekerja. Pengetahuan ini bukan mengatakan mustahil akan memperoleh sebab yang pertama, yaitu Allah”.

“Seorang ahli pengetahuan yang emlihat setitik air, lalu dia mengetahuinya bahwa air itu tersusun dari oksigen dan hidrogen, dengan perbandingan tertentu, dan kalau sekiranya perbandingan itu berubah, niscaya air itu akan berubah pula menjadi sesuatu yang bukan air. Maka dengan itu ia akan meyakini kebesaran Pencipta, kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Sebaliknya orang yang bukan ahli dalam ilmu alam, akan melihatnya idak lebih dari setitik air”.

Manusia sejak zaman dahulu telah mengerahkan daya akal untuk menyelidiki rahasia serta mencari hubungannya dengan kebutuhan dan tujuan hidupnya di atas bumi ini. Maka lahirlah para ahli ilmu alam seperti astronom, meteorolog, geolog, fisikawan, dsb beserta para ahli filsafatnya di bidang tersebut.

Penemuan di bidang astronomi menyebabkan kosmologi terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang beranggapan bahwa alam semesta ini statis, dari permulaan diciptakannya samapai sekarang ini tak berubah dan kelompok yang beranggapan bahwa alam semesta ini dinamis, bergerak atau berubah.

Kelompok yang beranggapan bahwa alam semesta ini dinamis ditunjang oleh ilmu pengetahuan modern. Menurut teori evolusi, pengembangan seperti dibuktikan oleh adanya red shift, ditafsirkan bahwa alam semesta ini dimulai dengan satu ledakan dahsyat. Materi yang terdapat dalam alam semesta itu mula-mula berdesakan satu sama lain dalam suhu dan kepadatan yang sangat tinggi, sehingga hanya berupa proton, neutron, dan elektron, tidak mampu membentuk susunan yang lebih berat. Karena mengembang, maka suhu menurun sehingga proton dan neutron berkumpul membentuk inti atom. Kecepatan mengembang ini menentukan macam atom yang terbentuk.

Para ahli ilmu alam telah menghitung bahwa masa mendidih itu tidak lebih dari 30 menit. Bila kurang artinya mengembung lebih cepat, alam semesta ini akan didominir oleh unsur hidrogen. Apabila lebih dari 30 menit, berarti mengembung lambat, unsur berat akan dominan

Selama 250 juta tahun sesudah ledakan dahsyat, energi sinar dominan terhadap materi, transformasi di antara keduanya bisa terjadi sesuai dengan rumus Einstein, E = mc2. Dalam proses pengembungan inienergi sinar banyak terpakai dan meteri semakin dominan. Setelah 250 juta tahun maka masa dari meteri dan sinar menmjadi sama. Sebelum itu, tidak dibayangkan behwa meteri larut dalam panas radiasi, seperti garam larut di air. Pada masa itu, setelah lewat 250 juta tahun, matei dan gravitasi dominan, terdapat differensiasi yang tadinya homogin. Bola-bola gas masa galaxi terbentuk dengan garis tengah kurang lebih 40.000 tahun cahaya dan masanya 200 juta kali massa matahari kita. Awan gas gelap itu kemudian berdifferensiasi atau berkondensasi menjadi bola-bola gas bintang yang berkontraksi sangat cepat. Akibat kontraksi sangat cepat. Akibat kontraksi atau pemadatan itu maka suhu naik sampai 20.000.000 derajat, yaitu threshold reaksi inti, dan bintang itupun mulai bercahaya.

Karena sebagian dari materi terhisap ke pusat bintang, maka planet dibentuk dari sisa-sisanya. Yaitu butir-butir debu berbenturan satu sama lain dan membentuk massa yang lebih besar, berseliweran di ruang angkasa dan makin lama makin besar.

Proses kondensasi bintang pembentukan planet membutuhkan waktu beberapa ratus juta tahun. Kita mengetahui bahwa bulan bergerak menjauhi bumi, hal ini berarti bahwa beberapa milyar tahun yang lalu bumi dan bulan itu satu, dan bulan merupakan pecahan dari bumi yang memisahkan diri. Firman Allah SWT:

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya fahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman” (Al Anbiya: 30)

Konsep ini jelas menunjang teori kedinamisan alam semesta. Orang Rusia berdasarkan umur batu bulan, telah menetapkan bahwa bulan berumur 4,5 milyar tahun.

Dalam mempelajari red shift, jarak diukur dengan tahun cahaya, bukan dengan kilometer. Kecepatan cahaya adalah 300.000 km per detik, sedangkan beberapa galaxi beberapa juta tahun cahaya jauhnya. Pada waktu kita memandang galaxi yang sangat jauh itu, sebetulnya kita sedang meneropong jauh ke masa yang silam. Dalam mempelajari galaxi yang jauhnya satu milyar tahun cahaya , sebetulnya membuktikan bahwa satu milyar tahun yang lalu alam semesta ini mengembung dengan kecepatan yang lebih tinggi dari sekarang. Hal ini berarti pula bahwa kita berada di alam semesta yang dinamis, bukan statis.

Lain daripda itu penurunan kecepatan mengembung meramalkan bahwa pada suatu waktu pengembungan itu akan berhenti, kemudian berkontraksi, pada akhirnya kembali kepada situasi kepadatan seperti asalnya lebih kurang lima milyar tahun yang lalu.

Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa alam semesta ini mengembung dan mengempis. Untuk lebih lanjut perhatikan uraian George Gemov dalam bukunya The Creation of the Universe, hal.36: “…bahwa tekanan raksasa yang terjadi pada permulaan sejarah alam semesta, adalah akibat dari suatu kehancuran yang terjadi sebelumnya , dan bahwa pengembungan yang sekarang ini sebenarnya hanyalah suatu gerak kembali yang elastis yang terjadi segera setelah tercapai kepadatan maximun yang diizinkan.”

Kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana besarrnya tekanan yang tercapai pada kepadatan yang maksimum itu, tetapi menurut semua petunjuk tekanan itu sungguh-sungguh amat tinggi. Besar kemungkinan seluruh massa alam semesta yang mempunyai kemungkinan bentuk yang bagaimanapun dalam masa pra kehancuran telah dimusnahkan secara sempurna, dan bahwa atom-atom dan intinya telah dipecahkan menjadi proton, neutron, dan elektron serta partikel dasar lainnya, jadi tak ada satupun yang bisa dituturkan tentang masa alam sebelum pemadatan alam semesta itu. Segera setelah kepadatan massa alam semesta itu mencapai titik maksimum, kepadatan yang sangat tinggi itu hanya bertahan dalam waktu sebentar saja.

Segala sesuatu yang berada dalam alam semesta, adalah merupakan ciptaan (makhluq) Allah SWT sebegai refleksi dan manifestasi dari wujud Allah SWT dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Karena itu manusia tidak habis-habisnya mengagumi isi al kaun ini terus mengambil pelajaran dan ibroh yang bermanfaat dari padanya.

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihtaanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah” (Al Mulk: 3,4)

Tegaknya langit, keseimbangan benda-benmda langit sesuai dengan ciptaan dan pengaturan dari Penciptanya.

“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)” (Ar Rahman:7)

“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidaka tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (Faathir:41)

Ayat di atas menyatakan adanya semacam penahan yang membawa kepada ketenangan benda-benda langit, meskipun benda-benda langit itu saling bergerak. Hal ini menunjukkan kenyataan kebenarannya terhadap ummat manusia.

Para ahli fisika sudah cukup lama mengenal gaya gravitasi antara benda-benda bermassa yang bekerja secara luas dalam alam ini. setelah Issac Newton pada tahun 1686 merumuskan hukum gravitasi, maka orang dapat dengan mudah memahami dan menerangkan berbagai peristiwa dalam jagad raya ini. Hukum-hukum Kepler yang sudah ada sebelum Newton, ternyata dapat dipahamkan sebagai akibat saja dari hukum gravitasi Newton tersebut.

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa universum itu berjalan dengan eksak, kokoh, teratur, rapi dan harmonis, yang tidak akan ada habis-habisnya menjadi tantangan yang menakjubkan bagi manusia. Setelah beriman kepada Allah, maka menjadi mudah bagi kita untuk menerima, bahwa hukum-hukum itu adalah sunatullah atau aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah bagi makhluq-Nya yang tidak berubah-ubah.

“Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nati-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan menemui perubahan bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (Faathir: 43)

Demikianlah, Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan sempurna, seimbang, beraturan, sistemik. Maka Dia jualah yang paling tahu hakikat dan tujuan penciptaa-Nya, dan telah dikabarkannya ciptaan Allah SWT itu kepada manusia. Manusia telah diperintahkan untuk bertafakur atas ciptaan-Nya, sehingga mampu memanfaatkannya. Dan agar manusia mampu mengenal pencipta-Nya serta mengagungkan-Nya; Dia lah Allah SWT tiada Tuhan selain-Nya. Dengan ilmu-Nya Allah mengajarkan kepada hamba-Nya apa-apa yang telah diciptakan dengan proses terjadinya, sehingga manusia akan menjadi tahu dan berilmu. Setelah itu akan lahir cabang-cabang ilmu pengetahuan yang menyebar ke setiap penjuru ufuk kehidupan manusia. Dengan ilmunya manusia diharapkan menemukan kebenaran dan menjadikannya sebagai landasan kehidupan.

“Kami akan memperlihatkan kapada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Fushshilat: 53).

Ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah.

Allah SWT menuangkan sebagian kecil dari ilmu Nya kepada umat manusia dengan dua jalan. Pertama, dengan ath thoriqoh ar rosmiyah (jalan resmi) yaitu dalam jalur wahyu melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasul-Nya, yang disebut juga dengan ayat-ayat qauliyah. Kedua, dengan ath thoriqoh ghoiru rosmiyah (jalan tidak resmi) yaitu melalui ilham secara kepada makhluq-Nya di alam semesta ini (baik makhluq hidup maupun yang mati), tanpa melalui perantaraan malaikat Jibril. Kerena tak melalui perantaraan malaikat Jibril maka bisa disebut jalan langsung (mubasyarotan). Kemudian jalan ini disebut juga dengan ayat-ayat kauniyah.

Wahyu dalam pengertian ishtilahi adalah: “kalamullah yang diturunkan kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang menjadi hudan (petunjuk) bagi umat manusia”, baik yang diturunkan langsung, dari belakang tabir (min wara’ hijab) maupun yang diturunkan melalui malaikat Jibril, seperti firman Allah SWT:

“Tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seseorang (malaikat) lalu diwahyukan kepadaNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi maha Bijaksana” (Asy Syura:51)

Pengertian wahyu secara ishtilahi perlu dipertegas karena ma’na wahyu secara lughawi memiliki pengertian yang bermacam-macam, antara lain:

1. Ilham Fithri, seperti wahyu yang diberikan kepada ibu Nabi Musa untuk menyusukan Musa yang masih bayi.

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil)…” (Al Qashash:7).

1. Instink Hayawan, seperti wahyu yang diberikan kepada lebah untuk bersarang di bukit-bukit, pohon-pohon, dan dimana saja dia bersarang.

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia” (An Nahl:68).

1. Isyarat, seperti yang diwahyukan oleh Nabi Zakaria kepada kaumnya untuk bertasbih pagi dan sore.

“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang” (Maryam:11).

1. Perintah Allah kepada malaikat, untuk mengerjakan sesuatu seperti perintah Allah kepada malaikat untuk membantu kaum muslimin dalam perang Badr.

“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat; Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman…” (Al Anfal:12).

1. Bisikan syaitan

“…Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musrik” (Al An’am :121).

Dalam ayat tersebut ada kata layuhuna (mewahyukan) yang berarti membisikkan.

1. Hadits Qudsi, juga termasuk dalam wahyu (hadits yang ma’nanya dari Allah SWT, sedangkan redaksinya dari Rasulullah SAW), dan
2. hadits Nabawiy, (makna dan redaksinya dari Rasulullah SAW) karena pada hakekatnya apa saja yang berasal dari Rasulullah SAW mempinyai nilai wahyu, firman Allah SWT:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dia; dan bertaqwa-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya” (Al Hasyr:7).

Ayat-ayat qauliyah mengisyaratkan kepada manusia untuk mencari ilmu alam semesta (ayat-ayat kauniyah), oleh sebab itu manusia harus berusaha membacanya, mempelajari, menyelidiki dan merenungkannya, untuk kemudian mengambil kesimpulan. Allah SWT berfirman:

“Bacalah (ya Muhammad) dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan alam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Al ‘Alaq:1-5).

“Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan. Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Ar Ra’du:3)

“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian tanah yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanam-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir” (Ar Ra’du:4)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imron:190-191).

Dengan mempelajari, mengamati, menyelidiki dan merenungkan alam semesta (al kaun) dengan segala isinya, manusia dapat melahirkan berbagai disiplin ilmu seperti: Kosmologi, Astronomi, Botani, Meterologi, Geografi, Zoologi, Antropologi, Psikologi dsb. Sedangkan dari mempelajari wahyu manusia melahirkan berbagai disiplin ilmu seperti: Tafsir, Ilmu Tafsir, Hadits, Ilmu Hadits, Fiqih, Ushul Fiqih dsb.

Dengan memahami bahwa semua ilmu itu adalah dari Allah SWT maka dalam mendalami dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan pun (al kaun) harus mengacu firman Allah SWT sebagai referensi, sehingga akan semakin meneguhkan keimanan. Selain itu penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi akan terkendali serta mengenal adab. Sebagai misal dalam dunia teknologi kedokteran, pengalihan sperma ke sebuah rahim seorang wanita –dalam proses bayi tabung- maka harus memperhatikan sperma itu diambil dari siapa diletakkan ke rahim siapa. Proses kesepakatan, perizinan juga harus jelas. Jangan sampai bayi lahir menjadi tidak jelas nasabnya. Di bidang astronomi tidak boleh diselewengkan untuk meramal nasib, padahal antara keduanya tak ada hubungan sama sekali. Dalam hal menikmati keindahan alam, akan menjadi suatu kedurhakaan jika dalam menikmatinya dengan membangun vila-vila untuk berbuat maksiyat. Namun seorang mu’min menjadikan alam semesta adalah untuk tafakur agar dekat dengan-Nya.

Konsep Kebenaran Ilmu

Wahyu (al Qur’an dan as Sunnah) memiliki nilai kebenaran yang mutlak (al haqiqah al muthlaqah) karena langsung berasal dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Tetapi pemahaman terhadap wahyu yang memungkinkan beberapa alternatif pemahaman tidaklah bersifat mutlak. Sedangkan ilmu yang didapat dari alam semesta memiliki nilai kebenaran yang nisbi (realtif) dan tajribi (eksprimentatif) atau dengan istilah al haqiqah at tajribiyah.

Kebenaran yang mutlak harus dijadikan burhan atau alat untuk mengukur kebenaran yang nisbi, jangan sampai terbalik, justru kebenaran yang mutlak diragukan karena bertentangan dengan kebenaran yang nisbi (relatif dan eksprimentatif). Sejarah ilmu pengetahuan sudah membuktikan bahwa suatu penemuan atau teori yang dianggap benar pada satu masa digugurkan kebenarannya pada masa yang akan datang. Hal itu disebabkan keterbatasan manusia. Dalam mengamati, menyelidiki dan menyimpulkan segala fenomena yang ada dalam alam semesta. Oleh sebab itu jika terjadi pertentangan antara kesimpulan yang didapat oleh manusia dari al kaun dengan wahyu, maka yang harus dilakukan adalah menguji kembali kesimpulan tersebut, atau menguji kembali pemahaman manusia terhadap wahyu. Logikanya, wahyu dan alam semesta semuanya berasal dari Allah SWT yang Maha Benar, mustahil terjadi pertentangan satu sama lain.

Hikmah mengimani ilmu Allah SWT

Pertama, membuat manusia sadar bahwa betapa tidak berarti dirinya dihadapan Allah SWT, sebab seluruh ilmu yang dimiliki manusia adalah ibarat setitik air laut dibandingkan dengan air laut secara keseluruhan. Oleh karena itu manusia tidak ada alasan untuk sombong dan menjadikan ilmu menjadi penyebab kekufuran dan kedurhakaan kepada Yang Maha Mengetahui segalanya. Seharusnya manusia menjadikan ilmu untuk alat ber-taqorub kepada-Nya, sebagaimana perilaku para ulil albab.

Kedua, dengan menyadari bahwa ilmu Allah SWT sangat luas, tidak ada satupun –betapa pun kecil dan halusnya- yang luput dari ilmu Nya, maka manusia akan dapat mengontrol tingkah laku, ucapan amalan batinnya sehingga selalu sesuai dengan yang diridhai Allah SWT.

Ketiga, keyakinan terhadap ilmu Allah SWT akan menjadi terapi yang ampuh untuk segala penyelewengan, penipuan dan kemaksiatan lainnya.

Maka dalam pemahamannya adalah dengan mengaplikasikan sifat Allah SWT tsb dalam kehidupan nyata sehari hari, berusaha melaksanakan perintah dan larangan-Nya baik ditempat ramai maupun sunyi. Kita tidak lagi terpengaruh dengan “diketahui” atau “tidak diketahui” oleh orang lain untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Karena kita menyadari betapa Allah SWT Maha Mengetahui yang pasti selalu melihat, mendengar, memperhatikan apa yang kita lakukan di mana dan kapan saja

Di zaman salafus sholeh, kita masih ingat kisah seorang gadis shalihah dengan ibunya menjual susu. Suatu saat ibunya menyuruh dagangannya untuk dicampur dengan air, agar mendapatkan untung yang lebih. Namun puterinya menolak. “Bukankah Khalifah Umar tidak melihat?” kata sang ibu. “Tapi Tuhannya Umar mengetahui, bu!” kata putrinya. Tak disangka percakapan itu didengar Umar bin Khaththab. Maka gadis shalihah tsb dipinang untuk putera Umar sang Khalifah. Dan kitapun tahu persis bahwa dari seorang wanita shalihah tsb, akhirnya menurunkan (cucu) tokoh Umar Bin Abdul ‘Aziz yang legendaris.

Juga kisah seorang anak gembala dengan sekian banyak gembalaan milik tuannya. Suatu saat Umar bin Khaththab menguji kekuatan muroqobatullah-nya. Dikatakan kepada anak tsb, bahwa kambingnya akan dibeli dengan harga yang lebih. Namun anak itu menolak. “Kamu bisa mengatakan kepada tuanmu kambingnya dimakan binatang buas!” kata Umar RA. “Lantas dimana Allah?” tanya anak tersebut. Subhanallah…

Sebenarnya bagi seorang muslim yang sudah ber-iltizam akan selalu merasa tenang, bahagia karena segala amal kebaikannya tidak akan dirugikan sedikitpun baik diketahui ataupun tidak oleh orang lain, kerena dia yakin bahwa Allah SWT telah mengawasinya. Sehingga seorang al akh ash shodiq akan senantiasa beramal dengan ikhlas karena Allah SWT semata, bukan karena murobinya, apalagi karena calon istri atau pun mertuanya. Tidak bangga karena pujian, tidak merasa lemah karna celaan. Tetap semangat walau tak diketahui orang, tak takabur ketika dilihat banyak orang. Juga tak takut dengan kegagalannya, atau tak bangga diri dengan keberhasilannya. Apapun yang terjadi tak akan mengoncangkan jiwanya, atau merusak muamalah dengan saudaranya (karena mungkin saudara kita telah menilai salah terhadap diri kita), atau bahkan membahayakan aqidahnya.

“Dan katakanlah; bekerjalah kamu maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (At Taubah:105)

« Older entries