Generasi Al-Muzammil

Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari Ummul Mukmin Aisyah ra bahwa Allah telah mewajibkan qiyamullail kepada Rasulullah Saw. di awal surat ini. Beliau dan para sahabat telah menegakkannya di sebagian malam sehingga kaki-kaki mereka bengkak. Setelah genap dua belas bulan, Allah memberikan keringanan dengan diturunkannya ayat kedua puluh dari surat ini pula. Maka berubahlah hukum qiyamu lail yang tadinya wajib menjadi satu ibadah yang sunnah.
Surat Al Muzammil turun pada marhalah bina’. Marhalah penggemblengan ruh. Para sahabat merupakan calon dai dan mujahid digembleng dengan gemblengan yang berat. Selama satu tahun mereka harus bangun di tiap tengah malam untuk berdiri shalat berjam-jam. Mereka dituntut untuk taat, tunduk, patuh dan berpegang teguh pada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kewajiban qiyamullail bukanlah sekadar berdiri sholat berjam-jam. Tetapi ia merupakan tarbiyah imaniyah. Tarbiyah untuk selalu berhubungan dengan Yang Maha Pencipta, untuk bermunajat ke pada-Nya. Ia merupakan wasilah untuk mendekatkan diri, berdzikir dan bertawakkal kepada-Nya.
“Sebutlah nama Rabb-mu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketaatan, (Dialah) Rabb masyriq dan maghrib, tiada Illah melainkan Dia. Maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. Al Muzammil: 8-9)
Sungguh!! Berdzikir kepada Allah taat, tunduk dan patuh kepada-Nya, bertawakkal dan beribadah hanya kepada-Nya, merupakan senjata yang ampuh di medan dakwah yang penuh dengan rintangan dan cobaan. Semuanya akan menjadikan para calon du’at dan mujahid terbiasa untuk bersabar atas cobaan yang datang secara beruntun. Mereka akan terbiasa menanggung derita dan konsisten dalam mempertahankan haq. Ini semua merupakan satu satunya senjata pada marhalah bina’. Marhalah yang belum diizinkan untuk menghadapi kaum kafir secara langsung.
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik:. (QS. Al Muzammil : 10).
Sungguh seorang da’i atau mujahid yang diatas pundaknya terbebankan panji-panji dakwah, pasti akan mendapati cobaan, siksaan dan intimidasi, dan tentu sangat membutuhkan senjata untuk mengukuhkan mereka. Senjata yang meneguhkan hati dan jiwa mereka. Mereka hanya akan mendapatkannya jika dalam marhalah bina’ mereka telah digembleng dengan gemblengan Al Muzammil. Dan harokah islamiyah jika tidak menggembleng generasinya dengan gemblengan Al Muzammil, mereka akan berjatuhan di tengah jalan ketika mereka dihadapkan pada cobaan dan intimidasi.
Generasi Al Muzammil harus dibina dibawah konsep Qur’ani. Dan tidaklah cukup jikalau Al Qur’an hanya dijadikan sebagai pusat dan sumber intelektualitas belaka. Tetapi Al Qur’an harus dihafal. Khusus bagi mereka yang masih berumur muda.
Perlu diingat makna qiyamul lail tidak akan pernah terealisir selama calon da’I atau mujahid tidak hafal ayat-ayat Al Qur’an kecuali beberapa ayat saja. Bagaimana ia akan merasakan nikmatnya bermunajat, sedangkan ia hanya hafal beberapa ayat dari Al Qur’an dan diulangnya tiap rokaat sholatnya? Bagaimana ia akan merasa khusyu’? Sungguh !! betapa nikmat, tatkala kaki berdiri tegak untuk memulai munajat, hati tergerak disinari ayat-ayat Ilahi, yang kemudian dibiaskan ke dalam penglihatan, pendengaran, jiwa dan kehidupan.
Untuk menghasilkan generasi Al Muzammil yang tangguh, harokah islamiyah harus mengonsep, pada umur 20 tahun seorang anggota harus sudah hafal sebagian besar ayat-ayat Al Qur’an. Inilah yang akan menjadi bekal mereka. Dengan bekal ini, mereka akan bisa mereguk nikmatnya bermunajat, qiyamul lail dan bertaqorrub kepada-Nya.
Potret generasi Al Muzammil adalah seorang pemuda yang telah melewati pubertas nya dengan kecintaan pada ibadah, ketaatan , dan taqorrub kepada-Nyaa. Pemuda yang selalu bertilawah dengan tartil, yang setiap malam air mata mengucur deras dari pelupuk matanya. Mentadabburi ayat-ayat-Nya. Pemuda yang Al Qur’an terukir di hati dan pikirannya.

FIQH PUASA

Puasa atau yang disebut “shiyaam dan shaum” dalam bahasa Arab, secara etimologi berarti al-imsak (menahan diri) dari sesuatu baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah sebagi berikut;

 

“maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”.(QS 19:26)

 

Dan secar terminology Ulama fikih sepakat mendefinisikan puasa dengan “menahan diri dengan niat ta’abbud dari makan, minum, hubungan biologis dan segala perbuatan yang membatalkan sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari”.

 

SEJARAH DIWAJIBKAN PUASA

 

Puasa tidak hanya diwajibkan kepada Ummat Muhammad SAW saja, akan tetapi ibadah puasa merupakan kewajiban yang telah dipergilirkan Allah kepada setiap ummat dan Nabinya sebelum datangnya Islam. Rasulullah SAW -sebelum diwajibkan puasa Ramadlon- selalu melakukan puasa tiga hari setiap bulan, hingga Allah SWT mewajibkan kepada Ummat Islam berpuasa di bulan Romadlan. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al-Quran dalam surat Al-Baqarah;

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS 2:183)

 

Ayat ini diturunkan pada hari Senin pada bulan Sya’ban tahun 2 H, setelah dua tahun ummat Islam berada di kota Madinah munawwarah.

 

LANDASAN SYAR’I

 

Hukum wajib berpuasa pada bulan Ramadlan didasarkan kepada beberapa sumber hokum Islam, yaitu Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma’

 

Al-Quran

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS 2:183)

 

As-Sunnah

 

-Hadits Jibril yang bertanya kepada Rasulullah tentang “al-Islam” (HR Al-Bukhari Muslim)

-“Islam dibangun di atas lima dasar; bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menjalankan ibadah haji dan puasa Ramadlan.” (Muttafaqun Alaih)

 

Al-Ijma’

 

Semua Ulama sepakat bahwa berpuasa pada bulan Ramadlan hukumnya fardlu Ain yang harus dilakukan oleh seorang muslim yang telah memenuhi sarat wajib dan sahnya berpuasa.

 

HIKMAH PUASA

 

Ada beberapa hikmah dalam berpuasa yang bisa kita konklusikan sebagai berikut;

 

Hikmah Ruhiah (spritual)

 

q       Penguatan iman dan ketakwaan

q       Melahirkan bentuk ketundukan secara totalitas

q       Menahan diri dari mengikuti hawa nafsu

q       Medan pelatihan kesabaran, kejujuran dan kedisiplinan 

 

Hikmah Ijtima’iah (social)

 

q       Melahirkan rasa solidaritas yang tinggi sesama muslim

q       Sebagai media pemersatu ummat, karena semua muslim melakukan ibadah ini secara bersamaan dan serentak

q       Mempererat tali ukhuwah islamiah

q       Membiasakan menjalankan aturan-aturan ilahiah atau menumbuhkan kedisiplinan dalam merspon hokum-hukum Islam

q       Mengeleminir tinadakan kriminal dan bentuk-bentuk kemaksiatan

 

Himah shihiat (kesehatan)

 

q       Membersihkan kembali usus-usus

q       Memperbaiki alat pencernaan

q       Mengurangi berat badan

q       Menjaga hukum keseimbangan badan

 

“Berpuasalah kamu, niscaya kamu kan sehat (HR Abu Dawud, Abu Nu’aim dan dihasankan As-Suyuthi)

 

KEUTAMAAN PUASA

 

q       Media peleburan dosa-dosa kecil

 

“Shalat lima waktu, sahlat Jum’at ke Jum’at yang lain, Ramadlan ke Ramadlan yang lain mampu melebur dosa-dosa yang ada diantaranya selama dijauhi dosa-dosa besar.” (HR Muslim)

 

“Barang siapa yang berpuasa Ramadlan karen iman dan hanya mencari ridlo Allah semata, maka dosa-dosanya yang berlalu akan diampuni.” (Muttafaqun alaih)

 

q       Benteng api neraka

 

“Barang siapa yang berpuasa sehara karena Allah Azza wa Jalla, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dengan puasa tersebut dari api neraka selam tujuh puluh atahun.” (Muttafaqun alaih)

 

“Puasa adalah benteng dari api neraka bagaikan benteng kamu di dalam peperangan.” (HR Ahmad dan yang lain)

 

q       Sarana dikabulkan do’a

 

“Sesungguhnya do’a menjelang berbuka bagi orang yang sedang berpuasa tidak pernah ditolak.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim)

 

q       Sarana mendapatkan pintu “Ar-Rayyan”

 

“Sesungguhnya di dalam surga ada sebuah pintu yang disebut “Ar-Rayyan”, yang mana semua orang yang berpuasa masuk dari pintu tersebut pada hari kiamat. Dan selain mereka tidak diperbolehkan masuk dari pintu tersebut…” (HR Muttafaqun alaih)  

 

MACAM-MACAM PUASA

 

Ditinjau dari hukum taklifi, puasa terbagi menjadi empat klasifikasi berikut ini;

 

Puasa Wajib

 

Ø      Puasa Ramadlan (QS 2;!83)

Ø      Puasa Qodla Ramadlan (QS 2;!84)

Ø      Puasa Nadzar

Ø      Puasa Kafarat (QS 58:4)

 

Ancaman Bagi Yang Sengaja Tidak Puasa Ramadlan

 

Rasulullah SAW bersabda;

 

“Ikatan Islam dan dasar-dasar agama ada tiga, di atasnya ditegakkan Islam, maka barang siapa yang meninggalkan satu dari tiga tersebut niscaya ia kafir dan halal darahnya; bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah, shalat lima waktu dan puasa Ramadlan.” (HR Abu Ya’laa, Ad-Dailamy dan disahihkan Ad-Dzahaby)

 

“Barang siapa yang tidak puasa satu hari dari Ramadlan dengan tanpa rukhshah yang telah diberikan Allah, maka seandainya ia puasa satu tahun penuh niscaya tidak akan bisa menggantikannya.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-tirmidzy)

 

Imam Ad-Dzahaby berkata: “Suatu ketetapan yang berlaku bagi orang-orang beriman (Ulama Islam) adalah “Barang siapa yang meninggalkan puasa Ramadlan tanpa sakit maka lebih buruk dari pada zina dan mabuk-mabukan. Bahkan orang ini diragukan keimanannya dan diduga ateis (zindik) dan telah terurai ikatan Islam.”

 

Puasa Sunnah

 

Ø      Hari Arafah (tanggal 9 Dzul Hijjah bagi muslim yang tidak menunaikan ibadah haji)

 

“Berpuasa pada hari Arafah mampu melebur dosa-dosa selama dua tahun, setahun yang berlalu dan setahun yang akan datang dan berpuasa pada tanggal sepuluh Muharram mampu melebur dosa setahun yang telah berlalu.” (HR Muslim)

 

Ø      Hari Asyura (tanggal 10 Muharram) dan Tasu’a (tanggal 9 Muharram)

 

“…apabila (bertemu) dengan tahun yang akan datang –Insya Allah- kami berpuasa pada hari kesembilan (Muharram).” (HR Muslim)

 

Ø      Enam Hari dari Bulan Syawwal

Ø      Bulan Sya’ban

Ø      Sepuluh Pertama dari Bulan Dzul Hijjah (kecuali Hari Raya Idul Adlha)

Ø      Bulan Muharram

Ø      Hari-hari Putih (tanggal 13,14 dan 15 setiap bulan qomariah)

Ø      Senin Kamis

Ø      Puasa Dawud (sehari puasa sehari buka)

Ø      Puasa untuk menahan nafsu bagi membujang

 

Puasa Makruh

 

Ø      Puasa Arafah bagi yang wuquf di Arafah

Ø      Mengkhususkan puasa hari Jum’at

Ø      Mengkhususkan puasa hari Sabtu

Ø      Puasa pada pertengahan Sya’ban

Ø      Puasa Wishal (menggabungkan dua hari tanpa berbuka)

Ø      Puasa hari Syak (tanggal 30 Sya’ban)

Ø      Puasa Dahr (Menahun)

Ø      Puasanya wanita yang tidak izin kepada suaminya

 

Puasa Yang Diharamkan

 

Ø      Puasa pada dua hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adlha)

Ø      Puasa hari-hari Tasyriq

Ø      Puasanya Oarang yang haidl dan sedang nifas

 

 

SARAT-SARAT PUASA

 

Tidak semua orang harus melakukan ibadah puasa, kecuali telah memenuhi sarat-sarat berikut ini;

 

  • Islam, puasa tidak sah dilakukan oleh orang-orang kafir

 

  • Baligh, anak-anak yang belum mencapai usia baligh tidak wajib melakukan ibadah puasa, akan tetapi apabila ia berpuasa maka hukumnya sah

 

  • Berakal, orang-orang yang tidak berakal seperti orang gila, sakit ayan dan yang hilang akalnya tidak diwajibkan melakukan ibadah puasa.

 

Rasulullah Saw bersabda: “Qolam (beban hokum itu) dihilangkan dari tiga golongan; orang yang gila sampai ia sembuh, orang yang tidur sampai ia bangun dan anak kecil sampai ia baligh.” (HR Ahmad adan Abu Dawud)

 

  • Sehat dan mukim (tidak wajib bagi yang sakit dan musafir) (QS 2:184)

 

 

SUNAH-SUNAH PUASA

 

Beberapa amalan sunnah dalam berpuasa;

 

  1. Menyegerakan berbuka

 

“Manusia (yang berpuasa) senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR Muttafaqun Alaih)

 

“Sesungguhnya Rasulullah tidak melakukan shalat maghrib dulu sehingga ia berbuka, meskipun dengan setegukan air.” (HR At-Tirmidzi)

 

  1. Berbuka dengan ruthab (kurma tangkai yang masih muda), kurma dan atau air

 

  1. Berdo’a menjelang berbuka

 

4.     اللهم لك صمنا و على رزقك أفطرنا فتقبل منا إنك أنت السميع العليم

 

  1. Sahur dan mengakhirkan sahur

 

“Bersahurlah kamu, karena sesungguhnya sahur itu mengandung keberkahan.” (HR Muttafaqun Alaih)

 

“Ummatku senantiasa dalam kebaikan selama menyegerakan buka dan mengakhirkan sahur.” (HR Ahmad)

 

YANG DIMAKRUHKAN DALAM PUASA

 

  1. Berlebihan dalam berkumur dan menyedot air dengan hidung
  2. Mencium istri disertai dengan syahwat
  3. Memperhatikan istri dengan pandangan syahwat
  4. Menghayal hubungan suami istri
  5. Menyentuh wanita dengan tangan dan jasad
  6. Menggigit-gigit sesuatu yang dikuwatirkan masuk ke tenggorakan
  7. Mencicipi masakan
  8. Berbekam

 

YANG MEMBATALKAN PUASA

 

  1. Masuknya sesuatu ke dalam lambung melalui lubang-lubang yang memeiliki saluran khusus dengannya seperti anus, vagina, hidung, telinga dan lain-lain

 

  1. Keluarnya mani (seperma) akibat pandangan, khayalan, ciuman dan sentuhan

 

  1. Sengaja muntah

 

  1. Makan minum (dipaksa maupun tidak, menduga masih malam dan atau masuk maghrib)

 

  1. Berhubungan suami istri di siang hari

 

YANG DIPERBOLEHKAN DALAM BERPUASA

 

  1. Siwak atau menggosok gigi
  2. Berendam di dalam air
  3. Jima’ (berhubungan suami istri) sepanjang malam sampai munculnya fajar
  4. Berobat denagn cara disuntik pada tempat yang tidak ada hubungan secara langsung dengan lambung
  5. Semalaman dalam keadaan junub
  6. Menggunakan parfum
  7. Makan minum dalam keadaan lupa

 

DUNIA DAN AKHIRAT

Allah Swt membagi kehidupan menjadi dua bagian, yakni kehidupan dunia dan akhirat. Apa yang dilakukan manusia di dunia akan berdampak dalam kehidupan akhirat, enak dan tidaknya kehidupan seseorang di akhirat sangat bergantung pada bagaimana ia menjalani kehidupan di dunia ini. Manakala manusia beriman dan beramal shaleh dalam kehidupan di dunia, iapun akan mendapatkan kenikmatan dalam kehidupan di akhirat. Karena itu, ketika seseorang berorientasi memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan di akhirat, maka ia akan menjalani kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ketika manusia berorientasi kepada kehidupan akhirat, bukan berarti ia tidak boleh menikmati kehidupan di dunia ini, hal ini karena segala hal-hal yang bersifat duniawi sangat disukai oleh manusia, karenanya Islam tidak pernah mengharamkan manusia untuk menikmati kehidupan duniawinya selama tidak melanggar ketentuan Allah Swt, apalagi sampai melupakan Allah Swt sebagai pencipta dan pengatur dalam hidup ini. Manusia memang memandang indah segala hal yang bersifat duniawi dan itu wajar-wajar saja selama ia tidak merngabaikan tempat kembalinya, Allah Swt berfirman yang artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan disisi Allahlah tempat kembali yang baik (syurga).(QS 3:14).

HAKIKAT KEINDAHAN.

Muhammad Ali Ash Shabuny di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa para ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa yang menjadikan syahwat itu sebagai sesuatu yang indah. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang menjadikan indah adalah syaitan dengan cara membisikkan kepada manusia dan menjadikannya tampak indah dihadapan mereka, lalu mereka condong kepada syahwat itu dan lalai dalam ketaatan kepada Allah Swt, pendapat ini didasari pada firman Allah yang artinya: Dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka (yang salah) lalu menghalangi mereka dari (jalan) Allah, sehingga mereka tidak mendapat petunjuk (QS 27:24).

Pendapat kedua mengatakan bahwa Allah-lah yang menjadikan indah terhadap syahwat sebagai ujian dan cobaan untuk menentukan siapa diantara mereka yang baik perbuatannya, hal ini didasari pada firman Allah yang artinya: Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka, siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya (QS 18:7).

Dua pendapat yang nampak bertolak belakang itu sebenarnya bukan sesuatu yang bertolak belakang. Allah Swt dan Syaitan sama-sama memiliki “kepentingan” dalam kaitan dengan syahwat manusia terhadap hal-hal yang sifatnya duniawi. Allah Swt ingin menguji manusia agar mereka dapat meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Swt, sedangkan syaitan justeru ingin menjerumuskan manusia ke jalan yang sesat.

Oleh karena itu, ketika menafsirkan kalimat: “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini”, Sayyid Quthb dalam Fi Dzilalil Qur’an mengatakan: Ungkapan kalimat ini tidak memiliki konotasi untuk menganggapnya kotor dan tidak disukai. Tetapi ia hanya semata-mata menunjukkan tabiat dan dorongan-dorongannya, menempatkannya pada tempat tanpa melewati batas serta tidak mengalahkan apa yang lebih mulia dan lebih tinggi dalam kehidupan serta mengajaknya untuk memandang ke ufuk lain setelah menunjukkan vitalnya apa-apa yang diingini itu, dengan tanpa tenggelam dan semata-mata bergelimang di dalamnya. Disinilah keistimewaan Islam dengan memelihara fitrah manusia dan menerima kenyataannya serta berusaha mendidik, merawat dan meninggikannya, bukan membekukan dan mematikannya.

Sebagian kalangan sufi menganggap bahwa syahwat merupakan sesuatu yang tercela, karenanya harus dijauhi sehingga mereka cenderung meninggalkan dunia. Padahal bagi seorang muslim, bukan tidak boleh memiliki dan menikmati kehidupan dunia ini, yang penting adalah jangan sampai kehidupan dunia membuat manusia menjadi lupa dan lalai, karena hal itu hanya akan membawa pada kerugian, tidak hanya di dunia ini tapi juga di akhirat nanti. Allah Swt berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi (QS 63:9).

Kita memang harus mengakui bahwa syahwat itu bisa positif tapi bisa juga negatif. Kekhawatiran kita kepada hal-hal yang negatif mestinya tidak sampai kita mengharamkannya, disinilah letak pentingnya keshalehan manusia, karena bila segala kenikmatan duniawi itu ada ditangan orang yang shaleh, maka kenikmatan itu akan memberikan kenikmatan yang lebih besar lagi, ni’mal maalu ash shalih, rajulun shaleh. Sedangkan bila suatu kenikmatan berada di tangan orang yang shaleh, hal itu akan sangat membahayakan, tidak hanya membahayakan dirinya, tapi juga membahayakan orang lain. Kehidupan akhirat memang lebih baik, tapi bukan berarti kehidupan dunia ini jelek dan harus dicampakkan, karenanya di dalam surat Al Imran: 15, Allah Swt mengemukakan bahwa ada yang lebih baik dari kesenangan-kesenangan duniawi, ayat tersebut artinya: Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?”. Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya (QS 3:15).

Disamping itu, Allah Swt juga menegaskan tentang tidak haramnya menikmati hal-hal yang bersifat duniawi sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?”. Katakanlah: “semuanya itu disediakan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja ) di akhirat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui (QS 7:32)

SIKAP KEPADA DUNIA.

Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bagaimana sikap yang harus kita tunjukkan kepada dunia. Paling tidak, ada sikap positif yang harus kita miliki dalam memandang kehidupan dunia. Pertama, capai segala kenikmatan dunia dengan cara-cara yang baik dan halal, bukan dengan menghalalkan segala cara dalam memperolehnya. Bahkan seandainya untuk mendapatkan kenikmatan itu harus dikejar sampai ke ujung dunia, maka hal itu tidak menjadi masalah, karena Allah Swt memang memerintahkan kepada manusia untuk mencari karunia-Nya, di muka bumi yang amat luas, hal ini terdapat dalam firman-Nya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (QS 62:10).

Kedua, gunakan apa-apa yang sudah kita peroleh dengan cara yang baik dan untuk kebaikan, bukan malah untuk hal-hal yang bisa mendatangkan kerusakan, baik kerusakan diri sendiri, orang lain maupun kerusakan lingkungan hidup tempat kita menjalani kehidupan ini, Allah Swt berfirman yang artinya: Dan carilah apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS 28:77).

Ketiga, jangan sampai lupa kepada Allah Swt dalam menikmati hal-hal yang bersifat duniawi sehingga menikmatinya tetap dalam kerangka bersyukur dan beribadah kepada Allah Swt, bila itu yang dilakukan, maka kenikmatan duniawi itu akan terasa sedemikian banyak rasa dan manfaatnya meskipun jumlahnya sedikit, Allah Swt berfirman yang artinya: Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS 14:7).

Dengan demikian, apapun yang kita raih dan kita nikmati dalam kehidupan di dunia ini, semua adalah dalam kerangka membekali diri kita untuk kembali kepada Allah Swt dengan amal shaleh yang sebanyak-banyak dan ketaqwaan yang setinggi-tingginya

DOSA-DOSA BESAR

إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفر عنكم سيئاتكم وندخلكم مدخلا كريما

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”

(Qs An-Nisa IV ayat 31)

 

      Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa dosa besar itu ialah semua perbuatan yang berat yang dihukum had di dunia seperti membunuh, berbuat zina, mencuri atau yang diancam azab di akhirat atau mendapat murka atau laknat Allah, semuanya itu termasuk dosa besar.

(75 Dosa Besar halaman 10; Penerbit Media Idaman)

 

            Jadi dosa besar itu bertingkat-tingkat, lagipula jumlahnya tidak pasti. Adapun yang paling besar adalah syirik kepada Allah swt. Sebab perbuatan syirik itu tidak akan diampuni Allah swt selama ia belum bertaubat. Sebagaiaman Allah firmankan sbb:

 

إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء

 ومن يشرك بالله فقد افترى إثما عظيما

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS 4:48)

إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء

 ومن يشرك بالله فقد ضل ضلالا بعيدا

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS 4:116)

 

Di dalam kitab Ad-Da’u wad-Dawa’ (Therapi Penyakit Hati halaman 226; Pustaka Mantiq) Ibnul Qoyyim Al-Jauziah  mengutip pendapat Abu Thalib AL-Makki yang menggolongkan Dosa Besar ke dalam pembagian sbb:

(1)               Dosa besar dalam hati:

1. Syirik kepada Allah swt

2. Mengulang-ulang ma’siat

3. Putus asa dari rahmat Allah swt

4. Merasa aman dari siksa Allah swt

 

 

 

 

(2)               Dosa besar pada lidah:

1.         Bersaksi palsu

2.         Menuduh zina wanita baik-baik

3.         Sumpah palsu

4.         Sihir

(3)               Dosa besar dalam perut:

1.         Meminum khamr

2.         Memakan harta anak yatim

3.         Makan riba

(4)               Dosa besar berkenaan dengan kemaluan (faraj):

1.         Zina

2.         Homosexualitas/lesbianism

(5)               Dosa besar pada tangan:

1.         Membunuh

2.         Mencuri

(6)               Dosa besar pada kaki:

1.         Lari dari medan jihad fi sabilillah

(7)               Dosa besar seluruh badan:

1.         Durhaka kepada kedua orang-tua

 

Marilah kita perhatikan satu per satu. Kita mulai dengan :

Dosa besar  dalam hati.

(1) Syirik kepada Allah swt

Terbagi menjadi dua:

1.         Syirik besar; yaitu menganggap sesuatu sebagai tuhan lalu disembah dan dipuja. Seperti kepada batu besar, kayu, matahari, bulan, nabi, kyai (‘alim-ulama), bintang, raja dll. Dan inilah yang dimaksud Allah di dalam QS 4:48  31:13  dan 5:72.

2.         Syirik kecil (riya’) ialah ingin mendapatkan pujian manusia dalam beramal. Sebagaimana disebut Allah dalam QS 18:110.  Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Al-Baihaqi dan Ath-thabrani Rasulullah saw bersabda: “Jauhilah olehmu syirik kecil.” Para sahabat bertanya: “Apa itu yang dimaksud dengan syirik kecil?” Beliau menjawab: “Yaitu riya’. Allah swt berfirman di hari pembalasan: Pergilah kalian kepada orang yang memuji amalan kalian di waktu kamu masih berada di dunia dahulu dan lihatlah apakah kamu menjumpai pahala dari mereka?”

(2) Mengulang-ulang maksiat

            Bersabda Rasulullah saw:”Hati-hatilah kamu terhadap dosa-dosa kecil, karena apabila sering dilakukan, maka pasti akan merusaknya(akan menjadi dosa besar)” (HR Imam Ahmad) Oleh karena itu prinsip dalam memahamai masalah dosa besar dan kecil adalah: “Tidak ada kabair dengan istighfar dan tidak ada dosa kecil bila dikerjakan terus-menerus.”

(3) Berputus asa dari rahmat Allah swt

Salah satu bentuk dosa ini adalah tindakan membunuh diri sendiri. Seperti disebutkan Allah swt di dalam QS 4:29-30. Dan Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa membunuh diri dengan besi, sedang besi itu dari tangannya sendiri ditusukkan pada perutnya, maka ia akan masuk neraka jahannam yang kekal untuk selama-lamanya. Barangsiapa yang membunuh diri dengan meminum racun maka ia akan masuk neraka jahannam kekal di dalamnya selama-lamanya dan barangsiap menggelincirkan diri dari atas gunung  yang menyebabkan ia mati maka ia dimasukkan ke dalam neraka jahannam untuk selama-lamanya.” (HR Bukhori)

(4)  Merasa aman dari siksa Allah swt

Perhatikan firman Allah swt QS 6:44 serta QS 7:99 sbb: “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”

Dosa besar pada lidah:

(1)               Bersaksi palsu

Yang dimaksud dengan kesaksian palsu ialah orang yang diminta oleh hakim untuk menerangkan dengan sebenarnya terhadap sesuatu yang pernah diketahui atau didengar sendiri dalam kaitannya dengan mengadili sesuatu hal, kemudian ia dustakan. Seperti disebutkan Allah di dalam QS 25:4 sbb: “Dan orang-orang kafir berkata: “Al Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain ; maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar.”

(2) Menuduh zina wanita baik-baik

Perhatikan QS 24:23-24 sbb: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”

(3) Sumpah palsu

Ini termasuk sifat khas munafiq. Disebutkan Allah swt di dalam QS 63:2 dan 58:16. “Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.” Sehingga Allah menurunkan QS 68:10 sbb: “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina…”

(4) Sihir

Banyak perbuatan sihir diduga manusia sekedar sebagai perbuatan haram yang ringan padahal sebenarnya termasuk kufur karena tergolong perbuatan sihir. Misalnya: menceraikan seseorang dari isterinya, memikat seorang perempuan kepada seorang lelaki dengan jampi-jampi atau untuk mencari keuntungan dan mendatangkan kerugian pada seseorang. Dalam hadist riwayat Ahmad dan Al-Hakim bersabda Rasululah saw: “Tiga golongan yang tidak dapat masuk surga: peminum khamr, pemutus tali silaturrahim dan orang yang membenarkan sihir.”

Dosa besar pada perut:

(1)               Meminum khamr

Perhatikan QS 5:90-91: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” Dalam hadist riwayat Ath-thabrani bersabda Rasulullah saw: “Jauhilah minuman keras karena ia merupakan induk kejahatan, barangsiapa tidak mau menjauhinya maka ia telah durhaka kepada Allah dan RasulNya dan azab itu berhak menimpa yang durhaka kepada Allah dan RasulNya.”

 

 

 

(2)               Memakan harta anak yatim

Dalam QS 4:10 Allah swt berfirman sbb: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”

(3)               Makan riba

Allah swt berfirman di dalam QS 2:278-279    sbb: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” Sedangkan di dalam hadist riwayat Ibnu Majah dan Al-Baihaqi bersabda Rasulullah saw: “Riba itu ada tujuh puluh macam dosa. Dan riba yang paling ringan dosanya seperti dosa seorang yang berzina dengan ibunya sendiri.”

 

 

Dosa besar dalam kemaluan:

(1)               Berzina

Allah berfirman sbb:

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS 17:32)

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS 24:2)

Rasulullah saw bersabda: “Jika seseorang berzina maka imannya itu keluar seperti asap yang menutupi kepalanya, lalu apabila ia telah selesai berzina imannya kembali lagi.” (HR Abu Dawud & Turmudzi)

“Hai kaum muslimin, takutlah kamu akan berbuat zina, sebab di situ ada enam perkara: hilanglah sinar di wajah, pendek (berkurangnya) umur dan berlangsung terus kefakirannya; sedang tiga perkara di akhirat: mendapat kemurkaan Allah swt, siksa yang jelek dan adzab neraka.” (HR Baihaqi)

“Tidak seorang lelaki berkhalwat (bersembunyi-sembunyi) dengan seorang perempuan, melainkan ketiganya adalah syetan.” (HR Turmudzi)

(2)               Homosexualitas/lesbianism

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (QS 11:82-83)

“Mengapa  kamu  mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS 26:165-166)

Rasulullah saw bersabda: “Ada empat golongan di pagi hari dimurkai Allah dan di sore hari dibenci Allah. Ada sahabat bertanya siapakah mereka? Beliau menjawab: lelaki yang menyerupai diri dengan wanita dan wanita yang menyerupai diri dengan lelaki, orang berbuat serong (bersetubuh) dengan binatang dan pelaku homosexualitas.”

 (HR Ath-Thobari)

“Terlaknatlah orang yang bersetubuh dengan perempuan yang sedang haidl atau ke dalam duburnya.” (HR Ahmad)

“Allah melaknat wanita yang memakai pakaian lelaki dan lelaki yang memakai pakaian wanita.” (HR Abu Dawud)

 

Dosa besar pada tangan:

(1)               Membunuh

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS 4:93)

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena  orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara  kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS5:32)

Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu menjadi kafir sepeninggalku dengan cara kamu membunuh sebagian yang lain.” (HR Bukhari-Muslim)

“Yang pertama kali dihisab oleh Allah diantara manusia ialah masalah pembunuhan.” (HR An-Nasa’i)

“Tiada orang yang membunuh orang dengan keadaan zalim melainkan terjadi atas anak Adam yang pertama, maka dialah yang menanggung dosanya karena yang mula-mula memberi contoh dalam perbuatan tersebut adalah dia.” (HR Bukhari-Muslim)

“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid,maka dia tidak dapat mencium aroma surga padahal aromanya itu dapat dicium sejauh 40 tahun perjalanan.” (HR Bukhari)

“Bila dua orang muslim saling berhadap-hadapan (bertengkar)dengan menggunakan pedangnya (untuk saling membunuh) maka yang dibunuh dan membunuh keduanya masuk neraka; lalu sahabat berkata: “Ya Rasulallah, betul bagi pembunhuhnya, tapi mengapa orang yang dibunuh juga masuk neraka?” Nabi menjawab: ”Sebab dia juga ingin membunuh saudaranya itu.” (HR Bukhari-Muslim)

(2)               Mencuri

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS 5:38)

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelummu ialah apabila golongan terhormat melakukan pencurian ia lolos dari had (hukuman-nya) sedangkan apabila dari golongan lemah maka had ditegakkan. Demi Dzat yang diriku dalam genggaman-Nya seandainya Fatimah binti Muhammad melakukan pencurian niscaya aku potong tangannya.” (HR Bukhari-Muslim)

 

Dosa besar pada kaki:

(1)               Lari dari medan jihad fi sabilillah (desersi)

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS 22:39)

“Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS 8:16)

 

 

 

Dosa besar pada seluruh anggota badan:

(1)               Durhaka kepada orang-tua

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang  mulia Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS 17:23-24)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya;  ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.  Bersyukurlah  kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS 31:14)

Rasulullah saw bersabda: “Keridhaan Allah terletak pada keridhaan ibu bapak dan kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan ibu bapak pula.” (HR Turmudzi-AlHakim)

“Semua dosa itu adzabnya ditunda oleh Allah swt sampai hari kiamat kecuali orang yang durhaka kepada kedua orang-tuanya. Sesungguhnya Allah akan mempercepat adzab kepadanya; dan Allah akan menambah umur seorang hamba jika ia berbuat baik kepada ibu bapaknya, bahkan Allah akan menambah kebaikannya, kepada siapa saja yang berbuat baik kepada ibu bapaknya, serta memberi nafkah keduanya jika diperlukan.”

(HR Ibnu Majah)

“Termasuk dosa besar orang yang mencaci maki ibu bapaknya. Para sahabat bertanya: Apakah bisa ada orang mencaci maki ibu bapaknya sendiri? Rasul menjawab: yaitu jika ada seseorang yang mencaci maki ayah orang lain kemudian orang lain itu mencaci maki ibu bapaknya.” (HR Bukhari-Muslim)

Dimensi Jiwa Manusia Dalam Perspektif Islam

Dalam panggung sejarah manusia, pernah hidup dua orang saudara kandung. Awalnya perjalanan hidup keduanya diwarnai keharmonisan dan saling pengertian. Kondisi seperti ini berubah ketika keduanya mencapai usia berkeluarga.

Sang ayah memerintahkan si kakak agar menikah dengan saudari kembar adiknya, sementara adiknya dijodohkan dengan saudari kembarnya. Pada titik ini nafsu buruk mulai mencuat dan berperan. Tidak seperti adiknya, si kakak menolak perintah, lantaran pilihan sang ayah tak cocok dengan harapannya. Kemudian sang ayah memerintahkan keduanya untuk berkorban. Si kakak yang petani menyiapkan hasil tanamannya yang jelek . sebaliknya adiknya yang peternak memilih yang terbaik diantara hewan peliharaanya. Tentu saja kurban yang baik secara kualitas dan kuantitaslah yang diterima Allah. Rasa iripun menguasai si kakak, lantas ia mengancam untuk membunuhnya adiknya. Lantaran rasa takutnya kepada Allah, adiknya tak mau meladeni dan membalas ancaman tersebut meskipun ia lebih perkasa. Akhirnya, tumpahlah darah manusia untuk pertama kalinya. Dibunuhlah sang adiknya, sekalipun setelah itu sang kakak merasakan penyesalan yang amat dalam.

Itulah episode Qobil dan Habil, putera manusia dan Nabi Pertama , Adam as. Qobil dan habil kini telah tiada dan tak mungkin hidup kembali. Akan tetapi dua karakter manusia yang berbeda dan paradoksal itu akan tetap eksis dan hidup pada diri anak cucu keturunan Adam as.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam dua dimensi jiwa. Ia memiliki karakter , potensi, orientasi dan kecenderungan yang sama untuk mlakukan hal-hal positif dan negatif. Inilah salah satu ciri spesifik manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya. Sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk alternatif, artinya ia bisa menjadi baik dan tinggi derajatnya di hadapan Allah. Sebaliknya, ia pun bisa menjadi jahat dan jatuh terperosok pada posisi yang rendah dan buruk. Ia bisa bagai hewan, bahkan lebih jelek lagi. Dalam kaitan ini, manusia dbierikan oleh Allah kekuatan ikhtiar atau usaha untuk bebas menggunakan potensi positif dan negatifnya. Namun ia tak boleh melupakan, bahwa semua pilihan dan tindakannya akan dipertanggung jawabkan di hadapan pengadilan tinggi Allah Yang Maha Adil, kelak di akhirat. Lantaran itu, bukanlah pada tempatnya manakala manusia menjadikan takdir sebagai alasan dan kambing hitam bila ia melakukan perbuatan negatif, dengan mengatakan bahwa segala sesuatunya telah ditakdirkan Allah SWT. Seakan manusia itu wayang yang tak biasa berperan kecuali bila diperankan sang dalang. Padahal Allah tak akan merubah keadaan suatu kaum kalau mereka tidak berusaha merubahnya.

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS Ar-Ra’d: 11)

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa seorang pencuri, yang diajukan kepada Umar bin Khattab ra., mengatakan bahwa dirinya melakukan pencurian karena sudah ditakdirkan Allah. Lalu dengan tangkas Umar bin Khattab menjawab bahwa bila tangannya dipotong , juga merupakan takdir Allah. Namun di pihak lain, Allah pun tak biasa dipersamakan dengan pembuat arloji. Setelah arloji itu dibikin dan dilempar ke pasar maka ia tak tahu lagi bagaimana nasib arloji tersebut, apakah masih berputar atau sudah mati. Allah senantiasa memonitor dan mengontrol makhluk-Nya.

اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS Al-Baqarah: 255)

“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurusi (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur” (QS. 2:255).

Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang. Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka, seperti yang dialami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada Qobil. Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa Rasulullah SAW. Ia putera seorang konglomerat Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya. Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun, suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi pribadi lain. Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah SAW dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya. Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran. Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru dakwah kepada penduduk Madinah. Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah mengikuti kafilah dakwah Rasulullah SAW, jiwa negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhrinya ia mati terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu peperangan.

Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan. Disinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun lainnya. Semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.

Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya. Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah SWT. Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oeh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah SWT.

“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya”(QS. 91:7-10).

Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan Allah, lingkungan maupun dirinya. Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan.adalah benar bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah. Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya. Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.

Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan. Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia ebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.

“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah SAW.

Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.

Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allah SWT, Pencipta alam semesta dan segala isinya. Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad SAW:

“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.

Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya. Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.

“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”. (Al Hadist).

Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya. Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari. Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang –Nya.

“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.99:27-30)

 

Degradasi Kesolehan dan Solusinya

I.    MUKADIMAH

Setiap muslim pasti tidak menginginkan keimanan dalam relung kalbunya mengalami kelemahan. Kelemahan ini akan terlihat dari kualitas dan kuantitas amal ibadah dan kesolehannya,  satu hal yang merupakan barometer keimanan. Hal tersebut memperlihatkan kenaikan atau degradasi keimanannya.
Karena itu, setiap muslim tentu menginginkan kesolehan dan kebaikannya senantiasa eksis dalam ruang kepribadiannya, dan kemudian menjelma dalam ruang sosialnya. Namun, kesolehan dan kebaikan ini bisa bertahan, atau bahkan berkembang   dengan ditentukan oleh kondisi keimanannya. Sejauh mana ia berusaha  menyuburkan keimanannya dengan ketaatan dan kesolehan. Oleh karenanya, Rasulullah dalam sebuah hadisnya mengajarkan kepada kita sebuah doa sebagai berikut.

“Ya Allah, Engkau lah teman dalam perjalanan dan khalifah dalam keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari beratnya perjalanan dan keburukan kondisi, dari kekurangan setelah kesetabilan, dari doa orang yang terdzalimi, dan dari buruknya pemandangan terhadap keluarga dan harta.” (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan shahih)

Dalam hadist ini, makna berlindung dari kekurangan adalah isyarat kepada setiap muslim untuk khusyuk berdoa agar keimanannya tidak mengalami penurunan, dan agar kesolehan dan kebaikannya dari hari ke hari semakin berkembang dan berbuah.
Namun, dalam realitas kehidupan muslim, tidak dapat dipungkiri adanya degradasi keimanan, kesolehan, dan kebaikan. Pada akhirnya hal ini melahirkan penyimpangan dan kesesatan dalam kehidupan. Kondisi dan fenomena ini pernah dialami oleh kaum sebelum kita. Secara eksplisit, Al-Qur`an menggambarkannya dalam ayat berikut ini.

“Maka, datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

Oleh karena itu, munculnya generasi terbiasa menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsu—seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari generasi sebelumnya. Pendahulunya tidak memberikan pemahaman dan pembinaan terhadap mereka secara kontinyu. Karena, apabila manusia tidak memiliki pemahaman yang baik tentang agamanya, ia cendrung mengikuti apa yang diinginkan hawa nafsunya. Itulah sebabnya, ketika ia memiliki pemahan yang tidak baik, atau adanya intervensi syubhat dalam paradigma pemikirannya, atau adanya dominasi syahwat yang berlebihan, ia akan mempunyai kecendrungan meyimpang dari jalan kebenaran. Dalam Madaarijus Salikin dan Zaadul Ma’aad, hal ini ditegaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziah, ia berkata ”Bahwasanya akar penyimpangan dan kesesetan seseorang bermuara pada dua faktor yaitu, syubhat dan syahwat”. Oleh karenanya, Allah SWT mengingatkan Nabi Daud as. untuk berlaku adil, menegakkan seluruh nilai kebenaran, dan tidak mengikuti libido atau hawa nafsunya, tatkala diberikan amanah sebagai khalifah di muka bumi ini. Perhatikan ayat berikut ini.

“Hai Daud,   sesungguhnya  Kami  menjadikan  kamu   khalifah (penguasa)  di muka bumi,  maka  berilah keputusan  (perkara)  di antara  manusia dengan  adil dan  janganlah  kamu mengikuti  hawa nafsu,   karena  ia  akan  menyesatkan  kamu  dari  jalan  Allah. Sesungguhnya  orang-orang  yang  sesat  darin  jalan  Allah  akan mendapat  azab   yang  berat,    karena  mereka   melupakan  hari perhitungan.” (Shaad: 26)

Oleh karena itu, sangatlah urgen bagi seorang muslim untuk memahami sebab-sebab degradasi kesolehan dan keimanan. Satu hal yang dapat mengakibatkan kita terombang-ambing dalam lautan kesesatan.

II.    SEBAB SEBAB DEGRADASI KESOLEHAN

Degradasi atau penurunan kesolehan dan keimanan seseorang tidak lahir begitu saja tanpa  faktor-faktor penyebab. Hal ini kembali kepada tabiat yang dimiliki “iman” itu sendiri, yaitu iman mengalami fluktuasi. Terkadang ia mengalami penambahan dan penguatan yang luar biasa, namun di saat lain ia mengalami penurunan yang drastis. Ibnu Hajar Asqolani, dalam Fathul Baary, Syarah Shahih al-Bukhari menyatakan bahwa  semua ulama sependapat iman itu dapat bertambah dengan ketaatan, dan dapat berkurang dengan kemaksiatan.
Di dalam Al-Qur`an, banyak terdapat ayat yang berkaitan dengan fluktuasi imam seseorang.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (al-Anfal: 2)

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata,  “Siapakah diantara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (at-Taubah: 124-125)

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya.  Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya.” (al-A’raaf:    146)

Adapun sebab-sebab degradasi kesolehan seseorang adalah sebagai berikut.

Pertama, lemahnya iman.
Apabila seorang muslim lemah imannya, maka ia tidak akan pernah merasakan nikmatnya iman tersebut. Ia senantisa terombang-ambing dalam panggung kehidupannya, dan tidak memiliki jati diri lagi sebagai muslim yang sebenarnya. Sebaliknya, manusia muslim yang memiliki kekuatan iman yang sebenarnya—bukan hanya sebatas keyakinan saja, ia akan merasa tentram, damai, percaya diri, dan bahkan mampu melukiskan karya-karya besar dalam kanvas kehidupannya. Inilah hamba-hamba yang dijanjikan Allah sebagai pewaris bumi-Nya, sebagaimana dinyatakan ayat-ayat berikut ini.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (an-Nuur: 55)

“Orang yang selalu merasakan kenikmatan iman adalah orang yang rela menjadikan Allah sebagai Robb, Islam sebagai agama, dan Muhamad sebagai Nabi.” (HR. Muslim)

“Ada tiga perkara, yang jika seseorang memilikinya, ia akan merasakan manisnya iman, yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih  daripada yang lain, menncintai orang lain karena Allah, dan benci kepada kekufuran, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Maka, kelemahan dan penurunan iman secara otomatis mempengaruhi kuantitas dan kualitas kesolehan dan kebaikan seseorang. Semakin kuat iman dalam jiwa seseorang, semakin kuat pula amal seseorang. Sebaliknya, semakin lemah iman seseorang, semakin lemah pula kuantitas dan kualitas amalnya.

Kedua, tertinggal dalam  ilmu pengetahuan.
Kekuatan dan kemenangan umat yang selalu dijanjikan Allah SWT kepada mereka, bukan hanya bertumpu pada sisi aqidah atau ibadah saja, melainkan harus diiringi dengan ilmu pengetahuan Islam dan ekspansi kebaikan atau amal islami dalam kehidupan. Namun, kekuatan dan kemenangan itu baru akan tegak kokoh jika berdiri di atas tiga pilar, yang satu sama lainnya tidak boleh terpisahkan, yaitu iman, ilmu, dan amal (ibadah). Saat ini, ketika umat mulai meninggalkan tsaqafah islamiah dan ilmu pengetahuan lainnya yang bermanfaat, maka kekuatan dan kemenangan tersebut berangsur-angsur akan hilang, dan akhirnya berganti dengan ketidakberdayaan serta kelemahan. Sebagaimana yang Allah nyatakan dalam firman-Nya.

“…Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal lah yang dapat menerima  pelajaran.” (az-Zumar: 9)

“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujaadilah: 11)

Mengenai hal ini, Imam Syafi’i berkata, “Demi Allah, sesungguhnya jati diri seorang pemuda ada dalam ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya.”

Adapun Ibnu Taimiah berkata, “Pencabutan amanah dan iman bukanlah berarti pencabutan ilmu. Karena, manusia terkadang diberikan keimanan, namun tidak diberikan keilmuan. Keimanan seperti ini mudah hilang dari jiwanya, sebagaimana hilangnya iman Bani Israil tatkala mereka melihat anak sapi (yang akhirnya disembah). Adapun jika seseorang diberikan ilmu serta iman, maka ilmu dan imannya tidak akan hilang dari jiwanya, dan ia tidak akan keluar dari Islam. Berbeda jika ia hanya diberi Al-Qur`an atau iman saja. Sebab,  iman semacam ini terkadang hilang, sebagaimana realitas yang ada dalam kehidupan. Hal ini terlihat pada kebanyakan riddah (kemurtadan) yang kita temukan, yaitu terjadi pada orang yang hanya memiliki Qur`an tanpa memiliki ilmu dan iman, atau memiliki iman tanpa memiliki ilmu dan Qur`an. Karena itu lah, orang yang memiliki Al-Quran, iman, dan  ilmu pengetahuan,  niscaya tidak akan kehilangan iman dari jiwanya. Wallahu a’lam.” (al-Fataawa, 18/305)

Ketiga, meremehkan dosa dan kemaksiatan.

Ketika seseorang menganggap remeh dosa dan kemaksiatan, maka kesolehan dan kebaikannya akan mengalami degradasi. Bahkan, dengan meremehkan dosa dan kemaksiatan,  ia akan mudah terjebak dalam kubangan kemaksitan. Karena, tabiat dosa atau kemaksiatan adalah senantiasa mengajak dan menggiring manusia untuk melakukan dosa lagi. Mengenai masalah ini, Rasulullah saw. bersabda, “Takutlah kalian akan meremehkan dosa-dosa, karena sesungguhnya dosa-dosa tersebut akan berkumpul, dan akhirnya mencelakakannya. Perumpamaan dosa-dosa ini seperti kaum yang menuruni lembah dan setiap orang membawa sebatang kayu bakar. Mereka mengumpulkannya dan menjadikannya tumpukan, kemudian dinyalakan api dan semua yang dilemparkan ke dalamnya menjadi matang.” (HR Ahmad dan at-Thabrani)

Selain menambah dosa dan kemaksiatan, meremehkannya dapat mengakibatkan seseorang jauh dari jalan taubat, melemahkan hati untuk berjalan menuju Allah, dan bahkan  di Hari Akhirat nanti dapat menjadi penghalang menuju ke haribaan-Nya.

Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya kebaikan melahirkan kecerahan di wajah, cahaya di hati, kelapangan rizki, kekuatan badan, dan kecintaan di hati manusia lain. Adapun kemaksiatan menimbulkan kepucatan di wajah, kegelapan di hati, kelemahan badan, serta kesempitan dan kebencian di hati manusia.”

Abdullah bin Mubarak berkata dalam syairnya.

Aku melihat dosa-dosa itu mematikan hati
Membiasakannya bisa mewariskan kehinaan,
Sementara, meninggalkan dosa-dosa adalah kehidupan bagi hati
dan kebaikan bagi jiwa,
Tidak ada yang merusak agama ini, kecuali para raja dan cedekiawan yang rusak

Keempat, ujub dan ghurur (keterperdayaan).

Ujub dan ghurur merupakan dosa awal yang dimiliki Iblis, yaitu saat ia menolak  perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Sebab, ia merasa mempunyai kelebihan dibandingkan Adam. Ia merasa lebih baik, lebih kuat, dan lebih sempurna. Begitu lah halnya manusia yang memilki sifat ujub dan ghurur, ia merasa lebih segala-galanya dari pada orang lain. Ia akan lebih sibuk dengan urusan orang lain dibandingkan dengan dirinya sendiri, dan ia merasa tidak butuh lagi untuk melakukan ekspansi kebaikan. Perasaan ujub dan ghurur yang mendominasi jiwa seorang muslim akan mematikan langkah-langkah kebaikannya, dan akan mengubur rasa jiddiyah (kerja keras) dalam usaha untuk menambah kesolehan pribadi.

“Apabila kamu melihat kekiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang diutamakan, dan takjub jika  semua orang mengikuti pendapatnya, maka selamatkanlah dirimu.” (HR at-Tirmidzi)

Bersamaan dengan ujub, akan muncul ridha kepada hawa nafsu. Ridha kepada hawa nafsu akan mengakibatkan banyak kekurangan dan penyakit, seperti ghurur, meremehkan orang lain, dan tidak pernah mengintropeksi diri. Oleh karenanya, Allah mencela sifat ini melalui berbagai ayat-ayat-Nya.

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mu’minin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfa’at kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (at-Taubah: 25)

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mu’min. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (al-Hasyr: 2)

Kelima, lemahnya tarbiyah.

Rasulullah saw. diutus ke bumi dengan mengemban misi khusus, yaitu untuk membacakan ayat-ayat-Nya, serta mentazkiah dan mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada ummatnya. Hal ini dilakukan agar mereka memahami visi dan misi kehidupannya, agar mata mereka terbuka akan peradaban yang ada di sekitarnya, dan agar mereka menjadi saksi-saksi kebenaran dan kebaikan atas umat yang lain.
Maka, ketika taklim dan tarbiyah (pendidikan dan pembinaan), yang sesuai dengan minhaj salafus shalih tidak dilirik kembali oleh ummat Islam, dan bahkan ditinggalkan sama sekali, niscaya akan muncul syubhat pemikiran di tengah-tengah ummat, merajalelanya syahwat dalam kehidupan, dan kebodohan mewarnai masyarakat. Inilah fenomena masyarakat muslim ketika tarbiyah, taklim dan dakwah tidak berperan lagi dalam masyarakat, sebagaimana yang diisyaratkan ayat berikut ini.

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

Oleh karenanya, Allah menyerukan setiap mukmin untuk selalu melakukan amar makruf dan nahi munkar.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ’Imran: 104)

Keenam, dominasi syahwat

Kesesatan dan jauhnya seseorang dari jalan petunjuk dan kebenaran bisa disebabkan oleh salah satu diantara dua faktor ini, yaitu syubhat dan syahwat. Syahwat yang mendominasi kehidupan seseorang akan memasung akalnya, menjadi raja kecil dalam dirinya, dan akan menjadikannya tunduk kepada setiap perintahnya. Semua organ tubuhnya digerakkan oleh keinginan hawa nafsu dan harapan libidonya, sekalipun ia sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan Islam.
Maka, tatkala dominasi syahwat sangat kuat dalam jiwa dan diri seseorang, niscaya cahaya kebaikan dan kesolehannya akan semakin redup, dan bahkan sama sekali tidak tampak. Ia akan berjalan di tengah-tengah masyarakatnya dengan kegelapan, kemaksiatan, dan kemungkaran. Sebaliknya, orang yang mampu menahan hawa nafsunya akan berjalan dengan cahaya kehidupan di tengah-tengah masyarakatnya. Hal ini telah Allah nyatakan dalam firman-Nya.

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (al-An’aam: 122)

Rasulullah saw. mengkatagorikan  orang yang cerdas adalah orang yang mampu menahan hawa nafsunya, dan perhatikan lah pahala yang diberikan Allah kepada orang semacam ini.

“Orang yang cerdas ialah orang yang mampu menahan hawa nafsunya, dan beramal untuk hari sesudah kematiannya.”

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggalnya.” (an-Naazi’aat: 37-41)

Ketujuh, berlebihan dalam mencintai dunia.

Sepatutnya, seorang muslim selalu berharap dalam kehidupannya kebaikan di dunia dan di akhirat, bukan hanya salah satunya saja. Ia hidup di dunia ini dan menikmati limpahan karunia serta rizki dari Allah untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran Islam. Ia menguasai dunia untuk menebarkan nilai-nilai kebaikan di tengah-tengah masyarakatnya. Inilah suatu kebahagian tersendiri yang tidak pernah dirasakan hamba-hamba yang mengingkari kebenaran risalah ilahiah.

“Tidak boleh hasud, kecuali kepada dua orang ini, seorang yang diberikan Al-Qur`an oleh Allah, kemudian ia mengamalkannya setiap hari dan setiap malam, dan seorang hamba yang diberikan Allah harta, kemudian ia menginfakkannya setiap hari dan setiap malam.” (Hadits shahih)

Namun, ketika jiwa seorang muslim sangat mencintai dunia, maka hal tersebut  akan mematikan langkah-langkah kebaikannya. Ia akan memiliki pemahaman bahwa hidup adalah untuk mengumpulkan harta yang sebanyak-banyaknya, bahwa dunia adalah sesuatu yang pasti dan akhirat adalah sesuatu yang belum pasti, dan bahwa dunia adalah kenikamatan cash dan akhirat adalah kenikmatan yang tertunda. Pernyataan-pernyataan ini muncul karena adanya talbis iblis pada jiwa seorang muslim. Oleh karenanya, Rasulullah sangat menakutkan fitnah dunia ini menimpa ummatnya.

“Demi Allah, bukanlah ujian kefakiran yang aku takutkan terhadap kalian, tetapi  ujian kelapangan dunia sebagaimana yang telah diberikan kepada kaum sebelum kalian. Kamu semua akan berlomba-lomba mendapatkannya, seperti mereka dan ia akan menghancurkan kalian, sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (HR al-Bukhari Muslim)
Kedelapan, krisis identitas

Ketika kondisi keimanan seseorang dingin dan tidak memiliki energi untuk melakukan perubahan dalam dirinya, serta keimananannya tidak memiliki pengaruh dalam melahirkan amal ibadah, maka ia akan mengalami idzabatu syakhshiat islamiah (krisis identitas keislaman). Ia menjadi minder ketika disebut muslim, malu dan merasa terbelakang apabila ditanyakan tentang identitas dirinya sebagai muslim, ketika  seharusnya mereka berani menunjukkan dengan jelas apa identitas dan siapa mereka. Mengapa? Hal ini dikarenakan seorang muslim memiliki identitas yang khas, kepribadian independen, dan loyalitas yang jelas. Ia adalah pemilik risalah bumi, serta pemikul panji dakwah universal yang berkarekter rabbaniah, insaniah, dan akhlakiah.
Maka,  seorang muslim yang tidak memahami hal ini akan kehilangan arah dan pegangan hidupnya, dan ia merasa tidak berharga dalam masyarakatnya serta tidak percaya diri sebagai muslim. Secara otomatis, ia akan melakukan apa saja yang ia inginkan, tanpa berfikir apakah perbuatannya sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Ia beribadah sekadarnya, dan beramal islam ala kadarnya. Akhirnya, lama-kelamaan, ia akan jauh dari poros Islam, dan berjalan diluar bingkai keislaman yang sebenarnya.

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

III.    SOLUSI

Untuk menyelamatkan umat dari kesesatan, penyimpangan dan degradasi kesolehan, maka semua muslim harus bersama-sama bahu-membahu dan berusaha keras untuk mengantisipasinya dengan cara sebagai berikut.

    Tarbiah imaniah

“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (al-Kahfi: 13)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (al-Ahzab: 70-71)

    Ikhlas dan jujur kepada Allah

“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quraan) dengan(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya.” (az-Zumar: 2)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan  (saja)  mengatakan :”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi. Dan sesungguhnya kami telah menguji  orang-orang  yang  sebelum  mereka, maka   sesungguhnya   Allah   mengetahui   orang-orang  yang  benar  dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3)

    Menguatkan ilmu pengetahuan

“…Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima  pelajaran.” (az-Zumar: 9)

“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujaadilah: 11)

Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya jati diri seorang pemuda, demi Allah, ada dalam  ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya.”

    Takut akan keburukan akhir hidup (su’ul khatimah)

“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi.  (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Yusuf: 101)

“Sesungguhnya amal manusia itu ditentukan pada saat akhir kehidupannya.” (HR. Ibnu Hibban)

Dikisahkan bahwa Sufyan ats-Tsauri menangis sejak malam sampai pagi, dan seseorang bertanya kepadanya, “Apakah tangisan anda ini karena dosa-dosa yang anda perbuat? Sufyan ats-Tsauri lalu mengambil sehelai merang dari tanah seraya berkata, “Dosa-dosa itu lebih ringan daripada ini. Sesungguhnya aku menangis karena takut akan akhir hayat yang buruk (su’ul khatimah)”
Oleh karena itu, dengan adanya rasa takut akan akhir hayatnya, setiap manusia muslim akan selalu berhati-hati dalam menjalani kehidupannya, dan senantiasa terus menghiasi lembaran kehidupannya dengan sejuta warna kebaikan.

    Beramal shalih secara kontinyu

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (al-Hajj: 77-78)

DAMPAK MEDIS SHOLAT TAHAJJUD

Sholat Tahajjud ternyata tak hanya membuat seseorang yang melakukannya mendapatkan tempat (maqam) terpuji di sisi Allah (Qs Al-Isra:79) tapi juga sangat penting bagi dunia kedokteran. Menurut hasil penelitian Mohammad Sholeh, dosen IAIN Surabaya, salah satu shalat sunah itu bisa membebaskan seseorang dari serangan infeksi dan penyakit kanker. Tidak percaya? Cobalah Anda rajin-rajin sholat tahajjud. “Jika anda melakukannya secara rutin, benar, khusuk, dan ikhlas, niscaya Anda terbebas dari infeksi dan kanker”. Ucap Sholeh. Ayah dua anak itu bukan ‘tukang obat’ jalanan. Dia melontarkan pernyataanya itu dalam desertasinya yang berjudul ‘Pengaruh Sholat tahajjud terhadap peningkatan Perubahan Response ketahanan Tubuh Imonologik: Suatu Pendekatan Psiko-neuroimunologi” Dengan desertasi itu, Sholeh berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu kedokteran pada Program Pasca Sarjana Universitas Surabaya, yang dipertahankannya Selasa pekan lalu. Selama ini, menurut Sholeh, tahajjud dinilai hanya merupakan ibadah salat tambahan atau sholat sunah. Padahal jika dilakukan secara kontinu, tepat gerakannya, khusuk dan ikhlas, secara medis sholat itu menumbuhkan respons ketahannan tubuh (imonologi) khususnya padaimonoglobin M, G, A dan limfosit-nya yang berupa persepsi dan motivasi positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi(coping).

Sholat tahajjud yang dimaksudkan Sholeh bukan sekedar menggugurkan status sholat yang muakkadah (Sunah mendekati wajib). Ia menitikberatkan pada sisi rutinitas sholat, ketepatan gerakan, kekhusukan, dan keikhlasan. Selama ini, kata dia, ulama melihat masalah ikhlas ini sebagai persoalan mental psikis. Namun sebetulnya soal ini dapat dibuktikan dengan tekhnologi kedokteran. Ikhlas yang selama ini dipandang sebagai misteri, dapat dibuktikan secara kuantitatif melalui sekresi hormon kortisol. Parameternya, lanjut Sholeh, bisa diukur dengan kondisi tubuh.

Pada kondisi normal, jumlah hormon kortisol pada pagi hari normalnya antara 38-690 nmol/liter. Sedang pada malam hari-atau setelah pukul 24:00 normalnya antara 69-345 nmol/liter. “Kalau jumlah hormon kortisolnya normal, bisa diindikasikan orang itu tidak ikhlas karena tertekan. Begitu sebaliknya. Ujarnya seraya menegaskan temuannya ini yang membantah paradigma lama yang menganggap ajaran agama (Islam) semata-mata dogma atau doktrin. Sholeh mendasarkan temuannya itu melalui satu penelitian terhadap 41 responden sisa SMU Luqman Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya. Dari 41 siswa itu, hanya 23 yang sanggup bertahan menjalankan sholat tahajjud selama sebulan penuh. Setelah diuji lagi, tinggal 19 siswa yang bertahan sholat tahjjud selama dua bulan. Sholat dimulai pukul 02-00-3:30 sebanyak 11* rakaat, masing masing dua rakaat empat kali salam plus tiga rakaat. Selanjutnya, hormon kortisol mereka diukur di tiga laboratorium diSurabaya (paramita, Prodia dan Klinika). Hasilnya, ditemukan bahwa kondisi tubuh seseorang yang rajin bertahajjud secara ikhlas berbeda jauh dengan orang yang tidak melakukan tahajjud. Mereka yang rajin dan ikhlas bertahajud memiliki ketahanan tubuh dan kemampuan individual untuk menaggulangi masalah-masalah yang dihadapi dengan stabil. “Jadi sholat tahajjud selain bernilai ibadah, juga sekaligus sarat dengan muatan psikologis yang dapat mempengaruhi kontrol kognisi. Dengan cara memperbaiki persepsi dan motivasi positif dan coping yang efectif, emosi yang positif dapat menghindarkan seseorang dari stress,” Nah, menurut Sholeh, orang stress itu biasanya rentan sekali terhadap penyakit kanker dan infeksi. Dengan sholat tahajjud yang dilakukan secara rutin dan disertai perasaan ikhlas serta tidak terpaksa, seseorang akan memiliki respons imun yang baik, yang kemungkinan besar akan terhindar dari penyakit infeksi dan kanker. Dan, berdasarkan hitungan tekhnik medis menunjukan, sholat tahajjud yang dilakukan seperti itu membuat orang mempunyai ketahanan tubuh yang baik. Sebuah bukti bahwa keterbatasan otak manusia tidak mampu mengetahui semua rahasia atas rahmat, nikmat, anugrah yang diberikan oleh ALLAH kepadanya. Haruskah kita menunggu untuk bisa masuk diakal kita?

Seorang Doktor di Amerika telah memeluk Islam karena beberapa keajaiban yang di temuinya di dalam penyelidikannya. Ia amat kagum dengan penemuan tersebut sehingga tidak dapat diterima oleh akal fikiran. Dia adalah seorang Doktor Neurologi. Setelah memeluk Islam dia amat yakin pengobatan secara Islam dan oleh sebab itu ia telah membuka sebuah klinik yang bernama “Pengobatan Melalui Al Qur’an” Kajian pengobatan melalui Al-Quran menggunakan obat-obatan yang digunakan seperti yang terdapat didalam Al-Quran. Di antara berpuasa, madu, biji hitam (Jadam) dan sebagainya.

Ketika ditanya bagaimana dia tertarik untuk memeluk Islam maka Doktor tersebut memberitahu bahwa sewaktu kajian saraf yang dilakukan, terdapat beberapa urat saraf di dalam otak manusia ini tidak dimasuki oleh darah. Padahal setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup untuk berfungsi secara yang lebih normal. Setelah membuat kajian yang memakan waktu akhirnya dia menemukan bahwa darah tidak akan memasuki urat saraf di dalam otak tersebut melainkan ketika seseorang tersebut bersembahyang yaitu ketika sujud. Urat tersebut memerlukan darah untuk beberapa saat tertentu saja. Ini artinya darah akan memasuki bagian urat tersebut mengikut kadar sembahyang 5 waktu yang di wajibkan oleh Islam.

Begitulah keagungan ciptaan Allah. Jadi barang siapa yang tidak menunaikan sembahyang maka otak tidak dapat menerima darah yang secukupnya untuk berfungsi secara normal. Oleh karena itu kejadian manusia ini sebenarnya adalah untuk menganut agama Islam “sepenuhnya” karena sifat fitrah kejadiannya memang telah dikaitkan oleh Allah dengan agamanya yang indah ini.

Kesimpulannya: Makhluk Allah yang bergelar manusia yang tidak bersembahyang apalagi bukan yang beragama Islam walaupun akal mereka berfungsi secara normal tetapi sebenarnya di dalam sesuatu keadaan mereka akan hilang pertimbangan di dalam membuat keputusan secara normal. Justru itu tidak heranlah manusia ini kadang-kadang tidak segan-segan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan fitrah kejadiannya walaupun akal mereka mengetahui perkara yang akan dilakukan tersebut adalah tidak sesuai dengan kehendak mereka karena otak tidak bisa untuk mempertimbangkan secara lebih normal. Maka tidak heranlah timbul bermacam-macam gejala-gejala sosial masyarakat saat ini.

BID’AH DALAM AGAMA

Menurut bahasa kata “bid’ah” berarti  segala sesuatu yang baru, yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan menurut pengertian syar’iy bid’ah berarti :sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama tetapi dianggap sebagai bagian ajaran agama, biasanya dengan menambahkan atau mengurangi ajaran agama yang sudah ada.
Ar Rabi’ meriwayatkan dari As Syafi’i yang mengatakan bahwa bid’ah itu ada dua macam, pertama sesuatu yang baru dan bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Kedua sesuatu yang baru dan tidak bertentangan dengan konsep sebelumnya.

Dalil-dalil yang banyak membicarakan tentang bid’ah antara lain :
1.    Hadits Aisyah ra. Rasulullah bersabda “Hal yang mengada-ada dalam urusanku, yang tidak ada perintahku, maka hal itu akan tertolak”. Muttafaq alaih
2.    Hadits Jabir bin Abdullah, yang menceritakan bahwa pernah Rasulullah berkhutbah dan menyatakan :”Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW. Dan seburuk-buruk urusan adalah yang baru, dan setiap bid’ah adalah sesat” HR Ahmad.
3.    Hadits Irbadh ibn Sariyah yang menceritakan: Suatu hari Rasulullah SAW shalat bersama kami, lalu ia menghadapi kami dan menasehati kami dengan nasehat yang melelehkan air mata, menggetarkan hati. Berkatalah salah seorang dari kami: “Ya Rasulullah sepertinya ini adalah nasehat perpisahan, maka apa yang akan engkau pesankan untuk kami? Sabda Nabi: “Aku wasiatkan kalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan mentaati kepada pemimpin kalian, meskipun ia adalah budak hitam. Maka sesungguhnya barang siapa yang akan hidup berumur panjang, pasti akan menyaksikan perselisihan yang banyak, maka tetaplah kalian dalam sunnahku, sunnah khalifah rasyidin yang mendapatkan hidayah. Peganglah dan gigitlah dengan gigi taringmu. Dan waspadalah dengan hal-hal baru, karena setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat”. An Nasa’iy menambahkan: “ dan setiap bid’ah akan masuk neraka.” HR Ahlussunan.

Penyebab Lahirnya Bid’ah
Bid’ah dalam agama lahir disebabkan oleh banyak sebab. Secara global penyebab itu dapat dikategorikan dalam dua kelompok: penyebab intern dan ekstern.
1.    Penyebab-penyebab intern
a.    Ketidak tahuan terhadap Sunnah Nabi
b.    Keinginan untuk berbuat baik yang berlebihan
c.    Ketakutan kepada Allah yang berlebihan
d.    Mengikuti syetan
e.    Mencari dan mempertahankan kedudukan
f.    Adanya pendapat yang memperbolehkan taqlid (mengekor dalam beramal tanpa mengetahui dalil)
g.    Pengalihan belajar Al Qur’an dan Sunnah pada pendapat ulama dan fuqaha (ahli fiqh).
h.    Syubhat (ketidak jelasan) antara bid’ah dan al mashalih al mursalah ( kebaikan yang tidak disebutkan dalam tekstual dalil syar’iy)
2.    Penyebab-penyebab ekstern
Penyebab ekstern munculnya bid’ah adalah rekayasa dari luar yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam seperti yang dilakukan kaum zindiq (kafir ateis) dengan menyebarkan pemikiran dan pemahaman yang merusak akidah dan konsep Islam, seperti pengkultusan kepada orang-orang shalih, atau penghentian pemberlakuan syariah Islam, sehingga umat Islam mencari alternatif syariah lainnya.

Secara umum bid’ah adalah perbuatan dosa yang haram dikerjakan. Hal ini dapat kita perhatikan dari dalil-dalil yang menerangkan tentang bid’ah sebagaimana tersebut di atas. Meski begitu tingkatan haramnya berbeda-beda sebagaimana tingkatan maksiyat yang lain.
Hukum bid’ah dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu bid’ah kabirah (besar) dan bid’ah  shaghirah (kecil).
1.    Bid’ah Shaghirah
Bid’ah Shaghirah adalah bid’ah yang terjadi pada masalah furu’iyyah (cabang), karena adanya syubhat (ketidak jelasan) dalil. Bid’ah ini akan terus kecil jika:
a.    tidak menjadi bentuk kebiasaan (mudawamah)
b.    tidak mengajak orang lain mengikutinya
c.    tidak melakukannya di tempat umum, atau tempat pelaksanaan sunnah mu’tabarah (diakui)
d.    tidak dianggap remeh.
2.    Bid’ah Kabirah
Bid’ah Kabirah adalah bid’ah yang terjadi pada masalah-masalah pokok, tidak pada masalah furu’iyyah, pelakunya diancam dengan ancaman Al Qur’an maupun As Sunnah. Sebagaimana tingkatan bobot yang ada dalam dosa besar, begitu juga perbedaan tingkatan dalam bid’ah kabirah. Bahkan ada yang membuat pelakunya menjadi kufr.

c.    Macamnya
Macam bid’ah dapat dikelompokkan dalam kelompok-kelompok  berikut ini :
1.    Bid’ah Haqiqah (asli)
Bid’ah Haqiqah adalah sesuatu yang baru dan sama sekali tidak ada dalil syar’inya, baik dalam Al Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’. Tidak ada istidlal (petunjuk dalil) yang digali oelh para ulama mu’tabar.

2.    Bid’ah Idlafiyyah (tambahan)
Bid’ah Idlafiyyah adalah sesuatu yang secara prinsip memiliki dasar syar’iy, tetapi dalam penjelasan dan operasionalnya tidak berdasar dalil syar’iy.
a.    Dari sisi waktu seperti :shalat, raghaib, shalat nisfu sya’ban. Secara prinsip shalat malam diajarkan dalam agama, tetapi pembatasan waktu dan kerangka tertentu inilah yang tidak ditemukan dalil syar’inya.
b.    Dari sisi penyimpangan prinsip, seperti Talhin (lagu) dalam adzan. Adzannya sendiri diajarkan dalam agama, tetapi melagukan adzan dalam nada tertentu menjadi bid’ah
c.    Dari sisi sifat pelaksanaan, seperti : mengeraskan dzikir dan bacaan Al Qur’an di hadapan jenazah. Dzikir dan tilawah Al Qur’an adalah ibadah yang masyru’, tetapi pelaksanaannya di hadapan jenazah menjadi lain.
Penolakan pada bid’ah kelompok ini adalah sikap penolakan pada kaifiyah (cara), bukan pada prinsipnya.

3.    Bid’ah Tarkiyyah (meninggalkan)
Bid’ah Tarkiyyah adalah sikap meninggalkan perbuatan halal dengan menganggap bahwa sikapnya itu tadayyun (kesalihan beragama). Sikap ini bertentangan dengan konsep syari’ah secara umum. Seperti yang pernah diajukan oleh tiga orang yang bertanya tentang ibadah Nabi, lalu masing-masing dari tiga ini berjanji untuk meninggalkan sesuatu yang halal dengan tujuan agar lebih shalil dalam beragama. Sehingga keluar pernyataan Nabi: …barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka ia bukanlah dari ummatku”. Muttafaq alaih

4.    Bid’ah  Iltizam dengan Ibadah Muthlaqah (mewajibkan diri dengan ibadah yang bebas )
Bid’ah Iltizam adalah pembatasan diri pada syari’ah yang mutlak, dengan waktu atau tempat tertentu. Syari’ah yang mutlak itu bisa berupa ucapan, perbuatan. Seperti bershalawat Nabi, dsb. Secara prinsip bershalawat diajarkan agama dan diperintahkan untuk banyak melakukannya, kecuali yang dibaca pada shalat. Bid’ah dalam hal ini muncul ketika ada pembatasan waktu atau tempat tertentu, tidak bisa dilakukan di luar waktu atau tempat yang telah ditentukan itu.
Imam Hasan Al Banna memandang bid’ah selain bid’ah haqiqah, tidak termasuk dalam bid’ah prinsip yang menyesatkan, akan tetapi lebih merupakan keberagaman ijtihad dalam masalah furu’iyyah. Ada dalil prinsip yang menjelaskan pokok masalah, lalu muncul ijtihad dalam penerapan dan pelaksanaannya.

d.    Bahaya Bid’ah
Tersebarnya bid’ah dalam kehidupan umat akan berakibat buruk  dan akan memperlemah umat.  Akibat yang ditimbulkan antara lain :
1.    Memperlemah iman umat, karena bid’ah lebih mendasarkan pada hawa nafsu, bukan pada wahyu Allah.
2.    Menyebarkan taqlid (mengekor  tanpa mengenali dalil), karena biasanya bid’ah lebih cocok dengan hawa nafsu, bukan dengan dalil syar’iy.
3.    Tergusurnya/punah sunnah-sunnah Rasulullah, sehingga Islam tidak dikenali lagi kecuali namanya saja.

e.    Cara Menghadapinya
Menghadapai bid’ah yang menyesatkan ini, kita wajib melakukan sesutu untuk menghentikannya. Cara efektif dalam menghadapi bid’ah adalah lewat bentuk-bentuk pengingkaran/penolakan dengan hikmah (bijak), bashirah (ketajaman mata hati), dialog yang sehat dan metode-metode lain yang tidak menimbulkan bid’ah yang lebih besar dari yang hendak dihapuskan.
Metode efektif menghadapi bid’ah adalah metode yan dapat diukur tingkat pencapaiannya dengan biaya yang paling ringan dan korban yang paling minimal. Sarana dan cara menghadapi bid’ah  tidak baku dan kaku, tetapi berkembang sesuai dengan situasi, ruang dan waktu  bid’ah itu muncul.
Rasulullah saw telah memberikan teladan dalam menghadapi bid’ah dengan hikmah dan bashirah agar tidak menimbulkan bid’ah yang lebih besar lagi. Dalam ruang dan waktu yang berbeda diperlukan sikap yang berbeda. Rasulullah membedakan sikapnya dalam menghadapi bid’ah di Makkah, di Madinah dan di Makkah seusai Fathu Makkah. Hal ini bisa kita lihat dari  sikap Nabi terhadap berhala yang ada di sekitar Ka’bah, antara sebelum hijrah dan sesudah fathu Makkah. Dan  adakah yang lebih bid’ah dibandingkan dengan berhala di sekeliling Ka’bah?

BAHAYA TAKABBUR

تلك الدار الآخرة نجعلها للذين لا يريدون علوا في الأرض
ولا فسادا والعاقبة للمتقين

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS 28:83)

ولا تصعر خدك للناس ولا تمش في الأرض مرحا إن الله لا يحب كل مختال فخور

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS 31:18)

Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri”. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. Berkatalah orang- orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar”. Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS 28:78-81)

الكبر بَطْرُ الحَقِ و غَمْطُ الناس

“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan melecehkan orang.”

(HR Muslim)

حَدِيثُ حَارِثَةَ بْنِ وَهْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ قَالُوا بَلَى قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ ثُمَّ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ *

“Diriwayatkan daripada Harithah bin Wahab r.a katanya: Aku mendengar Nabi s.a.w bersabda: Inginkah kamu aku beritahu tentang ahli Syurga? Para Sahabat menjawab: Ya! Rasulullah s.a.w bersabda: Mereka semua adalah orang yang lemah dan merendah diri, seandainya mereka bersumpah kerana Allah nescaya Allah akan memperkenankannya. Kemudian baginda bersabda lagi: Inginkah kamu aku beritahu tentang ahli Neraka? Mereka menjawab: Ya! Baginda bersabda: Mereka semua adalah orang yang selalu diagung-agungkan dan bermegah-megah serta sombong .”

(HR Bukhari dan Muslim)

Kesombongan terbagi kepada batin dan zhahir. Kesombongan batin adalah perangai dalam jiwa, sedangkan kesombongan zhahir adalah amal-amal perbuatan yang lahir dari anggota badan. Apabila nampak di dalam anggota badan maka disebut berlaku sombong (takabbur), tetapi apabila tidak tampak maka disebut kesombongan (kibr). Seseorang tidak bisa takabbur kecuali adanya orang lain dimana ia memandang dirinya di atas orang lain tersebut menyangkut berbagai sifat kesempurnaan. Kesombongan berbeda dari ‘ujub karena ujub tidak menuntut adanya orang lain untuk diujubi, bahkan seandainya manusia tidak diciptakan kecuali satu orang bisa saja ia menjadi orang yang ujub.

1) Definisi sombong (takabbur):

“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan melecehkan orang.”

(HR Muslim)

2) Hakikat dan keburukannya:

Kesombongan menjadi penghalang masuk sorga karena ia menghalangi seorang hamba dari semua akhlaq yang seharusnya disandang oleh seorang mu’min, sedangkan akhlaq-2 itu merupakan pintu-2 surga sedangkan kesombongan merupakan penutup pintu-2nya.

Seburuk-buruk kesombongan adalah yang menghalangi dari mendapatkan manfaat ilmu, menerima kebenaran dan mengikuti kebenaran. Perhatikan QS 39:72 dan 19:69 dan 16:22 dan Saba’:31 dan 7:146. (Lengkapnya baca “Mensucikan Jiwa” halaman 228 hingga 230)

3) Pihak yang disombongi dan tingkatannya:

Pertama: Sombong kepada Allah; merupakan bentuk kesombongan yang paling keji. Penyebabnya adalah kebodohan dan pembangkangan. Contoh: Namrud dan Fir’aun. Perhatikan QS Fathir 60 dan 4:172 dan 25:60.

Kedua: Sombong kepada para rasul; merupakan keengganan jiwa untuk mematuhi para rasul karena “hanya” berupa manusia biasa seperti diri mereka sendiri. Perhatikan QS AlMu’minun 47 dan 36:15 dan al-Mu’minun 34 dan 25:21 dan 43:53 dan 28:39 dan 43:31.

Ketiga: Kesombongan kepada hamba; yaitu dengan menganggap diri lebih terhormat dan melecehkan orang lain sehingga tidak mau patuh kepada mereka, meremehkan mereka dan tidak mau sejajar dengan mereka.

(Untuk lengkapnya butir 3 bacalah “Mensucikan Jiwa” halaman 231 hingga 233)

4) Penyebab-2nya:

1. Ilmu Pengetahuan

2. ‘Amal dan Ibadah

3. Nasab keturunan

4. Kecantikan

5. Harta kekayaan

6. Kekuatan dan keperkasaan

7. Pengikut, pendukung, murid, pembantu, keluarga, kerabat dan anak (baik kandung maupun buah)

Untuk lengkapnya bacalah “Mensucikan Jiwa” halaman 233 hingga 238.

5) Lawannya:

At-tawaadlu’. Lihat “Mensucikan Jiwa” halaman 238 hingga 242.

6) Mengobati Takabbur dan mencapai Tawadlu’

Lihat “Mensucikan Jiwa” halaman 242 hingga 245.

Merujuk kitab “Mensucikan Jiwa” karya Sa’id Hawwa, maka kita dapati dari halaman 243 hingga 245 terdapat lima bentuk pengujian diri (imtihan) yang dapat membantu seseorang mendeteksi apakah dirinya sombong atau tidak. Kelima imtihan tersebut adalah sbb:

1) Hendaklah ia mengkaji permasalahan dengan salah seorang temannya. Jika sesuatu kebenaran terungkap dari lisan temannya kemudian ia merasa berat untuk menerima, mematuhi, mengakui dan mensyukurinya atas peringatan, pemberitahuan dan pengungkapan kebenaran tersebut, maka hal itu menunjukkan bahwa di dalam dirinya ada kesombongan yang tertimbun sehingga ia harus takut kepada Allah karena adanya kesombongan tersebut dan berusaha mengobatinya.

2) Hendaklah ia mengadakan pertemuan dengan teman-teman dan handai taulan di dalam berbagai acara kemudian mendahulukan mereka atas dirinya, berjalan di belakang mereka, dan duduk di bangku depan di bawah mereka. Jika ia merasa keberatan terhadap hal tersebut berarti ia orang yang sombong, sehingga ia harus senantiasa membiasakan dengan paksa pengujian tersebut hingga rasa berat itu hilang dari dirinya. Dengan demikian kesombongan akan terkikis.

3) Hendaklah ia memenuhi undangan orang miskin dan berjalan ke pasar untuk membantu keperluan orang-orang miskin dan kerabat. Jika ia merasa berat melakukannya maka hal itu adalah kesombongan, karena poerbuatan-perbuatan tersebut termasuk akhlaq yang mulia dan berpahala besar, sehingga keengganan jiwa untuk melakukannya tidak lain adalah karena kotoran yang ada di dalam batin.

4) Hendaklah ia membawa sendiri keperluan dirinya, keperluan keluarganya dan kawan-kawannya dari pasar ke rumah. Jika jiwanya enggan melakukannya maka hal itu adalah kesombongan atau riya. Jika ia merasa berat sekalipun di jalan yang sepi maka hal itu adalah kesombongan, tetapi jika ia merasa berat melakukannya kecuali disaksikan banyak orang maka hal itu adalah riya. Semua itu termasuk penyakit hati yang membinasakannya jika tidak segera disusuli dengan pengobatan.

5) Hendaklah ia (sekali-sekali) memakai pakaian yang murahan dan kasar, karena keengganan jiwa terhadapnya di hadapan umum merupakan riya dan di tempat sepi merupakan kesombongan

Kaderisasi Organisasi

Kaderisasi merupakan hal penting bagi sebuah organisasi, karena merupakan inti dari kelanjutan perjuangan organisasi ke depan. Tanpa kaderisasi, rasanya sangat sulit dibayangkan sebuah organisasi dapat bergerak dan melakukan tugas-tugas keorganisasiannya dengan baik dan dinamis. Kaderisasi adalah sebuah keniscayaan mutlak membangun struktur kerja yang mandiri dan berkelanjutan. Fungsi dari kaderisasi adalah mempersiapkan calon-calon (embrio) yang siap melanjutkan tongkat estafet perjuangan sebuah organisasi. Kader suatu organisasi adalah orang yang telah dilatih dan dipersiapkan dengan berbagai keterampilan dan disiplin ilmu, sehingga dia memiliki kemampuan yang di atas rata-rata orang umum. Bung Hatta pernah menyatakan kaderisasi dalam kerangka kebangsaan, “Bahwa kaderisasi sama artinya dengan menanam bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya harus menanam.”
Dari sini, pandangan umum mengenai kaderisasi suatu organisasi dapat dipetakan menjadi dua ikon secara umum. Pertama, pelaku kaderisasi (subyek). Dan kedua, sasaran kaderisasi (obyek). Untuk yang pertama, subyek atau pelaku kaderisasi sebuah organisasi adalah individu atau sekelompok orang yang dipersonifikasikan dalam sebuah organisasi dan kebijakan-kebijakannya yang melakukan fungsi regenerasi dan kesinambungan tugas-tugas organisasi. Sedangkan yang kedua adalah obyek dari kaderisasi, dengan pengertian lain adalah individu-individu yang dipersiapkan dan dilatih untuk meneruskan visi dan misi organisasi. Sifat sebagai subyek dan obyek dari proses kaderisasi ini sejatinya harus memenuhi beberapa fondasi dasar dalam pembentukan dan pembinaan kader-kader organisasi yang handal, cerdas dan matang secara intelektual dan psikologis.
Sebagai subyek atau pelaku, dalam pengertian yang lebih jelas adalah seorang pemimpin. Bagi Bung Hatta, kaderisasi sama artinya dengan edukasi, pendidikan! Pendidikan tidak harus selalu diartikan pendidikan formal, atau dalam istilah Hatta “sekolah-sekolahan”, melainkan dalam pengertian luas. Tugas pertama-tama seorang pemimpin adalah mendidik. Jadi, seorang pemimpin hendaklah seorang yang memiliki jiwa dan etos seorang pendidik. Memimpin berarti menyelami perasaan dan pikiran orang yang dipimpinnya serta memberi inspirasi dan membangun keberanian hati orang yang dipimpinnya agar mampu berkarya secara maksimal dalam lingkungan tugasnya. Sedangkan sebagai obyek dari proses kaderisasi, sejatinya seorang kader memiliki komitmen dan tanggung jawab untuk melanjutkan visi dan misi organisasi ke depan. Karena jatuh-bangunnya organisasi terletak pada sejauh mana komitmen dan keterlibatan mereka secara intens dalam dinamika organisasi, dan tanggung jawab mereka untuk melanjutkan perjuangan organisasi yang telah dirintis dan dilakukan oleh para pendahulu-pendahulunya. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam hal kaderisasi adalah potensi dasar sang kader. Potensi dasar tersebut sesungguhnya telah dapat dibaca melalui perjalanan hidupnya. Sejauh mana kecenderungannya terhadap problema-problema sosial lingkungannya.

Jadi, di sana ada semacam landasan berfikir atau filosofi kaderisasi yang harus mendapatkan porsi perhatian oleh setiap organisasi/pergerakan. Yaitu: harus ditemukan upaya mencari bibit-bibit unggul dalam kaderisasi. Subyek harus mampu menawarkan visi dan misi ke depan yang jelas dan memikat, serta menawarkan romantika dinamika organisasi yang menantang bagi para kader yang potensial, sehingga mereka dengan senang hati akan terlibat mencurahkan segenap potensinya dalam kancah organisasi. Untuk dapat menjalankan peran tersebut, maka organisasi atau sebuah pergerakan harus terlebih dahulu mematangkan visi-misi mereka; dan termasuk sikap mereka terhadap persoalan mendesak dan aktual kemasyarakatan; serta pada saat yang sama tersedianya para pengkader yang handal, untuk menggarap bibit-bibit potensial tadi. Kader-kader potensial, setelah mereka memahami dan meyakini pandangan dan sistem yang telah diinternalisasikan, maka jiwanya akan terpacu untuk bekerja, berkarya dan berkreasi seoptimal mungkin. Maka, di sini, organisasi/pergerakan dituntut untuk dapat mengantisipasi dan menyalurkannya secara positif. Dan memang sepatutnya organisasi/pergerakan mampu melakukannya, karena bukankah yang namanya organsiasi/pergerakan berarti terobsesi progresif bergerak maju dengan satu organisasi yang efisien dan efektif, bukan sebaliknya?
Belakangan ini, sudah dimulai upaya ke arah kaderisasi yang berorientasi pada karya dan aksi sosial dalam level general, berupa penumbuhan dan stimulasi etos intelektual dan sosial. Jadi, bagaimana menggabungkan atau menemukan konvergensi yang ideal antara aktifitas berpikir (belajar) sebagai—entitas mahasiswa—dan aktifitas aksi sosial sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai tekstual-normatif. Dengan kata lain, harus ditemukan titik keseimbangan antara nilai-nilai tekstual-normatif tadi dengan realitas-kontekstualnya.
‘Alâ kulli hâl, tampaknya perlu dicermati kembali urgensi dari kaderisasi berkala yang dilakukan oleh organisasi apapun. Kaderisasi merupakan kebutuhan internal organisasi yang tidak boleh tidak dilakukan. Layaknya sebuah hukum alam, ada proses perputaran dan pergantian disana. Namun satu yang perlu kita pikirkan, yaitu format dan mekanisme yang komprehensif dan mapan, guna memunculkan kader-kader yang tidak hanya mempunyai kemampuan di bidang manajemen organisasi, tapi yang lebih penting adalah tetap berpegang pada komitmen sosial dengan segala dimensinya.
Sukses atau tidaknya sebuah institusi organisasi dapat diukur dari kesuksesannya dalam proses kaderisasi internal yang di kembangkannya. Karena, wujud dari keberlanjutan organisasi adalah munculnya kader-kader yang memiliki kapabilitas dan komitmen terhadap dinamika organisasi untuk masa depan. Wallâh-u A’lam Bi al-Shawâb

« Older entries Newer entries »