MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM

Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujzak.
Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab: 72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3),  serta fujur dan taqwa (asy-Syams: 8).

Selain itu, manusia juga diciptakan untuk mengaplikasikan beban-beban ilahiah yang mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah yang harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam mayapada memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya tidaklah untuk huru-hara dan tanpa hadaf  ‘tujuan’ yang berarti. Perhatikanlah ayat-ayat Qur`aniah di bawah  ini.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:  “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)

Manusia adalah makhluk pilihan dan makkhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT dari makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya, seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia  dengan ahsanu taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. Dengan akal yang dimilikinya, manusia  diharapkan mampu memilah dan memilih nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam risalah para  rasul. Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai dengan iradah Robbnya dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk melahirkan karya-karya besar dan tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia tetap mempertahankan gelar kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya seperti ahsanu taqwim, ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya.

Maka, dengan sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat insaniah yang berkaitan dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi khusus kepada manusia untuk menguji dan  mengetahui siapa yang jujur dalam beriman dan dusta dalam beragama.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan  (saja)  mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji  orang-orang  yang  sebelum  mereka, maka   sesungguhnya   Allah   mengetahui   orang-orang  yang  benar  dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3).

Oleh karena itu, ia harus benar-benar mampu menjabarkan kehendak-kehendak ilahiah dalam setiap misi dan risalah yang diembannya.

II.    RISALAH INSAN

1. Manusia dan Misi

Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus: misi utama; misi fungsional; dan misi operasional.

A. Misi Utama

Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45).
Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang dijadikan  satu-satunya tujuan penciptaannya.
Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).
Hal ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan, dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka) yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.
Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32)

•    Sabiqun bil khairat

Hamba Allah SWT yang termasuk dalam kategori ini adalah hamba yang tidak hanya puas melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Akal sehatnya menerawang jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif. Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan, dan kepasrahan kepada Allah SWT.

•    Muqtashidun

Hamba Allah yang masuk dalam kategori ini adalah manusia muslim yang puas ketika mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya, tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang dimakruhkan.

•    Dzalimun linafsihi

Hamba yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang masih mencampuradukkan antara hak dan batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah Allah SWT, ia juga masih sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada dua kekuatan yang mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih dominan,  dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.
“Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat mujarab dab terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali al-Mawardy)

Apabila manusia mengikuti libido, mengekor nafsu angkara murka, dan menjadi budak syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah ‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah ‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin ‘tempat yang paling rendah’, al-an’aam ‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri. Inilah manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60, al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)

Ali bin Abu Thalib ra. berkata, “Ada dua masalah yang saya takutkn menimpa kamu. Pertama, mengikuti hawa nafsu. Kedua, banyak menghayal. Karena, yang pertama akan menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua mengakibatkan lupa akan akhirat.”
Sebagian ahli hikmah berkata, “Akal merupakan teman setia, dan hawa nafsu adalah musuh yang ditaati.”
Sebagian ahli hikmah yang lain berkata, “Hawa nafsu adalah raja yang bengis dan penguasa yang lalim.” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya)

B. Misi Fungsional

Selain misi utama yang harus diemban manusia, ia juga mempunyai misi fungsional sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di atas rel-rel robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah ‘kekuasan’, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah ‘binatang ternak’.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah)
Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah, maka ia akan mempertahankan kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27  dan Shaad: 26).
Adapun ketika jiwa manusia terbelenggu oleh syahwat syaithaniah dan bahaimiah, maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan  menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat.

C. Misi Operasional

Manusia diciptakan di bumi ini—selain untuk beribadah dan sebagai khalifah,  juga harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi (ar-Ruum: 41). Oleh karena itu, bumi ini membutuhkan pengelola dari manusia-manusia yang ideal. Manusia yang memiliki sifat-sifat luhur sebagaimana disebutkan di bawah ini.

    Syukur  (Luqman: 31)
    Sabar  (Ibrahim: 5)
    Mempunyai belas kasih  (at-Taubah: 128)
    Santun  (at-Taubah: 114)
    Taubat  (Huud: 75)
    Jujur  (Maryam: 54)
    Terpercaya  (al-A’raaf: 18)

Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu mengendalikan nafsu dan menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya,  diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya. Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

PROBLEMATIKA UMMAT ISLAM

Setiap muslim harus dapat memahami dengan benar nilai-nilai yang terkandung dalam Dinul Islam serta menghayatinya. Selanjutnya, ia harus mampu mengimplementasikan nilai-nilai tersebut ke dalam seluruh ruang kehidupannya. Ia harus tunduk dan menyerah kepada Allah SWT, baik lahir maupun batin, dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian, ia telah memasuki rumah Islam secara kaaffah (sempurna): tidak ada sisi kehidupannya yang tidak ia warnai dengan nilai-nilai luhur Islam. Oleh karenanya, Allah berfirman dalam sebuah ayat-Nya, sebagai berikut.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah: 208)

Di saat seorang Muslim mampu menerapkan syariat Allah dalam seluruh dimensi kehidupannya: aqidah, ibadah, akhlak, politik, ekonomi, pendidikan, militer, dan sosial budaya, maka ia menjadi salah satu dari “khairu ummat”. Ia termasuk golongan “ummatan wasathan” (umat yang selalu menegakkan nilai kebenaran dan keadilan), dan niscaya ia menjadi salah satu dari “al-Mu’minuuna haqqan” (manusia-manusia Mukmin yang sebenarnya). Inilah identitas seorang muslim apabila telah mampu menyerap seluruh nilai-nilai Islam dalam ruang kehidupannya. Perhatikanlah beberapa ayat Allah di bawah ini.

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.…” (al-Baqarah: 143)

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.…” (Ali ‘Imran: 110)

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.” (al-Anfaal: 74)

Di sini, seorang Muslim memiliki izzah (kemuliaan) dan kekuatan di hadapan manusia-manusia lain. Sebab, izzatul-Islam dan kemuliaan kaum Muslimin tidak mungkin dicapai kecuali dengan kembali kepada ajaran Islam itu sendiri, yaitu dengan mengaplikasikan nilai-nilainya dalam setiap dimensi kehidupan. Umar bin Khaththab r.a. berkata, “Kami dahulu adalah kaum yang paling hina, lalu Allah menjadikan kami mulia dengan Islam. Jadi, manakala kita mencari kemuliaan dengan selainnya, yang Allah menjadikan kita mulia dengannya, maka Allah tentu akan menjadikan kita hina” (dikeluarkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan disepakati pula oleh adz-Dzahabi dalam Talkhis-nya).
Namun fenomena indah yang digambarkan ayat-ayat Allah di atas, dewasa ini semakin tidak nampak, cahaya keindahan nilai-nilai Islam dari ke hari semakin redup dan bahkan sirna sama sekali dan menghilang dari ruang kehidupan ummat. Ummat mulai kehilangan arah tujuan hidup dan bahkan sebagian mereka telah menggantikan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai jahiliah.
Di sisi lain, virus-virus moral, budaya dan tsaqofah islamiah yang pernah diwariskan para orientalis dan penjajah masih tumbuh kuat dalam jiwa ummat ini. Dan nilai-nilai ini terus mengakar dalam kehidupan ummat sampai saat ini. Begitu juga kekuatan-kekuatan musuh Islam skala internasional seperti Fremansory, Lion Club, Rotary Club dan LSM-LSM lain yang memiliki tujuan membrangus nilai-nilai Islam terus bergerak ke jantung ummat. Sementara ummat semakin asing dengan nilai-nilai agamanya sendiri dan tidak berdaya berhadapan dengan tantangan-tantangan global.
Oleh karenanya, untuk mengantisipasi merebaknya virus-virus ummat dan gerakan musuh-musuh Islam, kita bisa memulainya dengan meyakini kembali nilai-nilai kebenaran Islam dan menyerapnya ke dalam seluruh ruang kehidupan. Dengan keyakinan ini, diharapkan dalam diri kita lahir kembali kesadaran penuh tentang agama ini, dan selanjutnya bertebaran buah amal islami di bumi kehidupan kita.

II.    PERSOALAN INTERNAL UMMAT

Problem yang dihadapi ummat Islam dewasa ini meliputi seluruh dimensi kehidupan. Persoalan-persoalan inilah yang mengakibatkan ummat mengalami stagnasi dalam segala bidang dan akhirnya sangat mudah ummat Islam terjebk dalam jaring-jaring persengkongkolan atau konspirasi musuh-musuh Islam. Keloyoan, kelemahan dan keterbelakangan yang ada dalam tubuh ummat Islam dewasa ini menyebabkan mereka tidak merasa memeliki izzah kembali dengan nilai-nilai luhur yang pernah dipegang oleh Salaf sholeh sebelumnya. Persoalan dan problematika ummat saat ini bisa kita konklusikan dalam beberapa point-point berikut ini;

•    Iman

Apabila manusia muslim imannya lemah ia tidak akan pernah merasakan nikmatnya iman tersebut. Ia senantias terombang-ambing dalam panggung kehidupannya dan ia tidak memiliki jati diri lagi sebagai muslim yang sebenarnya. Sebaliknya manusia muslim yang memiliki kekuatan iman yang sebenarnya bukan hanya sebatas keyakinan saja, ia akan mersa ketentraman, kedamaian, percaya diri dan bahkan mampu melukiskan karya-karya besar dalam kanvas kehidupannya. Dan inilah hamba-hamba Allah yang dijanjikan mewarisi bumiNya. Perhatikan ayat-ayat berikut ini;

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(an-Nuur: 55)

“Yang selalu merasakan nikmat iman dalah orang rela menjadikan Allah sebagai Robb, menjadikan Islam sebagai agama dan Muhamad sebagai Nabi.” (HR. Muslim)

“Tiga perkara yang dimana seseorang memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman, Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari pada yang lain, Seorang yang mencintai orang lain, ia tidak mencintainya kecuali Allah dan orang yang benci dikembalikan ke dalam kekufuran sebgaimana ia benci dilemparkan ke dlam api neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

•    Ibadah dan Akhlak

Melemahnya ibadah dan akhlak di kalangan ummat Islam akan mengakibatkan ketidakberdayaan ummat mempertahankan eksistensi dirinya di dunia ini. Padahal setiap ibadah yang diwajibkan Islam kepada ummatnya mengandung nilai-nilai filosofis yang tinggi dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Perhatikan beberapa ayat-ayat Allah SWT berikut ini;

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab  (Al  Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar…” (al-‘Ankabuut: 45)

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (al-Hajj: 77)

“Umar bin Khattab ra berkata dalam suratnya kepada Amr bin al-Ash, “Wahai Amr, sesungguhnya kita hanya dapat menglahkan orang-orang kafir itu karena ketakwaan kita dan kekafiran mereka. Maka ketika kita berdosa kepada Allah, tiada lagi sumber kemenangan yang kita miliki, sebab-sebab orang-orang kafir selalu melebihi kita dalam sarana perang dan jumlah pasukan. Maka, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa.”
Jauhnya generasi muda Islam dari agamanya merupakan cita-cita tinggi yang diimpikan oleh para orientalis yang notabane menjadi musuh-musuh besar Islam. Samuel Zweimer, Direktur organisasi missi pada konferensi para misionaris di kota Al-Quds tahun 1935 berkata, “Misi utama yang dibebankan negara-negara Kristen kepada kita bukanlah menjadikan kaum muslimin sebagai orang Kristen, karena hal itu adalah soal hidayah dan kemuliaan. Misi utama kita ialah mengeluarkan muslim dari ajaran Islam, agar menjadi orang yang tidak memiliki hubungan lagi dengan Allah, sehingga ia tidak mempunyai ikatan akhlak sebagai pegangan hidup umat Islam….”
Yang akhirnya mereka menyaksikan generasi-genarasi muda muslim terombang-ambing dalam dunia maya kemaksiatan, mengekor pada permainan libido yang menguasai seluruh ruang kejiwaannya dan jauh dari akhlak mulia Islam. Allah berfirman;

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

•    Sosial

Beberapa persoalan yang terus terjadi dan menghantui kehidupan social ummat adalah hilangnya persatuan, masalah seksual, narkoba, Perdagangan ABG dan kemaksiatan-kemaksiatan lain yang semakin marak dewasa ini. Perhatikan beberapa peringatan dari ayat-ayat Allah dan hadits Nabi;

“Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Anfaal: 46)

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (al-Israa’: 32)

“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (al-Maaidaah: 91)

عَنْ عَبْدِ اللهِ ْبنِِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ َيقُوْلُ يَا مَعْشَرَ اْلمُهَاجِرِيْنَ حِصَالٌ خَمْسٌ إِنْ اُبْتُلِيْتُمْ  ِبهِنَّ وَنَزَلْنَ بِكُمْ أَعُوْذُ بِا للهِ أَنْ تُدِْركُوْهُنَّ لَمْ تَظْهَرْ فَاحِشَةٌ ِفيْ قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوْا بِهَا إِلاَّ  فَشَا فِيْهِمْ اَلأَوْجَاعُ اَلَّتِي لَمْ تَكُنْ فِيْ أَسْلاَفِهِمْ ولَمْ يَنْقُصُوْا الْمِكْيَالَ وَاْلمِيْزَانَ إِلاَّ أُخِذُوْا بِالِّسِنْينَ وَشِدَّةِ اْلمُؤْنَةِ وَجَوِْر الُّسلْطَانِ وَلمْ يَنْقُضُوْا عَهْدَ اللهِ وَ عَهْدَ َرسُوْلِهِ إِلاَّ سُلِّطَ عَلَيْهِمْ اْلعَدُوُّ مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذَ بَعْضَ مَا فِيْ أَيْدِيْهِمْ ولَمْ يَمْنَُوْا زَكَاةَ أَمْوَاِلهِمْ إِلاَّ مُنِعُوْا القُطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلََوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوْا وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ إِلاَّ جُعِلَ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ رَوَاهُ التُرْمُذِيْ  وَابْنُ مَاجَةَ وَاْلَبْيَهِقْي

Dari Abdillah ibnu Umar  ra. berkata, “Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Wahai, Kaum Muhajiriin,  ada lima hal yang aku khawatirkan jika menimpa serta menguji kalian, dan aku berlindung kepada Allah semoga kalian tidak mendapatkannya. Tidaklah perzinahan merajalela pada suatu kaum hingga mereka melakukannya secara terang-terangan, kecuali akan  menyebar  penyakit-penyakit yang belum pernah terjadi pada umat yang sebelumnya, dan tidaklah mereka mengurangi timbangan dan takaran, kecuali akan ditimpa  paceklik serta mahalnya harga kehidupan ditambah dengan pemimpin yang tiran…” (HR. Turmudzi dan Ibnu Majah)

•    Pendidikan, Pembinaan, dan Dakwah

Rasulullah saw. diutus ke bumi dengan mengemban misi khusus yaitu membacakan ayat-ayat, mentazkiah dan mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada ummatnya agar mereka memahami visi dan misi kehidupannya, agar mereka melek peradaban yang ada di sekitarnya dan agar mereka menjadi saksi-saksi kebenaran dan kebaikan atas umat yang lain.
Maka ketika ta’lim dan tarbiah (pendidikan dan pembinaan) yang sesuai dengan minhaj salaf sholih tidak dilirik kembali oleh ummat Islam dan bahkan ditinggalkan sama sekali, niscaya akan muncul syubhat pemikiran di tengah-tengah ummat, merajalelanya syahwat yang mendominasi dalam kehidupan dan kebodohan mewarnai masyarakat. Inilah fenomena masyarakat muslim ketika tarbiah, ta’lim dan dakwah tidak berperan lagi dalam masyarakat sebagaimana yang diisyaratkan ayat ini;

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

Oleh karenanya, Allah menyeru kepada setiap mukmin untuk selalu melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ’Imran: 104)

•    Ilmu Pengetahuan dan Tsaqafah Islamiyah

Kekuatan yang dimiliki ummat dan kemenangan yang selalu dijanjikan Allah SWT kepada mereka, bukan hanya bertumpu pada sisi aqidah atau ibadah saja dan tanpa diiringi dengan ilmu pengetahuan Islam dan ekspansi kebaikan atau amal islami dalam kehidupannya. Namun, kekutan dan kemenangan itu tegak kokoh di atas tiga pilar yang satu sama lain tidak boleh terpisahkan yaitu, iman, ilmu dan amal (ibadah), dan saat ini, ketika ummat mulai meninggalkan tsaqafah islamiah dan ilmu pengetahuan lainnya yang bermanfaat, maka kekuatan dan kemenangan tersebut berangsur-angsur akan hilang dan pada akhirnya digantikan dengan ketidakberdayaan serta kelemahan. Sebagaimana Allah nyatakan dalam firman-Nya.

“…Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima  pelajaran.” (az-Zumar: 9)

“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujaadilah: 11)

mengenai hal ini, Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya jati diri seorang pemuda—demi Allah—ada dalam ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya.”

•    Politik dan Hukum

Dalam masalah politik dan hukum,  kita bisa merenungkan beberapa ayat Allah dan hadits nabi, sebagaimana berikut ini.

“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maa-idah: 44)

“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (al-Maa-idaah: 45)

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maa-idaah: 50)

“…Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (al-Baqarah: 85)

وَلمْ يَنْقُضُوْا عَهْدَ اللهِ وَ عَهْدَ َرسُوْلِهِ إِلاَّ سُلِّطَ عَلَيْهِمْ اْلعَدُوُّ مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذَ بَعْضَ مَا فِيْ أَيْدِيْهِمْ ولَمْ يَمْنَُوْا زَكَاةَ أَمْوَاِلهِمْ إِلاَّ مُنِعُوْا القُطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلََوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوْا وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ إِلاَّ جُعِلَ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ (رواه الترمذي)

“…Tidaklah mereka melanggar perjanjian dengan Allah  dan rasul-Nya,  kecuali mereka akan dikuasai oleh musuh dari luar  yang akan mengambil sebagaian harta yang mereka miliki, dan tidaklah mereka menahan diri dari menunaikan kewajiban zakat harta mereka, kecuali  mereka akan terhalang dari curah hujan, dan seandainya saja tidak ada binatang ternak niscaya tidak akan turun hujan kepada mereka. Adapun  selama para pemimpin mereka tidak berhukum dengan Kitab Allah, maka konflik dan pertempuran akan terjadi diantara mereka.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

•    Militer

Ummat Islam dewasa ini tidak memiliki kekuatan militer yang ditakuti dan diperhitungkan musuh-musuh Islam. Keberadaan kekuatan militer sangat diperlukan untuk meninggikan kalimat Allah dan menebarkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan di tengah-tengah manusia, sebagaimana yang terjadi pada masa-masa kejayaan Islam. Di masa itu, banyak bangsa-bangsa lain yang sangat merindukan kehadiran militer Islam di tengah-tengah mereka untuk melindungi dan mengayomi mereka, seperti kisah Sa’ad bin Abu Waqqas yang menarik pasukannya dari wilayah kekuasaannya.  Karena, wilayah itu tidak mungkin lagi dipertahankan oleh beliau dan ia mengembalikan semua upeti yang ditarik dari penduduk setempat pada waktu itu. Inilah kesan militer yang damai, menjunjung nilai keadilan dan menegakkan hak-hak rakyat
Selanjutnya, ummat kehilangan identitasnya sebagai khairu ummat, ummatan wasathan, serta syuhada ‘ala an-naas, dan sebaliknya menjadi ummat yang terbelakang dan kekuatan tidak diperhitungkan lagi oleh musuh-musuh Islam. Kekutan dan kualitas mereka bak “ghutsa” (buih) di lautan. Rasulullah bersabda dalam hadistnya.

“Nanti ummat ini akan dikepung oleh bangsa-bangsa lain. Sebagaimana orang yang makan itu mengepung nampan nasinya. Sebagian shbat bertnya: “Apakah jumlah kita sedikit pada waktu itu? Beliau menjawab: “Tidak, bahkan jumalah kamu banyak sekali pda waktu itu, akan tetapi (kualitas) kamu seperti buih, buih arus. Dan sungguh Allah akan mencabut dari jiwa musuh-musuh kamu rasa takut dari kamu. Dan selanjutnya Dia menanamkan penyakit “wahn” pada hati kamu. Sebagian sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa wahn itu? Beliau bersabda: “Hubbud dunya (cinta dunia) dan benci kematian.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)

Fenomena di atas bermuara pada kecendrungan manusia yang suka menyimpang dan berpaling dari kebenaran, watak manusia yang selalu menentang ayat-ayat Allah kerena kebodohannya dan hawa nafsu yang mendominasi kehidupannya. Hal ini sebagaimana yang jelaskan ayat-ayat quraniah berikut ini;

“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (ash-Shaff: 5)

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku)  mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya.  Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” (al-A’raaf: 146)

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada duniadan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya sepertianjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.  Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. ” (al-A’raaf: 176)

III.    PROBLEMATIKA KONTEMPORER

Problematika-problematika ummat, yang sifatnya kontemporer, bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian.

    Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di tubuh ummat.
    Penyakit ummat sebagai dampak dari penjajahan.
    Kekuatan musuh dengan gerakan “Ghazwul Fikr”.

•    Penyimpangan-penyimpangan

Penyimpangan dan kesewenang-wenangan yang terjadi dalam tubuh ummat ini, bisa disebabakan oleh kekuasan tangan-tangan besi dan tiran, bisa muncul dari sebuah kebaikan yang semu, bisa lahir dari kelompok penyeru dan para du’at yang mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi dan bisa lahir pula dari diri seorang muslim yang telah terjangkit virus-virus iaman dan moral. Hal ini bisa kita perhatikan dari beberapa Hadits Rasulullah sebagai berikut;

“Muncul masa kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian berakhir. Kemudian, muncul masa khilafah yang lurus selama masa yang Allah kehendaki, kemudian berakhir. Selanjutnya muncul raja-raja secara turun-temurun selama masa yang Allah kehendaki, kemudian berakhir. Lalu muncul masa kediktatoran selama masa yang Allah kehendaki, kemudian berakhir. Kemudian akan muncul masa kekhilafahan yang lurus kembali yang tegak di atas minhaj nubuah yang meliputi seluruh dunia.”

Hudzaifah bin al-Yaman berkata, “Semua manusia bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kebaikan, sementara aku bertanya kepada beliau tentang keburukan yang mana aku takut menemuinya. Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dulu berda dalam kejahiliaan dan keburukan, lalu Allah memberikan kepada kami kebenaran ini. Maka apakah setelah kebaikan ini akan muncul keburukan? Beliau menjawab: “Ya”. Aku bertanya kembali: “Dan apakah setelah keburukan ini akan ada kebaikan kembali? Beliau menjawa: “Ya, (akan tetapi) di dalamnya ada kerusakan.” Aku bertanya: “Apa kerusakannya?” Beliau menjawab: “Kaum yang menunjukkan dengan selain petunjukku, kamu mengenal mereka dan kamu juga mengingkarinya.” Aku bertanya kembali: “Maka apakah setelah kebaikan yang demikian ini ada keburukan lagi?” Beliau menjawab: “Ya, para da’I yang berada di pintu-pintu Jahannam, barang siapa yang meresponnya maka ia akan terjerumus di dalamnya.” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah jelaskan kepada kami sifat-sifat mereka. Beliau bersabda: “Mereka dari jenis kulit (golongan) kita dan mereka berkata dengan lisan-lisan kita.” Aku berkata: “Apa yang Engkau intruksikan kepadaku apabila menemuiku? Beliau bersabda: “Kamu harus bergabung bersama jamaatul muslimin dan imam mereka.” Aku bertanya kembali: “Kalau sekiranya tidak ada jamaah dan imam? Beliau berkata: “Jauhilah semua firqoh yang ada, meskipun kamu menggigit akar pohon sampai datangnya kematian dan kamu tetap begitu.” (HR. al-Bukhari)

وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ إِلاَّ جُعِلَ بَأْسُهُمْ بَيْنَه (رواه الترمذي)

“…ِAdapun  selama para pemimpin mereka tidak berhukum dengan Kitab Allah, maka konflik dan pertempuran akan terjadi diantara mereka.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Beberapa hadits di atas, menjelaskan kepada kita tentang fitnah, penyimpangan, dan kesewenangan yang harus dihadapi umat ini ke depan, sebagaimana disebutkan di bawah ini.
Pertama, Penguasa diktator.
Mereka muncul setelah tumbangnya Khilafah Utsmaniah pada tahun 1924, dan mereka semua menjadi boneka-boneka musuh Islam seperti Musthafa Kamal at-Taturk, yang dengan gerakan westernisasinya, dijuluki Bapak Turki, padahal ia adalah orang yang pertama kali menghancurkan pilar-pilar dan simbol-simbol Islam setelah runtuhnya Khilafah Islamiah di Turki. Selain Musthafa, ada banyak deretan nama dari para penguasa diktator ini, yaitu sebagai berikut: Jamal Abdun Nashr, Husni Mubarak, Hafidz asad, Shaddam Husain, dan beberapa penguasa lain yang saat ini memegang kekuasan di dunia Islam

Kedua, Kebaikan yang berpenyakit
Manusia-manusia munafik yang menampakkan kebaikan secara lahiriah, tetapi dalam jiwanya bersemayam kebencian, kedengkian, dan keinginan untuk merusak. Manusia-manusia ini banyak kita jumpai di tengah-tengah masyarakat muslim. Ketika mereka melakukan ekspansi kebaikan, mereka melakukannya bukan karena ikhlas untuk Allah SWT, tetapi karena kepentingan-kepentingan pribadi yang disembunyikan. Oleh karenanya, Rasulullah saw.mengomentari mereka dengan sabdanya, “Mereka berjalan tanpa petunjukku, dan tidak pernah menjalankan sunnahku.”

Ketiga, Para penyeru Neraka Jahannam
Tantangan berikutnya yang harus dihadapi ummat ini adalah muncul para da’i gadungan, yaitu da’i yang menjerumuskan umat. Mereka bukannya membimbing manusia ke jalan yang benar, jalan kebaikan, jalan persatuan dan jalan kedamaian, tetapi mengajak umat untuk berjuang mempertahankan kepentingan-kepentingan pribadi, menyeru kepada perpecahan, keonaran, dan kerusakan. Rasulullah menjuluki mereka sebagai da’i-da’i yang berada di pintu-pintu Neraka Jahannam, dan manusia-manusia yang berhati iblis, namun berjasad manusia. (Riwayat Abu al-Aswad, Fathul Baary, dan Ibnu Hajar al-Asqalani)

Keempat, Terurainya ikatan Islam

Kelima, Ditinggalkannya hukum Islam
Fenomena umat Islam sekarang ini, sangat jelas bagi kita bahwa banyak umat yang telah meninggalkan nilai-nilai ajaran agamanya baik sengaja maupun karena kebodohannya setelah tumbangnya Khilafah. Para penguasa enggan berpeganteguh pada tali-tali agama dan bahkan merasa bangga ketika menerapkan hokum-hukum produk para penjajah. Lihat hokum kita di Indonesia, bagaimana kita bisa samapai saat ini bangga dengan hokum-hukum Belanda? Logikanya, kalau hokum Belanda bisa dipakai oleh masyarakat yang mayoritas umat Islam, kenapa hokum Allah tidak pernah diuji dan diterapkan dalam kehidupan kita? Padahal para penguasa dan pejabat semenjak merdeka adalah orang-orang muslim. Sementara Allah menegaskan dalam firmanNya tentang kebenaran dan kebaikan hokum-hukumnya;

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maa-idaah: 50)

•    Penyakit umat sebagai dampak dari penjajahan

Pertama, Adanya LSM dan yayasan-yayasan sebagai musuh-musuh Islam

Sebenarnya, negara-negara Islam belum sepenuhnya keluar dari cengkeraman para negara egresor dan penjajah, seperti Indonesia, Tunisia, Siria, Mesir, dan negeri-negeri yang lainnya. Mereka masih terjajah. Tidak kah mereka membawa empat slogan yang selalu didengung-dengungkan? Yaitu, God (Tuhan atau penyebaran agama), Gold (Emas), Gospel (kekayaan), dan Glory (kejayaan). Empat tujuan ini masih mereka nikamati, meskipun mereka telah hengkang dari negeri-negeri jajahannya.
Maka meskipun secara fisik dunia Islam tidak terjajah, namun setiap dimensi kejidupan ummat masih dalam cengkeraman konspirasi mereka. Dan konspirasi mereka inilah yang dewasa ini dikerjakan oleh tangan-tangan LSM-LSM dan Yayasan-yayasan yang digerakkan oleh anak-anak muslim yang sudah dicuci otaknya dan yang didanahi oleh mereka, para penjajah. Seperti Freemansory, Rotary Club, Lion Club, LSM sosialis komunis dan yang lainnya. Mereka bergerak sesuai keinginan donatur-donatur mereka yang semuanya ingin memberangus kebenaran Islam.

Kedua, Keterbelakangan umat dari IPTEK dan industri

Setelah peperangan usai dan para penjajah hengkang dari bumi ummat Islam, namun negara-negara ketiga yang notabane negeri muslim semakin hari semakin terbelakang dan terpuruk dalam bidang iptek dan industri. Ini juga merupakan langkah-langkah strategis yang dilakukan pihak Barat dan musuh-musuh Islam yang tidak pernah ingin melihat ada satu negara muslim yang berkembang dan mengalami kemajuan. Mari kita renungkan beberapa komentar dan pernyataan para orientalis berikut ini;

    Salah seorang pejabat pada Kementerian Luar Negeri Perancis pada tahun 1952 mengatakan: “Bahaya yang sebenarnya mengancam kita adalah Islam. Untuk itu marilah kita beri apa yang dibutuhkan oleh dunia Islam serta menanamkan pada diri mereka perasaan ketidakmampuan untuk menjadi negara industri. Apabila kita lemah dalam pelaksanan strategi tersebut, maka kemungkinan besar ummat Islam mencapai kemajuan dan menjadi salah satu kekuatan raksasa di dunia untuk ke dua kalinya.”

    Bekas dictator Portugal, Salazar berkata: “Saya kuwatir akan muncul di tengah umat Islam seorang tokoh yang mampu menyatukan poyensi mereka dan mengarahkannya kepada kita.”

Mungkin kita bisa bertanya; dimanakah posisi negara-negara muslim dewasa ini? Di sasat negara-negara  modern telah berbicara tentang berbagai revolusi besar yang hendak dijalankan; revolusi teknologi, revolusi biologi (geneologi, cloning, penemuan peta gen manusia dan sejenisnya), revolusi elektronik, revolusi ruang angkasa, revolusi komunikasi, informasi dan seterusnya. Di mana posisi kita di tengah negara maju ini?

Ketiga, Paradigma berfikir yang salah

Dalam bidang pemikiran, para penjajah melahirkan antek-antek mereka dari anak-anak negeri untuk mempengerahui ummat Islam tentang cara berfikir yang benar. Mereka mengajak kembali kepada paradigma yang dimiliki oleh para penjajah tersebut bukan kembali kepada Islam. Dengan dalih mereka telah menemukan kemajuan dan sementara dunia Islam dalam kegelapan ilmu pengetahuan. Jadi mereka menyerukan genarasi-generasi muslim untuk berkiblat kepada nilai-nilai yang diyakini para penjajah. Dan nilai-nilai ini bersandarkan kepada keyakinan, filsafat dan adat istiadat yang berkembang di tengah mereka.
Bahkan kita melihat banyak dari kalangan umat ini yang bangga dengan referensi Barat dalam bidang keilmuan yang seharusnya tidak layak untuk dijadikan sebagai referensi maupun rujukan utama. Seperti dalam bidang psikologi yang mengacu kepada pendapat Sigmun Freud, bidang sosiologi dan moral.
Seharusnya, umat ini ketika menjadikan Islam sebagai referensi utama, mereka harus kembali kepada Al-Quran, Al-hadits, Ijma’, Aqwalu Sahabat, Aqwalu Tabi’in dan dalil-dalil yang dibenarkan dan diakui dalam terminology istinbat dan ijtihad.

Keempat, Krisis identitas

Dari hasil kerja para penjajah sebelum mereka meninggalkan negara-negara jajahannya adalah keterbelahan jiwa ummat dalam memegang tali Allah SWT. Mereka menjadi minder ketika disebut muslim, mereka malu dan merasa terbelakang apabila ditanyakan tentang identitas dirinya sebagai muslim. Padahal seharusnya mereka berani menunjukkan dengan jelas apa identitas mereka dan siapa mereka? Hal ini dikarenakan seorang muslim memiliki identitas yang khas, kepribadian independen dan loyalitas yang jelas. Ia adalah pemilik risalat bumi dan pemikul panji dakwah universal yang berkarekter rabbaniah, insaniah dan akhlakiah.

•    Ghazwul Fikri

Ghazwul Fikri (Invasi pemikiran) adalah sebuah sarana musuh-musuh Islam untuk membrangus nilai-nilai Islam lewat media-media mereka yang tersebar di tengah-tengah umat Islam. Seperti media cetak, elektronik dan audio visual. Bisa kita lihat pandangan pornografi di semua lini media diatas. Mulai dari iklan, film, buku, kaset dan situs yang ada di tengah-tengah ummat. Ghazul fikri ini dilakukan dengan tujuan untuk mencuci otak para generasi muslim dengan pemikiran-pemikiran yang destruktif negatif.

Target dan sasaran ghazul fikri

Adapun sasaran dan terget ghazwul fikri bisa dikonklusikan sebagai berikut.

A.    Mencegah ruh Islam tersebar ke seluruh persada bumi

    Menyebarkan berbagai kebohongan tentang syari’at Islam
    Mengangkat segi-segi kelemahan yang ada di berbagai negara Islam dan membebankannya kepada Islam
    Memberikan gambaran bahwa Islam agama kekerasan dan pertunpahan darah
    Menampilkan berbagai keistimewaan Islam sebagai kelemahannya
    Menuduh Islam merusak daya cipta dan kecerdasan pengikutnya

Inilah ungkapan-ungkapan mereka tentang Islam;

Misionaris Takly berkata, “..Kita harus menjelaskan kepada umat Islam bahwa apa yang benar di dalam Al-quran bukanlah sesuatu yang baru. Aka tetapi sesuatu yang baru di dalam Al-Quran belumlah tentu benar.”
Orientalis Perancis berkata, “Agama Muhammad adalah semacam penyakit lepra yang mewabah dan dapat memusnahkan umat manusia secara dahsiat. Siap yang menganut Islam ia akan ditimpa penyakit lemah dan malas…”
Sebagian yang lain berkata, “Kuburan Muhammad bagaikan aliran tiang listrik yang mengalirkan arus kegilaan ke dalam jiwa orang-orang Islam. Hal inilah yang menyebabkan mereka melakukan hal-hal aneh; seperti mengulang-ulang kata “Allah” tanpa batas, dan menghidupkan kebiasaan lama seperti mencaci daging bai, alcohol dan musik…”

B.    Menghancurkan Islam dari dalam

Mereka menikam Islam dari dalam dengan menggunakan budak-budak atau antek-antek mereka untuk menebarkan pemikiran-pemikiran yang negatif destruktif. Dengan menggunakan anak-anak negeri jajahan, diharapkan ghozwul fikri bisa berjalan mulus tanpa ada rintangan yang berarti. Sebagaimana yang kita saksikan dewasa ini tentang gerakan femenisme yang berkembang di berbgai negara Islam yang seolah-olah tidak rela akan kodratnya yang diciptakan beda dengan pria. Mereka mendengungkan slogan emansipasi wanita yang sesungguhnya adalah eksploitasi wanita yang berlebihan dan bertentangan dengan fitarh wanita itu sendiri.
Anehnya dalam Konferensi International Kependudukan dan Pembangunan yang diadakan di Kairo pada tahun 1994, Konferensi yang didukung oleh Barat dan PBB memutuskan sebuah resolusi yang aneh dalam membatasi jumlah penduduk dengan cara-cara sebagai berikut;

    Melegalisasi aborsi
    Mengusulkan kebebasab sex education dan sex information
    Mendorong hubungan seksual ekstra-material
    Mendukung ekonomi pasar penyebaran alat-alat kontrasepsi

IV.    SOLUSI DARI BERBAGAI PROBLEMA

Untuk menghadapi berbagai problematika umat dewasa ini, baik yang bersifat permanen dan inheren maupun yang bersifat kontemporer karena faktor eksternal, maka seluruh Umat Islam harus membangun kembali kesadaran akan agamanya dan mengaplikasikan nilai-nilainya dalam setiap dimensi kehidupannya.
Ada tiga fokus yang sangat mendasar, dimana setiap individu muslim harus memperbaiki dirinya dalam hal ini.

Pertama, Memiliki ilmu pengetahuan.

“…Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima  pelajaran.” (az-Zumar: 9)

“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujaadilah: 11)

Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya jati diri seorang pemuda—demi Allah—ada dalam  ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya.”

Kedua, Tarbiah secara kontinyu.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ’Imran: 104)

Ketiga, Berjihad sepanjang masa.

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (al-Hajj: 77-78)

Akhirnya, kita hanya bisa berdoa dan berharap semoga kita termasuk orang-orang yang memulai untuk berbenah diri dalam menghadapi berbagai problematika ummat sekarang ini. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Muraqabah dan Muhasabah

“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”.(QS. 53:32)

Ayat Allah SWT tersebut di atas benar-benar menyadarkan kita akan kelemahan dan kenistaan kita sebagai manusia yang sering kali berbuat kekhilafan. Bahwa seandainya pun kita terhindar dari dosa-dosa besar, kita pasti tak akan luput dari dosa-dosa kecil. Allah menegaskan bahwa kita jangan merasa dan mengklaim diri suci, karena Allah sajalah yang paling mengetahui siapa yang bertaqwa dan yang tidak. Sementara Allah juga tahu siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika masih berupa janin di rahim ibu kita, hingga kita dewasa. Namun Ia juga mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang luas.

Memang hanya satu insan kamil yang ma’shum, yakni Rasulullah SAW. Beliau menjalani proses pembedahan dada dan pembersihan jiwa oleh malaikat Jibril karena beliau dipersiapkan untuk mengemban tugas mulia. Namun beliau juga pernah mengatakan bahwa kalau bukan karena rahmat Allah niscaya tak akan ada yang selamat dari siksa Allah dan neraka-Nya. “Tidak juga engkau ya Rasulullah?”. “Ya, tidak juga aku”.

Selain sifat manusia yang lemah, mudah lupa, khilaf, kikir dan berkeluh kesah, penyebab terjerumusnya manusia ke dalam lembah kenistaan dan kemaksiatan adalah godaan syaithan yang gencar dari segala penjuru.

Dalam QS. Az-Zukhruf:36-37, Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan). Maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (qarin). Dan sesungguhnya syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk”.

Qarin alias syaithan yang selalu mendampingi kita, akan sukses menggoda kita, jika kita berpaling dari-Nya dan ajaran-Nya (Al-Qur’an). Sampai akhirnya kita terhalang dari jalan yang lurus dan benar. Namun ironisnya, kita tetap menyangka berada di jalan yang benar dan memperoleh petunjuk-Nya. Padahal kita sudah jauh tersesat.

Hanya Rasulullah SAW saja yang tak dapat digoda oleh Qarin. Bahkan Qarinpun tak akan mampu menyerupai Rasulullah SAW baik ketika beliau masih hidup maupun setelah meninggal dunia.

Menyadari begitu rentan dan lemahnya kita sebagai manusia dari godaan syaithan yang menyesatkan dan menghalangi kita dari ajaran Allah serta melalaikan kita dari mengingat-Nya, maka jelas pemahaman dan kesadaran muraqabah dan muhasabah adalah satu kemestian.

Pengertian Muraqabah dan Muhasabah

Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.

Sedangkan muhasabah merupakan usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Jadi Muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Raqib dan Atib sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.

Urgensi Muraqabah dan Muhasabah

Bila setiap Muslim senantiasa memuraqabahi dirinya dan menghadirkan muraqabatullah (pengawasan Allah) dalam dirinya maka ia akan selalu takut untuk berbuat kemaksiatan karena ia selalu merasa dan sadar dirinya dalam pemantauan dan pengawasan Allah.

Kemudian bila ia juga gemar memuhasabahi dirinya karena takut pada perhitungan hari akhirat, maka bisa dipastikan akan terwujud masyarakat yang aman karena semua orang sudah memiliki pengawasan melekat. Orientasi Ukhrawi membuat seseorang senantiasa memperhitungkan segala tindak-tanduknya dalam perspektif  Ukhrawi. Ia juga akan terhindar dari penyakit Wahn (cinta dunia dan takut mati), keserakahan, kezhaliman, penindasan dan kemungkaran, karena semua keburukan itu hanya akan menyengsarakannya di akhirat kelak.

Sebaliknya ia akan berusaha menanam kebajikan sebanyak mungkin (QS. 22:77) agar dapat menuai hasilnya di akhirat kelak. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah mengibaratkan bahwa dunia adalah ladang tempat menanam, bibitnya adalah keimanan dan ketaatan adalah air dan pupuknya. Sementara akhirat adalah tempat kita memetik atau menuai hasilnya, kelak.

Bila demikian keadaannya, Insya Allah akan tercipta “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur” (negeri yang baik, berkah dan dalam ampunan Allah) yang bukan sekedar slogan. Selain tercipta kemaslahatan dalam scope atau ruang lingkup negeri, Insya Allah akan tercipta pula kemaslahatan di ruang lingkup dunia internasioanal bila para Muslimnya dengan kualitas seperti itu mampu menjadi “Ustadziatul ‘alam” (soko guru dunia). Hanya dengan bimbingan dan arahan para ustadziatul ‘alam yang sekaligus khalifatullah fil ardhi sajalah, dunia akan terbebas dari bencana, kerusakan dan kemurkaan Allah (QS. 2:10-11, 30:41).

Namun bila para Muslim tetap mengekor musuh-musuh Allah yang membenci Al-Qur’an (QS. 47:25-26) maka bahaya kemurtadan massal menghadang di depan mata dan tetap saja yahudi la’natullah alaihim yang memegang supremasi dan mengendalikan dunia serta terus menimbulkan kerusakan dan menumpahkan darah.

Tahapan-tahapannya

Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting kita jalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan kita dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.

1. Mu’ahadah.

Mu’ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah SWT di alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”.(QS. 7:172)

Dengan bermu’ahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita tidak keluar dari kerangka perjanjian dan kesaksian kita.

Dan kita hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita tak hanya lahir suci (HR. Bukhari-Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan pada Al-haq dengan syahadah di alam ruh tersebut sehingga tentu saja kita tak boleh merubah atau mencederainya (QS. 30:30)

2. Muraqabah.

Setelah bermu’ahadah, seyogyanyalah kita bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang selalu memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian tersebut atau tidak.

Penjelasan yang detail tentang muraqabah diuraikan dalam bagian tersendiri, karena tulisan ini memang menitikberatkan pada pembahasan tentang muraqabah dan muhasabah.

3. Muhasabah.

Muhasabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal shaleh yang kita lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Penjabaran lebih detail tentang muhasabah juga ada pada bagian tersendiri.

4. Mu’aqabah.

Selain mengingat perjanjian (mu’ahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka tak ada salahnya kita menganalogikan mu’aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.

5. Mujahadah

Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi SAW yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.

Ternyata Kaab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.

Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajjudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah r.a bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang”. Beliau menjawab. “Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran?”.

6. Mutaba’ah.

Terakhir kita perlu memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.

Muraqabah

Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat ‘waskat’ (pengawasan melekat atau built in control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti dalam untaian ayat-ayat Allah berikut ini:

“…Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. 57:4), “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.(QS. 50:16), “Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.(QS. 6:59)

(Luqman berkata) : “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.(QS. 31:16)

Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi SAW bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.

Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. 9:40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita” ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”.

Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah. Yakni ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal ’afiat karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin dengan izin dan kehendak-Nya.

Muhasabah

Muhasabah atau menghisab, menghitung atau mengkalkulasi diri adalah satu upaya bersiap-siaga menghadapi dan mengantisipasi yaumal hisab (hari perhitungan) yang sangat dahsyat di akhirat kelak.

Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri, memperhatikan bekal apa yang dipersiapkannya untuk hari esok (kiamat). Bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. 59:18). Persiapan diri yang dimaksud tentu saja membekali diri dengan taqwa kepada karena di sisi Allah bekal manusia yang paling baik dan berharga adalah taqwa.

Umar r.a pernah mengucapkan kata-katanya yang sangat terkenal: “Haasibu anfusakum qabla antuhasabu” (Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab).

Allah SWT juga menyuruh kita bergegas untuk mendapat ampunan-Nya dan syurga-Nya yang seluas langit dan bumi, diperuntukkan-Nya bagi orang-orang yang bertaqwa.(QS 3:133)

Begitu pentingnya kita melakukan muhasabah sejak dini secara berkala karena segala perkataan dan perbuatan kita dicatat dengan cermat oleh malaikat Raqib dan Atid dan akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah.( QS. 50:17-18). Setiap kebaikan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi ganjaran dan keburukan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi balasan berupa azab-Nya.(QS. 99:7-8)

Bila kita mengingat betapa dahsyatnya hari penghisaban, perhitungan dan pembalasan, maka wajar sajalah jika kita harus mengantisipasi dan mempersiapkan diri sesegera, sedini dan sebaik mungkin.

Dalam QS. 80:34-37, tergambar kedahsyatan hari itu ketika semua orang berlarian dari saudara, kerabat, sahabat, ibu dan bapaknya serta sibuk memikirkan nasibnya sendiri. Hari di mana semua manusia pandangannya membelalak ketakutan, bulan meredup cahayanya, matahari dan bulan dikumpulkan, manusia berkata: “Kemana tempat lari?. Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu saja pada hari itu tempat kembali”.(QS. 75:7-12)

Ummul Mu’minin Aisyah r.a bertanya kepada Rasulullah SAW apakah manusia tidak malu dalam keadaan telanjang bulat di padang mahsyar. Rasulullah SAW menjawab bahwa hari itu begitu dahsyat sampai-sampai tidak ada yang sempat melihat aurat orang lain.

Rasulullah SAW juga pernah bersabda bahwa ada 7 golongan yang akan mendapat naungan/perlindungan Allah di mana di hari tidak ada naungan/perlindungan selain naungan/perlindungan Allah (Yaumul Qiyamah atau Yaumul Hisab). Ketujuh golongan itu adalah Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah SWT, pemuda yang lekat hatinya dengan masjid, orang yang saling mencintai karena Allah; bertemu dan berpisah karena Allah, orang yang digoda wanita cantik lagi bangsawan dia berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”, orang yang bersedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya (secara senbunyi-sembunyi) dan orang yang berkhalwat dengan Allah di tengah malam dan meneteskan airmata karena takut kepada Allah.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang pertama dihisab adalah mereka yang berjihad, berinfaq dan beramal shaleh (QS. 22:77, 2:177). Kemudian sabda Rasulullah SAW di hadits lainnya: “Ada 70.000 orang akan segera masuk surga tanpa dihisab”. “Do’akan aku termasuk di dalamnya, ya Rasulullah!”, mohon Ukasyah bersegera. “Ya, Engkau kudo’akan termasuk di antaranya”, sahut Nabi SAW. Ketika sahabat-sahabat yang lain meminta yang serupa, jawab Nabi SAW singkat, “Kalian telah didahului oleh Ukasyah”. “Siapa mereka itu ya Rasulullah?”, tanya sahabat. “Mereka adalah orang yang rajin menghisab dirinya di dunia sebelum dihisab di akhirat”. Subhanallah.

Di riwayat lain dikisahkan bahwa orang-orang miskin bergerombol di depan pintu surga. Ketika dikatakan kepada mereka agar antri dihisab dulu, orang-orang miskin yang shaleh ini berkata, “Tak ada sesuatu apapun pada kami yang perlu dihisab”.

Dan memang ada 3 harta yang tak akan kena hisab yakni: 1 rumah yang hanya berupa 1 kamar untuk bernaung, pakaian 1 lembar untuk dipakai dan 1 porsi makanan setiap hari yang sekedar cukup untuk dirinya. Maka orang-orang miskin itupun dipersilakan masuk ke surga dengan bergerombol seperti kawanan burung.

Betapa beruntungnya mereka semua padahal hari penghisaban itu begitu dahsyatnya sampai banyak yang ingin langsung ke neraka saja karena merasa tak sanggup segala aibnya diungkapkan di depan keseluruhan umat manusia. Apalagi tak lama kemudian atas perintah Allah, malaikat Jibril menghadirkan gambaran neraka yang dahsyat ke hadapan mereka semua sampai-sampai para Nabi dan orang-orang shaleh gemetar dan berlutut ketakutan. Apalagi orang-orang yang berlumuran dosa.

Yaumul Hisab itu bahkan juga terasa berat bagi para Nabi seperti Nabi Nuh yang ditanya apakah ia sudah menyampaikan risalah-Nya atau Nabi Isa yang ditanya apakah ia menyuruh umatnya menuhankan ia dan ibunya sebagai dua tuhan selain Allah. Pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu terlihat menekan dan meresahkan para Nabi. Jika Nabi-nabi saja demikian keadaannya, bagaimana pula kita ?.

Mudah-mudahan saja kita tidak termasuk orang yang bangkrut/pailit di hari penghisaban, hari ketika dalih-dalih ditolak dan hal sekecil apapun dimintakan pertanggungjawabannya. Mengapa disebut bangkrut? Karena ternyata amal shaleh yang dilakukan terlalu sedikit untuk menebus dosa-dosa kita yang banyak sehingga kita harus menebusnya di neraka. Na’udzubillah min dzalik.

Hasil Muraqabah dan Muhasabah

Seseorang yang rajin me’muraqabah’i dan me’muhasabah’i dirinya akan mau dan mudah melakukan perbaikan diri. Ia juga akan mau meneliti, mengintrospeksi, mengoreksi dan menganalisis dirinya. Hal-hal apa saja yang menjadi faktor kekuatan dirinya yang harus disyukuri dan dioptimalkan. Kemudian hal-hal apa saja yang menjadi faktor kelemahan dirinya yang harus diatasi, bahkan kalau mungkin dihilangkan. Lalu bahaya-bahaya apa yang mengancam diri dan aqidahnya sehingga harus diantisipasi, dan akhirnya peluang-peluang kebajikan apa saja yang dimilikinya yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Jika dirinci, paling tidak, ada 3 hasil yang akan diraih orang yang rajin melakukan muraqabah dan muhasabah :

1.       Mengetahui aib, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dirinya serta berupaya sekuat tenaga meminimalisir atau bahkan menghilangkannya.

2.       Istiqamah di atas syari’at Allah. Karena ia mengetahui dan sadar akan konsekuensi-konsekuensi keimanan dan pertanggungjawaban di akhirat kelak maka cobaan sebesar apapun tidak akan memalingkannya dari jalan Allah seperti misalnya tokoh Bilal dan Masyitah. Walaupun keistiqamahan adalah hal yang sangat berat sehingga Rasulullah SAW sampai mengatakan, “Surat Hud membuatku beruban” (Karena di dalamnya ada ayat 112 berisi perintah untuk istiqamah).

3.       Insya Allah akan aman dari berat dan sulitnya penghisaban di hari kiamat nanti (QS. 3:30)

URGENSI PEMBINAAN UMAT

ان الله لا يغير ما بقوم حتى يغير ما بأنفسهم

“Sesungguhnya Alloh tidak akan merubah keadaan suatu kaum hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka”
(QS. Ar Ra’du, 13:11)

I. Sejarah Yang Gemilang

Sejarah mencatat bahwa kurang lebih 15 abad umat Islam memiliki supremasi yang gemilang Sejak kebangkitan bangsa Arab saat menerima Islam, penyebaran dakwah sampai ke Afrika, Eropa dan negeri-negeri jauh di Asia Timur, sampai runtuhnya kekhalifahan Islam pada tahun 1924, Islam telah benyak memberikan sumbangan besar bagi kemajuan peradaban manusia. Paling tidak kemajuan Barat dewasa ini tidak lepas dari jasa Islam.

Umat Islam generasi awal, di bawah pimpinan Rasulullah saw berhasil memegang kendali dunia dalam kurun waktu yang relatif singkat:

    Seluruh Jazirah Arab (sekarang negara Saudi Arabia) dibebaskan dari pengaruh penyembahan berhala (syirik) dan diislamkan hanya dalam waktu kurang lebih 23 tahun.

    Di bawah kepemimpinan Khulafaur Rosyidin (Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik, Umar bin Al Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radiyallohu ‘anhum) daerah Islam diperluas ke luar Jazirah Arab, sampai daerah Syam (sekarang negara Yordania, Syiria, Irak dan Palestina, yang pada masa itu dijajah oleh imperium Romawi Timur yang beribukota di Konstantinopel/Istambul). Sampai juga ke daerah-daerah di Afrika Utara seperti Mesir, Sudan. Kemudian ke selatan seperti daerah Yaman, juga takluknya Persia (Iran) yang pada waktu itu merupakan salah satu negara super power di belahan Timur.

    Di bawah kekhalifahan Bani Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah, Islam menjadi satu-satunya kekuatan dunia, yang daerahnya sampai ke Selatan yang mencakup sebagian besar Afrika, ke Timur ke daerah-daerah Asia (afghanistan, India dan Cina), ke Utara  yaitu Uni Sovyet, dan ke Barat yaiytu derah-daerah Eropa seperti Spanyol (Andalusia), Bulgaria, Hongaria, Yugoslavia, Yunani, dan Perancis selatan. Kekhalifahan-Kekhalifahan Islam terus berlangsung hingga runtuhnya Kekhalifahan Utsmani Turki pada tahun 1924 M.

Selama kurun waktu tersebut, tidak kecil sumbangan Islam bagi peradaban dunia. Pada abad ke 12 M misalnya, saat orang-orang Eropa (Barat) masih menganggap bahwa penyakit yang menimpa seseorang adalah bagian dari dirinya yang berasal dari Tuhan yang tidak boleh diobati, maka ilmu pengetahuan kedokteran Islam sudah menggunakan alat-alat medis untuk melakukan pembedahan/operasi orang sakit. Teori-teori kedokterannya Ibnu Sina, yang di Barat dikenal dengan Avicienna, saat ini masih dijadikan bahan rujukan bagi ilmu-ilmu kedokteran kontemporer (Barat)

Pada puncak kemajuan peradaban Islam di Eropa, banyak mahasiswa dan pemuda dari negeri-negeri Barat belajar dan menuntut ilmu di universitas-universitas Islam di Cordova dan Andalusia. Mereka menerjemahkan Al Qur’an dan buku-buku bahasa Arab ke dalam bahasa mereka. Mereka berguru kepada sarjan-sarjana Muslim, terutama di bidang ilmu pengetahuan alam, kedokteran dan filsafat.

Karena itulah Renaissance (kelahiran baru) bangsa Eropa yang menjadi titik tolak kemajuan Barat sekarang ini, yang lahir dari sikap kritis para ilmuwan terhadap dogma-dogma gereja yang kaku dan tidak logis, hingga terjadi revolusi industri, juga tidak lepas dari pengaruh peradaban Islam. Barat sesungguhnya berhutang kepada Islam, dan ini diketahui oleh para ilmuwannya, seperti Maurice Bucaille, dan yang lainnya.

II. Realita Sekarang

Memprihatinkan. Inilah yang mungkin bisa dikatakan saat melihat fenomena umat Islam dewasa ini. Label yang buruk-buruk seakan sudah menjadi trade mark kaum Muslimin. Bodoh, miskin, terbelakang, tidak berperadaban, kurang pergaulan, lemah, tertindas dan teraniaya, adalah sebagian dari idiom-idiom yang seakan sudah menyatu dengan umat, dan tidak terpisahkan. Umat saat kini, walaupun dari segi kwantitas besar (mayoritas) akan tetapi dari segi kwalitas justru minoritas. Minoritas di segala lapangan. Ini adalah dampak logis dari lepasnya kendali kepemimpinan politik dunia dari tangan umat Islam.

III. Sebab-Sebab Kemunduran Umat

Ada 2 sebab utama, yang pertama adalah sebab-sebab yang muncul dari dalam diri kaum Muslimin sendiri (sebab internal). Dan yang kedua yang datang dari luar (sebab eksternal).

A. Sebab-Sebab Internal

1.    Jauh dan bodohnya  kaum Muslimin dari sumber-sumbernya yang orsinil, yaitu Al Quranul   Karim dan Sunnah Rasulullah saw
2.    Rendah diri sebagai Muslim hingga hilang kepercayaannya terhadap Islam
3.    Sikap taklid buta tanpa reserve dan ikut-ikutan yang merata dikalangan kaum Muslimin.
4.    Berpecah belah dan lemahnya ikatan solidaritas serta persaudaraan Islam antar sesama kaum Muslimin.
5.    Tertinggal dan terkebelakang dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (science  dan iptek).

B. Sebab-Sebab Eksternal

1.    Serangan tentara Salib yang berlangsung hampir 2 abad (abad 10 hingga 12 M)
2.    Gerakan orientalis dan orientalisme-yang awalnya dipelopori oleh para rahib-rahib Yahudi dan pastor-pastor Nasrani- yang mempengaruhi pola berfikir pada sebagian sarjana-sarjana Muslim.
3.    Munculnya gerakan nasionalisme dan kebangsaan yang sempit menyebabkan terpecah-belahnya dan saling bermusuhan antara negeri-negeri Islam.
4.    Imbasnya pemikiran pemisahan antara agama dan negara dan adopsi secara penuh sistem sekuler pada sebagian besar bidang kehidupan kaum Muslimin, baik itu politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pendidikan, pemberitaan dan pers, penerangan, hukum ataupun perundang-undangan.
5.    Gerakan penjajahan negeri-negeri Islam oleh negara-negera Barat yang membawa misi Gospel (Kristenisasi dan misionaris), Gold (kekayaan dan rempah-rempah) dan Glory (kekuasaan politik dan teritorial)
6.    Emansipasi wanita yang berlebih-lebihan.

IV. Pembinaan Umat: Satu Keharusan.

Ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘Umat ini tidak akan menjadi baik kecuali dengan apa-apa yang umat terdahulunya menjadi baik’. Kata kunci dari pepatah ini tidak lain adalah bahwa umat harus dibina dan didaur ulang, sebagaimana generasi awal dari umat ini.
Munculnya generasi awal umat ini yang oleh Asy Syahid Sayid Qutb diistilahkan dengan ‘Generasi Qur’ani yang Unik’ itu tidak datang begitu saja laiknya sulap. Tidak, bahkan ia melalui sebuah proses yang disebut dengan ‘At Takwin wat Tarbiyah’ atau Pembinaan dan Pendidikan. Beberapa alasannya:

1.    Sabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya Tuhanku telah mendidikku maka Dia didik aku dengan sebaik-baik pendidikan”.
2.    Pendidikan dan pembinaan yang dilakukan Alloh SWT terhadap rasul-Nya ini    tidak lain adalah dengan diturunkannya wahyu suci berupa ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Al Quranul Karim. Proses ini berjalan selama kurang lebih 23 tahun.
3.    Rasulullah saw adalah orang yang tidak bisa membaca (Ummiyun) yang hidup di tengah-tengah bangsa dan masyarakat yang sebgian besarnya juga seperti itu (Ummiyuuna).
4.    Sejak lahir Rasulullah saw sudah yatim bapak, dan pada usia 7 tahun dia yatim ibu. Para ahli siroh menerangkan bahwa makna dibalik itu semua adalah agar calon Insan Kamil ini tidak terkontaminasi dan terpengaruh sentuhan manusia khususnya kedua orang tuanya dalam proses pembinaan dan pendidikannya. Biarlah Alloh saja yang mengambil alih seluruh proses itu. Karenanya di saat usia 7 tahun, dimana inilah usia seorang anak mendapat sentuhan pendidikan pertama kalinya, justru ibundanya diwafatkan oleh Alloh SWT.
5.    Ketika diangkat menjadi nabi dan rasul, di saat beliau berusai 40 tahun, berlangsunglah proses ‘At takwin wat Tarbiyah’ ini secara resmi dari Alloh kepadanya dengan turunya wahyu yang berbicara tentang segala hal, dari masalah akidah, ibadah, akhlak, muamalah, hukum-hukum, soisal, politik, bahkan masalah kenegaraan. Dan ini berlangsung terus selama 2 periode, 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah.
6.    Paralel dengan itu, para sahabat melakukan pula proses ini sehingga dalam waktu yang relatif singkat, muncullah generasi baru manusia, yang asalnya adalah dari satu bangsa yang primitif, nomaden, dan jahiliyah menjadi generasi yang Alloh SWT katakan sebagai sebaik-baik umat (Khoira ummatin ukhrijat linnasi).
7.    Selanjutnya terjadi proses Islamisasi seluruh Jazirah Arab, kemudian ekspansi dakwah ke berbagai belahan dunia. (lih. Sejarah Yang Gemilang).

V. Langkah-Langkah Pembinaan

1.    Pembinaan Basis Iman, bahwa iman itu tidaklah cukup dengan sekedar keyakinan atau pengakuan lisan saja, akan tetapi ia harus dibuktikan dengan amal. Dengan demikian ada 3 unsur yang harus dipenuhi agar iman itu sempurna. Unsur hati sebagai tempat keyakinan, unsur lisan sebagai tempat pengakuan dan unsur amal sebagai tempat pembuktian. Al Qur’anul Karim menggambarkan tipe-tipe manusia berdasarkan unsur-unsur itu sebagai berikut:

Tipe    Hati     Amal    Lisan    Dalil
Mukmin    Ada    Ada    Ada    QS 2:1-5, 285-286;  24:51;
33:36
Kafir    Tidak    Tidak    Tidak    QS 2:6-7
Munafik    Tidak    Ada    Ada    QS 2:8-10;  4:142-145
63:1-2

2.    Pembinaan Basis Ibadah, bahwa Alloh telah jadikan bahwa beribadah kepada-Nya saja merupakan tujuan hidup manusia. Secara simbolik manusia diperintahkan untuk melaksanakan ritualnya seperti sholat, haji, zakat, puasa dan sebagainya. Juga melambangkan hubungan vertikal yang harmonis antara seorang Muslim dengan Tuhannya. Hubungan inilah yang akan menjadi daya kontrol yang lekat pada dirinya sehingga terbentuk bangunan kontrol yang tangguh. Dari sinilah akan lahir berbagai bentuk kebajikan yang produktif bagi kehidupan manusia secara umum. Dengan sholat seorang Muslim tidak akan melenceng dari tujuan hidupnya. Dengan zakat seorang Muslim mempunyai tingkat rasa solidaritas yang tinggi. Karena itu Alloh SWT mensyaratkan keduanya bagi orang-orang yang ingin diberikan kekuasaan.

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Alloh-lah kembali segala urusan” (QS. Al Hajj:41).

Kesimpulannya bila kaum Muslimin kuat beribadah dengan baik dan benar Alloh akan memberi kekuatan sehingga memiliki rasa percaya diri yang kuat menghadapi tantangan-tanatangan kehidupan, bahkan bisa menghantarkannya kepada kejayaan dunia.

يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ(1)قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا(2)نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا(3)أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلًا(4)إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا(5)

“Hai orang yang berselimut (Muhammad) bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya) (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari pada seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”  (QS. Al Muzzammil, 73:1-5)

3.    Pembinaan Basis Akhlak, karena ajaran Islam sangatlah memperhatikan masalah akhlak. Kehancuran satu bangsa sangatlah ditentukan oleh sejauh mana baik dan buruk akhlak bangsa yang bersangkutan, Karenanya salah satu misi diutusnya Rasulullah saw adalah untuk menyempurnakan akhlak, Akhlak juga meruopakan buah kongkrit baiknya keimanan dan ibadahnya seseorang, karena itulah Rasulullah saw pernah bersabda: “Jika kamu tidak merasa malu perbuatlah apa saja yang kamu sukai”.

Kenapa Harus Berakhlak?

Pertama: Manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukannya. Bila ia mau ia akan lakukan. Bila tidak ditinggalkan. Terlepas dikerjakan atau ditinggalkan, namun semua itu haruslah ada aturannya.
Kedua:  Manusia bertanggung jawab dari apa yang dilakukannya, baik terhadap Alloh SWT ataupun terhadap manusia. Apa yang dilakukannya pastilah terkait dengan keduanya. Bahkan terkait dengan hak azasi manusia/HAM atau ‘al huquuqul basyariyah’ lebih banyak lagi.
Ketiga: Berkaitan dengan itulah maka Alloh SWT Yang Maha Luas Ilmu-Nya menetapkan seperangkat aturan dan hukum bagi manusia.

سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا ءَايَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya” (QS. An Nuur:1).

Namun apa yang dilakukan oleh manusia pastilah akan ada perhitungan baik secara vertikal kepada Alloh ataupun secara horizontal sesama manusia.

Keempat: Islam menetapkan bahwa sumber akhlak mulia adalah Al Qur’anul Karim, dan prototype manusia berakhlak mulia sekaligus sebagai suri tauladannya, dialah Rasulullah Muhammad saw.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap  (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh”  (QS. Al Ahzaab:21)

Kelima: Islam mewajibkan bagi setiap Muslim untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Baik tidaknya umat ini tergantung dari komitmennya pada gerakan ini.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Alloh” (QS. Ali Imraan:110)

Asas Akhlak Islam: Adil dan Ihsan

Ada 3 lingkup adil:

    Adil kepada Alloh SWT yaitu dengan senantiasa berusaha melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
    Adil kepada diri sendiri, yaitu berusaha untuk tetap berada di dalam pedoman yang telah Alloh tetapkan.
    Adil kepada manusia yakni berusaha untuk berbuat baik, menghilangkan kezaliman dan tidak berkhianat.

Sedangkan ihsan maknanya adalah senantiasa berusaha sebaik-baiknya dalam beribadah kepada Alloh, merasakan kehadiran dan pengawasan-Nya, dan berusaha semaksimal mungkin berbuat kebajikan bagi manusia.

Tujuh Perkara Yang Membahayakan:

Iman Al Bukhori meriwayatkan dari Abu Hurairoh ra, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Jauhilah tujuh yang mencelakakan!” Para sahabat bertanya: “Apa itu ya Rasulullah?” Jawab rasul saw: “Syirik kepada Alloh, melakukan sihir, membunuh manusia yang diharamkan Alloh untuk dibunuh kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan dari dari medan pertempuran dan menuduh zina wanita mukminah yang tidak pernah ada keinginan untuk itu”.

4.    Pembinaan Basis Ilmu. Ilmu adalah kekuatan, siapa yang yang paling unggul ilmunya dialah yang memimpin. Sekarang peradaban yang menguasai dunia adalah peradaban Barat. Ini logis, sebab Baratlah yang menguasai iptek dan science. Berkaitan dengan inilah tatkala Alloh SWT memberikan isyarat tentang pengembangan ilmu pengetahuan di dalam Kitab Suci-Nya, Dia mengkhitob/menyeru tidak secara khusus ditujukan kepada orang-orang beriman, namun khitob-Nya dilakukan secara umum kepada seluruh jamaah jin dan manusia, sehingga siapa yang lebih dahulu melakukan observasi, kajian dan pengembangan, maka dialah yang  mendapatkannya (QS. Ar Rahman, 55:33).

Pada masa silam para ulama umat Islam selain memiliki penguasaan terhadap ilmu-ilmu agama – atau ‘Kitab Kuning’ menurut Pak AM Saefuddin, mereka juga menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum yang berorientasi pada pengembangan sarana kehidupan – atau ‘Kitab Putih’. Sebagai contoh Ibnu Sina misalkan, yang di Barat disebut dengan Avecienna, selain seorang ulama yang pakar dalam bidang kedokteran sesungguhnya dia juga menulis buku-buku tentang fiqih, tafsir dan akidah.

Dengan penguasaan terhadap kedua bidang ilmu, maka umat Islam di masa yang silam berjaya. Karena umat Islam dewasa ini hendaknya juga memiliki penguasaan yang cukup pada kedua macam ilmu tersebut, baik yang berorientasi pada Kitab Kuning atau Kitab Putih.  Bila hanya menguasai ilmu Kitab Kuning, umat akan menjadi jumud dan tidak dinamis, yang pada gilirannya tertinggal dari umat yang lainnya. Namun bila hanya berorientasi pada penguasaan kitab Putih saja, tanpa peduli pada nilai, norma, etika dan panduan hidup Al Qur’an, umat akan terperosok dalam kehidupan yang sekuler materialistik.

Al Qur’an sebagai Way of Life orang-orang Islam, padanya paling tidak ada 3 tipe ayat, yang apabila kaum Muslimin mensikapinya secara benar dan proporsional, bisa jadi akan menghantarkannya pada kejayaan, kemajuan dan supremasi. Ketiga tipe ayat itu adalah:

Pertama, ayat-ayat tentang keimanan dan keyakinan kepada yang ghaib, seperti iman kepada Alloh, malaikat, takdir/qodho, hari Kiamat, pahala, dosa, surga, neraka dan sebagainya.  Terhadap masalah yang seperti  ini pendekatan yang harus dilakukan adalah dengan menggunakan hati, yaitu iman.
Kedua, ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan isyarat-isyaratnya. Terhadap masalah ini pendekatannya adalah dengan menggunakan akal, yaitu dipikirkan, diobervasi, dikaji, dan dikembangkan sehingga lahirlah science dan teknologi.
Ketiga, ayat-ayat tentang hukum dan undang-undang. Terhadap ayat-ayat yang seperti ini kewajiban umat Islam adalah melaksanakan dan menegakkannya.

Pendekatan yang benar dan proporsional akan melahirkan umat yang memiliki keimanan yang kokoh, cerdas dan berilmu pengetahuan dan percaya diri dan bangga dengan identitas dirinya. Inilah modal utama ke arah kejayaan dan supremasi Umat Islam.

Dalam kenyataannya umat ini justru mengalami kelemahan dalam hal itu semua. Walhasil umat sekarang dalam keadaan hina, mundur dan terkebelakang, sebagai konsekwensi jauhnya mereka dari tuntunan dan pedoman hidupnya:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat besar. Alloh tidak lengah dari apa yang mereka perbuat.” (QS. Al Baqarah:85)

5.    Pembinaan Basis Ekonomi

Islam tidak menginginkan umatnya menjadi umat yang miskin sehingga tergantung pada orang lain. Bila ini terjadi maka selain kehinaan yang menimpa setiap kaum muslimin, juga umat akan kehilangan kemerdekaan, kemandirian dan fungsinya sebagai saksi dan umta terbaik bagi manusia. Karena itulah masalah kerja, produktivitas dan ekonomi sangat diperhatikan oleh Islam.

ANJURAN BEKERJA DAN MENDAPATKAN MATA PENCAHARIAN

وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الْأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ

“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagi kalian di muka bumi itu (sumber penghidupan), amat sedikitlah kalian bersyukur” (QS. Al A’raaf, 7:10)

“Tidaklah sekali-kali seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan dari kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabiyulloh Daud juga makan dari kerja tangannya sendiri” )HR. Bukhori)

Ibnu Abbas ra bekata: “Adam menjadi petani, Nuh menjadi tukang kayu, Idris menjadi penjahit, Ibrahim dan Luth menjadi petani, Dhalih menjadi pedagang, daud pandai besi, Musa, Syu’aib dan Muhammad menjadi penggembala”.

Dalam berbagai atsar disebutkan bahwa Lukamul hakim berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, perhatikanlah mata pencaharian yang halal. Karena jika seseorang menjadi miskin, maka dia terkena salah satu dari tiga perkara: “Kelemahan dalam agamanya, kelemahan dalam akalnya dan kepribadiannya menurun. Yang terbesar dari tiga perkara ini adalah adanya orang lain yang menganggap remeh terhadap dirinya.”

Ahmad bin Hanbal pernah ditanya: “Apa komentar anda tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumahnya atau di masjid, sambil berkata: , ‘Aku tak perlu bekerja apapun, toh rezekiku akan datang sendiri.’ Iman Ahmad menjawab; “Dia adalah orang yang tidak mengetahui ilmu. Apakah di atidak pernah mendengar sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Alloh menjadikan rezekiku di bawah lindungan tombakku”, beliau juga pernah bersabda tatkala melihat seekor burung, ‘Ia pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang pada sore hari.’

Para shahabat Rasulullah saw juga berdagang di daratan maupun di lautan, menggarap tanah, dalan sebagainya.”

MENGAPA MUSLIM HARUS BEKERJA?

Dalam pandangan Islam seorang Muslim haruslah bekerja. Ada banyak penjelasan di dalam Al Qur’an dan Al Hadits yang dapat dijadikan dasar pijakannya. Ayat-ayat di dalam Al Qur’an yang berkaiatan dengan manusia dan bekerja dijelaskan dalam gambaran sebagai berikut:

1. Implementasi misi manusia sebagai khalifatullah fi’l ardh.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (Al Baqarah, 2:30)

Manusia tidak mungkin menjadi penguasa dan memakmurkan bumi kecuali dengan bekerja, berkarya dan berprestasi. Untuk itu  Alloh SWT memberi fasilitas:

Bumi/alam semesta, akal dan ilmu:

وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الْأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ

“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan” (Al A’raaf:10)

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan Alloh mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur” (An Nahl:78)

2. Pemeliharaan prinsip keseimbangan (tawazunitas)

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah yang kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang” (Al Muluk:3)

3. Tidak sama orang yang bekerja dengan orang yang tidak bekerja:

يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tdiak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwanya. Alloh melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat” (An Nisaa:95)

4. Rezeki dari Alloh tidak datang dengan sendirinya

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya” (Al Muluk:15)

5. Produktivitas ditentukan oleh kerja.

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan  dan agar Alloh mencukupkan bagi mereka balasan pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan” (Al Ahqaaf:19)

6. Kematian dan kehidupan adalah ujian siapa yang paling baik kerjanya

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Al Muluk:2)

7. Aktivitas ekonomi adalah ibadah dan jihad

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan msush Alloh, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Alloh niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya” (Al Anfaal:60)

8. Urgensi dan nilai waktu dalam hidup Muslim

وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ(2)إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(3)

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (Al ‘Ashr: 1-3)

RUANG  LINGKUP KERJA MUSLIM

Dari pandangan tersebut diatas maka kerja dan bekerja bagi seorang Muslim adalah suatu keharusan. Karena seorang Muslim mempunyai kewajiban bekerja dalam ruang lingkup sebagai berikut:

1.    Bekerja untuk mencukupi kebutuhan sendiri.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Turmudzi dari Abu   Hurairoh, Rasulullah saw bersabda: “Sungguh pagi-pagi seseorang berangkat, lalu membawa kayu bakar di atas punggungnya, ia bersedekah dengannya, dan mendapatkan kecukupan dengannya sehingga tidak meminta-minta kepada orang lain, adalah jauh lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau menolaknya. Hal inikarena tangan yang di atas jauh lebih baik daripada tangan yang di bawah, danmulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu”.

2.    Bekerja untuk kepentingan keluarga.

Dari Ka’ab bin ‘Ajrah, ia berkata: “Rasulullah saw melewati seorang lelaki, para sahabat melihat kekerasan tangan dan aktifitasnya. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah andaikan itu digunakan di jalan Alloh?”. Jawab Rasulullah saw: “Jika ia keluar bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka termasuk di jalan Alloh. Jika ia keluar bekerja untuk kepentingan kedua orang tuanya yang sudahrenta, maka ia termasuk di jalan Alloh. Jika ia keluar bekerja karena riya’ dan sombong maka ia termasuk jalan syaithon”. (HR. An Nasaai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya dari Anas).

3.    Bekerja untuk masyarakat.

Seorang sahabat yang bernama Abu Darda ra, menanam sebatang pohon, padahal ia sudah tua renta. Ada orang yang lewat dan bertanya kepadanya; “Kenapa anda menanam pohon ini padahal anda orang yang sudah tua renta, dan pohon ini tidak akan berbuah kecuali setelah sekian tahun?”. Abu Darda menjawab; “Aku pasti akan mendapatkan pahalanya, meskipun orang lain yang memakannya”.

4.    Bekerja untuk kehidupan dan semua makhluk secara umum.

Sabda Rasulullah saw: “Tidaklah seorang muslim menanam suatu tanaman atau menumbuhkan suatu tumbuh-tumbuhan, lalu dimakan oleh burung, manusia atau hewan, kecuali ia mendapatkan pahala shodaqoh” (HR. Bukhori dan Muslim dari Anas)

5.    Bekerja untuk memakmurkan bumi.

هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا

“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya” (Huud:61)

6.    Bekerja untuk pekerjaan itu sendiri.

Sabda Rasulullah saw: “Jika hari Kiamat datang dan pada tangan seseorang di antara kamu terdapat sebuah bibit tanaman, jika ia mampu menanamnya sebelum datangnya kiamat, maka hendaklah ia menanamnya” (HR. Ahmad dan Bukhori)

KEHARUSAN DALAM BEKERJA

1.    Bekerja dengan Ikhlas karena Alloh SWT

Sabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya amal/kerja itu tergantung pada niyatnya, dan sesungguhnya orang itu tergantung dari apa yang diniyatkannya itu” (HR. Muslim)
2.    Bekerja sesuai dengan aturan

Sabda Rasulullah saw: “Muslim itu sesuai dengan syarat-syaratnya (yang telah disepakati)” (Al Hadits)

3. Bekerja dengan sebaik-baiknya (Ihsanul amal)

Sabda Rasulullah saw; “Sesungguhnya Alloh mewajibkan ihsan (baik) dalam segala hal. Jika kalian membunuh (hewan) maka bunuhlah dengan baik. Jika menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah seseorang di antara kamu menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya’ (HR. Muslim)

4. Bekerja dengan penyelesaian yang baik (Itqonul amal)

Sabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya Alloh mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan maka dilakukannya secara itqon (profesional)” (HR. Baihaqi)

TUJUAN KERJA

A.    Memenuhi kebutuhan individu

Dalam kehidupan ekonomi manusia ada 4 tingkatan yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Pertama:  tingkatan darurat, yaitu kondisi dimana manusia hidup di bawah standar kecukupan.
Kedua: tingkatan yang lebih baik dari hal tersebut di atas, yaitu tingkatan pas-pasan.
Ketiga: tingkatan yang oleh ahli fiqih disebut sebagai “terpenuhinya kecukupan”.
Keempat: di atas semua itu itu adalah tingkatan mewah dan megah.

Islam tidak rela umatnya hidup pada tingkatan kehidupan yang rendah dan berkekurangan. Tingkatan kelayakan yang sedapat mungkin dicapai ialah terpenuhinya unsur-unsur berikut ini:

1.    Makanan yang cukup, untuk mensuplai jasmani agar memiliki kekuatan dalam melaksanakan kewajiban kepada Tuhan. Rasulullah saw menetapkan bahwa bagi badan ada hak yang tidak boleh tidak harus dipenuhi, sebagaimana sabdanya:

“Sesungguhnya bagi badanmu ada hak yang merupakan kewajiban bagimu” (HR. Bukhori dan Muslim dari Abdullah bin Amr)

2. Air yang cukup untuk minum, kebersihan dan bersuci. Sabda Rasulullah saw:

“Adalah hak (wajib) bagi setiap muslim pada setiap tujuh hari ada satu hari yang dipergunakan untuk membersihkan rambut dan jasadnya” (HR. Ahmad dari Abi Sa’ad)

3.    Pakaian untuk menutupi aurat, menjaga diri dari udara panas/dingin dan untuk memperindah penampilan di hadapan manusia. Firman Alloh Ta’ala:

يَابَنِي ءَادَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan: (QS. Al A’raaf:26)

4.    Tempat tinggal yang sehat, yang mencerminkan;

a.    Arti ketentraman tempat tinggal yang merupakan karunia Alloh:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ جُلُودِ الْأَنْعَامِ بُيُوتًا تَسْتَخِفُّونَهَا

“Dan Alloh menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak” (QS. An Nahl:80)

b.    Unsur keluasan rumah, yang merupakan salah satu dari pilar kebahagiaan dunia, sebagaimana sabdanya:

“Tiga hal termasuk unsur kebahagiaan manusia muslim di dunia, yaitu tetangga yang saleh, tempat tinggal yang luas, dan kendaraan yang nyaman” (HR. Ahmad)

c.    Unsur perlindungan dari bahaya alam.
d.    Unsur kemandirian, sehingga tidak tampak auratnya bagi orang yang melihatnya, baik yang datang ataupun yang pergi. Kemandirian ini nampak jelas diungkapkan oleh AlQur’an:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat’ (QS. An Nuur:27)

Ibnu Hazm mengemukakan hal ini sebagai suatu kewajiabn yang harus dipenuhi oleh setiap muslim: “Dan rumah yang melindungi mereka dari matahari, hujan, dan pandngan orang yang berlalu lalang”.

Para Ulama berpendapat bahwa setiap orang harus memiliki rumah dan bukan menyewa.

Islam menentukan kelayakan tempat tinggal, seperti luas dan cukup perabotannya, sehingga menjamin pelaksanaan perintah Nabi saw untuk memisahkan anak-anak di tempat tidur masing-masing apabila umurnya telah mencapai sepuluh tahun.

Dalam rumah tersebut mesti ada kamar tamu yang disebut kamar musafir. Imam Muslim dalam shahihnya mengemukakan sabda Nabi saw:

“Satu hamparan (kamar) bagi suami, satu hamparan bagi isterinya, satu hamparan untuk tamu……………..” (HR. Muslim dari Jabir ra).

e.    Sejumlah harta yang bisa ditabung untuk melakukan pernikahan dan membentuk keluarga muslim, memenuhi perintah Nabi saw:

“Wahai golongan pemuda, barangsiapa di antara kamu sekalian sudah mampu, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan” (HR. Jamaah dari Ibnu Mas’ud)

f.    Sejumlah harta yang dapat membantunya untuk mencari ilmu, memenuhi perintah Nabi saw:

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah)

g.    Sejumlah harta untuk berobat jika sakit, memenuhi seruan Nabi saw:

“Wahai hamba Alloh, berobatlah kamu sekalian, sesungguhnya Alloh tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali memberikan pula obatnya” (HR. Ahmad)

h.    Kelebihan harta yang ditabung untuk keperluan ibadah haji ke Baitulloh, sesuai perintah Alloh SWT:

“Padanya terdapat tanda-tandaa yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrohim. Barangsiapa memasukinya (Baitulloh) itu maka amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban menusia terhadap Alloh, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitulloh. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Alloh Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS. Ali Imran, 3:97).

B.    Mewujudkan kemandirian umat.

Bila secara individu, setiap  muslim bekerja dan produktif maka akan lahirlah satu umat yang memiliki perekonomian yang kuat. Maka umat akan mandiri tidak tergantung pada orang lain. Dengan demikian umat akan memiliki izzah, mampu merealisasikan  kemerdekaan dan kepemimpinannya, keteladanan dan kesaksian bagi umat yang lainnya.

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS. Al Baqarah, 2:143)-

6.    Pembinaan Basis Politik

Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia tidak lain adalah pertarungan antara  kebenaran melawan kebatilan, keimanan versus kekufuran, Islam bertarung dengan kejahiliyahan, tentara Alloh versus tentara iblis dan syaitan.  Genderang  peperangan ini sudah ditabuhkan jauh sebelum umat manusia berkembang-biak sebanyak sekarang ini. Perhatikan firman Alloh Ta’ala:

“Alloh berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. Iblis berkata: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”. Alloh berfirman: “Maka keluarlah engkau dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan”. Iblis berkta: “Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan”. Alloh berfirman: “Sesunguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari Kiamat)”. Iblis menjawab; “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Shaad, 38:75-82).

Lebih lanjut, Al Qur’an menterjemahkan pertarungan ini dengan istilah ‘sunnah tadaafu’ yang tujuannya justru dalam rangka memelihara eksistensi dan keberadaan manusia dan kehidupannya. Sunnah in dengan demikian berlangsung secara kontinyu sehingga ia adalah pertarungan dan pergulatan yang terjadi sejak dahulu, kini dan yang akan datang, hingga terjadi hari Kiamat (All Time Confrontation):

“Seandainya Alloh tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Alloh mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam” (QS. Al Baqarah, 2:251)

Dalam konteks inilah Al Qur’an menegaskan bahwa perang itu adalah wajib dengan memakai kata kerja fi’-il majhul ‘kutiba’ yag artinya diwajibkan.  Padahal kata ini biasanya didahului dengan ungkapan ‘yaa ayyuhal ladziina aamanu’ (hai orang-orang yang beriman), namun dalam masalah ini Al Qur’an meninggalkannya:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu;  Alloh mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah, 2:216)

Politik dan pertarungannya bisa jadi bagian dari sunnah tadaafu’, sebab dalam politik pertarungan terjadi dalam rangka merebut, mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian kekuasaan politik mau tidak mau harus melewati pergulatan dan konfrontasi dalam sunnah ini, untuk akhirnya keluar dan unggul sebagai pemenang dan berkuasa. Perhatikan firman Alloh Ta’ala:

“Telah diidzinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Alloh, banar-banar Maha Kuasa menolong mereka itu (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Alloh”. Dan sekiranya Alloh tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebgaian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang didalamnya banyak disebut nama Alloh. Sesungguhnya Alloh pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Alloh benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi (kekuasaan politik), niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Alloh-lah kembali segala urusan” (QS. Al Hajj, 22:39-41)

Dari penjelasan yang tersebut di atas, maka umat Islam sesungguhnya adalah pelaku politik yang utama. Secara teoritis, kekuasaan itu seharusnya berada di tangan umat Islam. Sebab dengan politik dan kekuasaan, misi dakwah yang berupa amar ma’ruf dan nah-yi munkar akan dapat terlaksana secara optimal dan effisien. Namun apa mau dikata, umat Islam sekarang ini, hanyalah obyek dan target kebijakan politik, bukan sebagai pelaku utama yang memegang peranan dalam membuat dan memutar kebijakan.
Dalam arena politik dewasa ini, lebih banyak orang munafiknya yang menjual umat dan ayat-yata suci demi obsesi dan ambisi politik praktisnya ketiimbang benar-benar memperjuangkan Islam dan kemuliaaan umatnya. Partai Islam tidak lebih dari sekedar merek manis untuk menjaring suara umat yang ditinggal dan diacuhkan aspirasinya setelah partai tersebut mendapat kedudukan secara politis.

Apa yang bisa dilihat dari fenomena Pemilu yang baru lalu, menunjukkan hal itu. Bila dicermati, Pemilihan Umum tahun 1999 telah menyuguhkan kenyataan politis ideologis yang cukup mengejutkan hati para pemimpin partai politik Islam. Yaitu bahwa umat Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia telah menjadi minoritas dalam kesadaran politik keislamannya. Umat Islam yang memiliki kesadaran ideologis Islam kurang lebih hanya 11%, umat Islam yang sekedar Islam Kultural sekitar 27%, umat Islam yang beraliran Sekuler Toleran 26%, dan gabungan umat Islam dengan yang lainnya yang beraliran Sekuler Ekstrim mencapai 36%.  Apa sebabnya?

Pertama, karena sebagian beasr umat Islam belum benar-benar memahami nilai-nilai luhur ajaran Islam dan pandangan hidup muslim secara integral dan komprehensif. Hal ini dikarenakan belum adanya kesatuan sistem dan program pendidikan keumatan yang intensif, tidak adanya perencanaan dakwah Islam yang berskala nasional-integral dan tidak proaktivnya operator dakwah menjemput persoalan-persoalan umat.

Kedua, umat Islam belum mewujudkan kehidupan kejamaahannya baik berupa kejamahaan lingkungan hidup (territorial dan kewilayahan) maupun kejamaahan kultural dan ekonomi sesuai dengan pengertian jamaah, yaitu kebersamaan dalam menyelenggarakan kepentingan hidup dan kehidupan bersama di atas prinsip keikhlasan, persaudaraan Islami, persamaan, musyawarah, tolong-menolong dan gotong royong, senasib sepenanggungan. Kejamaahan ini berpusat kepada institusinya yang paling murni, yaitu masjid yang merupakan rumahnya orang-orang yang bertakwa. Sementara kejamaahan yanga ada, lebih merupakan kelompok-kelompok faham, sehingga lebih nampak sebagai firqah dengan ikatan yang abstrak. Hal ini berakibat pada segala perbedaan faham dan masalah-masalah khilafiyah yang seharusnya diproses dalam Majlis Syuro untuk melahirkan kesepakatan jamaah, akhirnya dipakai dan menjadi simbol pembentukan golongan.

Ketiga, karena pembinaan umat selama ini masih bersifat ta’lim, yaitu satu metode pendidikan yang bersifat normatif yang tidak bertanggung jawab mengenai aplikasinya dan cakupannya juga masih bersifat normatif-formalistik. Pembinaan umat belum menerapkan metode takwin (kaderisasi), taujih (pengarahan dan instruksi) dan tadbir (perencanaan) yang semuanya mengarah pada mengaktualisasikan ajaran Islam bagi kesejahteraan hidup dan kehidupan umat.

Keempat, semua faktor tersebut di atas bermuara pada lemahnya sumber daya manusia dan kepemimpinan umat, yakni belum mampu menciptakan pemimpin yang berkualitas dan berkapasitas sebagai imam jamaah yang memiliki kemampuan dalam taklim, takwin, taujih dan tadbir serta berwawasan pembangunan dan memenuhi kebutuhan luas wilayah kejamaahn umat Islam yang meliputi kurang lebih 300.000 lingkungan hidup/pemukiman, 66.000 desa/kelurahan, 310 daerah tingkat II, 27 propinsi dan tingkat nasional dengan kesatuan visi, persepsi, misi dan aktualisasi.

Sementara para pemimpin yang ada lebih menampilkan sosok sebagai muallim, muballigh atau guru agama daripada sebagai socio-religius leasers, yang dalam melaksanakan tugasnya saling tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya. Mereka belum punya manajemen dalam placement. Umat Islam belum memiliki kesatuan konsep, sistem dan perencanaan pendidikan kepemimpinan umat secara nasional.

7.    Pembinaan Basis Kejama’ahan.

Alloh SWT telah memprogramkan siklus tahuan bagi pembinaan kejamaahan kaum Muslimin. Terdapat kaitan kausalistik antara puasa Ramadhan, ibadah Haji dan bulan Muharram. Seandainya umat Islam – terutama para pemimpinnya – mau mengambil dan mengimplementasikan hikmah ibadah puasa Ramadhan, ibadah Haji dan spirit bulan Muharram, niscaya umat Islam tidak kalang kabut, kaget dan panik dengan terjadinya krisis moneter dan ekonomi yang menghantam secara tiba-tiba dan tidak akan terperangkap oleh strategi dan tipu daya lawan serta insya Alloh akan sanggup mengatasinya.

1.    Ibadah puasa Ramadhan mempunyai fungsi kuratif, rehabilitatif dan pengembangan kepribadian muslim, sehingga dapat menemukan kembali jatidirinya sebagai khalifah Alloh di bumi yang memiliki nilai-nilai insan kamil (manusia paripurna) dan kepribadian yang utuh (integrated personality). Dengan puasa Ramadhan, setiap pribadi Muslim, terutama para ulama dan zu’ama, seyogyanya dapat meraih nilai-nilai dan kekuatan spiritualnya yang tertinggi yang terumuskan ke dalam satu kalimat Al Ikhlashu Lillahi.

2.    Setelah melaksanakan puasa ramadhan, umat diberi kesempatan oleh Alloh selama 3 bulan (Syawwal, Dzul qo’dah dan dzulhijjah) untuk mengkonsntrasikan potensi kejamaahannya dengan jalan meraih dan mengaktualisasikan nilai-nilai moral sosialnya yang tertinggi, yang terumus dalam kalimat yang pendek “Al Ishlah Bainan Naas”, yakni mewujudkan kesatuan dan kerukunan, keharmonisan dan kedamaian antar sesama umat manusia, khususnya kaum Muslimin dalam wujud kesatuan kejamaahan yang solid,  bagaikan satu  bangunan yang kokoh, baik dalam kejamaahan kehidupan kulturalnya maupun dalam kehidupan kjeamaahan sosial ekonominya. Maka dalam waktu 3 bulan itu, dengan melaksanakan silaturrahmi yang proaktif, kaum Muslimin diharapkan dapat mengkosolidasikan :

a.    Kesatuan kejamaahan sekeluarga.
b.    Kesatuan kejamaahan sekampung.
c.    Kesatuan kejamaahan sekelurahan/desa
d.    Kesatuan kejamaahan sekecamatan
e.    Kesatuan kejamaahan sekabupaten
f.    Kesatuan kejamaahan sepropinsi
g.    Kesatuan kejamaahan setanah air
h.    Kesatuan kejamaahan sedunia/global

Pada waktu melaksanakan ibadah Haji, hendaknya Umaraul Hajj dari tiap negara mengangkat pemimpin mereka untuk memimpin diskusi-diskusi mengenai urusan umat Islam sedunia. Maka dengan ibadah haji itu umat Islam seluruh dunia dipersatukan dan dijama’ahkan di dalam kesatuan lembaga kejamaahan Alloh yang tersusun secara piramidal sebagai berikut:

a.    Kesatuan lembaga kejama’ahan Alloh sedunia, yaitu pada baitullah/ Masjidil Haram dan Imamnya
b.    Kesatuan lembaga kejama’ahan Alloh pada baitullah/masjid tingkat nasional dan imamnya.
c.    Kesatuan lembaga kejama’ahan Alloh pada baitullah/masjid tingkat propinsi dan imamnya.
d.    Kesatuan lembaga kejama’ahan Alloh pada baitullah/masjid tingkat kabupaten/kodya dan imamnya.
e.    Kesatuan lembaga kejama’ahan Alloh pada baitullah/masjid tingkat kecamatan dan imamnya.
f.    Kesatuan lembaga kejama’ahan Alloh pada baitullah/masjid tingkat kelurahan/desa dan imamnya
g.    Kesatuan lembaga kejama’ahan Alloh pada baitullah/masjid tingkat kampung dan imamnya.

Kesatuan kejama’ahan Alloh ini itu didasari oleh prinsip-prinsip Ukhuwah Islamiyah, musawah (persamaan), ta’awun (tolong-menolong gotong-royong), takaful ijma’I (senasib sepenanggungan), jihad, ijtihad dan amal (berjuang, berkreasi dan berkarya) fastabiqul khoirot (berlomba-lomba dalam kebajikan), tasamuh (toleransi) dan istiqamah (berdisiplin di atas jalan yang lurus).

3.    Dengan memasuki bulan Muharram, maka umat Islam baik secara mental maupun fisik, baik individu maupun komunitas/jama’ah siap melaksanakan tugas dari Alloh, yakni jihad fii sabilillah, berjuang melaksanakan amanat Alloh untuk membangun dunia dan masyarakat yang hayatan thoyyibah dengan keunggulan syurgawi, yaitu masyarakat yang:

c.    Laa Khaufun ‘Alaihim, yakni masyarakat yang bersatu, aman, damai, tertib, bersih dan berakhlak mulia, bebas dari segala ketakutan dan kekhawatiran, karena keutuhan dan kekuatan jama’ahnya.
d.    Walaahum Yahzanun, yakni masyarakat yang inovatif, dinamis, produktif, efisien, berkeadilan dan berkemakmuran yang merata, bebas dari segala keprihatinan dan penderitaan oleh serba kekurangan, kemiskinan dan ketergantungan.

VI. Tahapan Dakwah Dalam Pembinaan Umat

Menuju ke arah umat yang mandiri merdeka dan kokoh kuat, pembinaan hendaklah dilakukan dengan seksama dan sistematis, tidak asal-asalan. Dengan berbagai masalah yang ada, serta latar belakang yang beragam, perlu kiat tensendiri agar pembinaan umat itu sukses. Salah satu kunci yang terpenting adalah proses pentahapan atau penjenjangan dakwah dan obyek dakwah.  Ada 5 tahapan dakwah dalam pembinaan umat:

1.    Tahapan Tabligh (Tahapan Informasi)

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai, Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Alloh memelihara kamu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah:67)

2.    Tahapan Ta’lim (Tahapan Edukasi)

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. “(QS. Al Jumu’ah:2)

3.    Tahapan Takwin (Tahapan Indoktrinasi)

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran:104)

4.    Tahapan Tanzhim (Tahapan Organisasi)

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ

“Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash Shaff:4)

5.    Tahapan Tanfidz (Tahapan Aplikasi).

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir  itu kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al Anfaal, 8:65)

wallahu a’lam.

Sumber:
1.    Siroh Nabawiyah, Al Buuthi
2.    Siroh Khulafaur Rasyidin
3.    Asaalib Al Ghozwu Al Fikri, Dr. Ali Juraisyah
4.    Fiqhud Dakwah, Dr. Abdul Halim
5.    Peran Etika Dan Moral Dalam Ekonomi Islam, Dr. Yusuf Qordhowi
6.    Minhajul Qoshidin, Ibnu Qudamah
7.    Kuliah Ahlak, Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. MA
8.    Umat Islam Menghadapi Tantangan Millenium Baru, Ceramah KH. Shalahuddin Sanusi pada acara Silaturrahmi Idul Fitri 1420 H Keluarga Besar Yayasan PTDI beserta Ormas Islam dan Parpol Islam.

PENGANTAR USUL FIQH

1. Pengertian Usul Fiqh

Usul Fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Dintinjau dari segi etymologi fiqh bermakna pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan (Lusi Ma’luf: Munjid). Sebagaimana firman Allah surat An Nisa’ ayat 78:

Artinya: “Maka mengapa orang-orang itu (munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.

Juga sabda Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Barang siapa dikehendaki Allah sebagai orang yang baik, pasti Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.

Sedamgkan pengertian fiqh menurut terminologi para fuqaha’ (ahli fiqh) adalah tidak jauh dari pengertian fiqh menurut etymologi. Hanya saja pengertian fiqh menurut termilnologi lebih khusus dari etymologi. Figh menurut terminologi adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (detail).(Abu Zahrah: Usul Fiqh).

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa pembahasan ilmu fiqh meliputi dua hal:
1.    Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ meneganai perbuatan manusia yang praktis. Oleh karena itu ia tidak membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan I’tiqad (keyakinan.
2.    Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terinci pada setiap permasalahan.  Misalnya bila dikatakan bahwa memakan harta benda orang lain secara tidak sah itu adalah haram, maka disebutkan pula dalilnya dari AL Qur’an yang berbunyi:

Artinya: Dan janganlah kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu denga yang lain secara bathil. (2:188).

Dari sini dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia sama ada halal. Haram, makruh atau wajib beserta dalilnya masing-masing.

Adapun pengertian “ashl” (jamaknya ushul) menurut ethimologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu (Luis Ma’luf: Kamus Munjid). Pengertian tersebut tidak jauh dari pengertian ushul secara terminologi yaitu dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh.
Untuk itu  Ali Hasaballah dalam buku Ushul Al Tasri’ Al Islami mendefinisikan Ushul Fiqh adalah:

Artinya:  Kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan amaliah (mukallaf) dari dalil-dalil yang terperinci. Dengan kata lain kaidah-kaidah yang dijadikan metode untuk menggali hukum fiqh.
Sebagai contoh. Ushul fiqh menetapkan bahwa perintah (amar) itu menunjukkan wajib dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram.

Jika seorang ahli fiqh akan menetapkan hukumnya shalat, apakah wajib atau tidak maka ia akan mengemukakan firman Allah SWT di dalam surat Rum 31, Mujadalah 13 dan Al Muzammil 20 yang berbunyi :

Artinya: Dirikan Shalat
Perintah untuk menjauhi berarti larangan untuk mendekatinya, dan tidak ada bentuk larangan yang lebih kongkrit dari larangan tersebut.
Dari contoh diatas jelaslah perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh, bahwa ushul fiqh merupakan metode (cara) yang harus ditempuh ahli fiqh di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syara’, serta mengklasifikasikan dalil-dali tersebut bedasrkan kualitasnya. Dalil Al Qur’an harus didahulukan  dari pada qiyas serta dalil-dalil yang tidak berdasr kepada Al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan Fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan methode-methode tersebut.

2. Hubungan Ushul Fiqh dengan Fiqh dan fungsi Ushul Fiqh.

Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu mathiq (logika)  dengan filsafat, bahwa mantiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal agar tidak ada kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan antara ilmu nahwu dalam bahasa arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatikal yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa arab.  Demikian juga Ushul Fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistimbatkan (menggali) hukum.

Disamping itu fungsi Ushul Fiqh itu sendiri adalah untuk membedakan istimbath yang benar atau salah yang dilakukan oleh fuqaha’.

3. Objek Pembahasan Ushul Fiqh

Objek Ushul Fiqh berbeda dengan Fiqh. Objek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci. Manakala objek ushul fiqh mengenai metdologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua-dua disiplin ilmu tersebut sama –sama membahas dalil-dalil syara’ akan tetapi tinjauannya berbeda.  Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta siatuasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dali tersebut.
Jadi objek pembahasan ushul fiqh bermuara pada hukum syara’ ditinjau dari segi hakikatnya, kriteria, dan macam-macamnya. Hakim (Allah) dari segi dalil-dali yang menetapkan hukum, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani hukum) dan cara untuk menggali hukum yakni dengan berijtihad.

Ada beberapa peristilahan mendasar yang perlu di ketahui dalam ilmu ushul fiqh ini:
1. Hukum Syar’i
Di dalam bahasa arab arti lafaz al hukm adalah menetapkan sesuatu di atas sesuatu (….) atau dengan kata lain memberi nilai terhadap sesuatu. (Alyasa’ Abubakar: Ushul Fiqh I). Seperti ketika kita melihat sebuah buku lalu kita mengatakan “buku itu tebal” maka berarti kita telah memberi hukum (menetapkan atau memberi nilai) tebal kepada buku tersebut.
Ada beberapa definisi secara istilah yang dikemukakan oleh para ulama tentang hukum. Menurut Ali Hasaballah, Al Hukm adalah:

Artinya:  Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang berisi perintah, keizinan (melakukan atau meninggalkan sesuatu) ataupun perkondisian tertentu.

Dari definisi diatas ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian hukum:
1.    Firman Allah : Yaitu yang berwenang membuat hukum adalah Allah. Secara otomatis bersumberkan kepada Al Qur’an, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.    Perbuatan Mukallaf, adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sudah dewasa (baliqh) meliputi seluruh gerak gerinya, pembicaraan ataupun niat.
3.    Berisi Perintah (larangan) dan keizinan memilih. Iqtidha’ dalam definisi diatas bermakna perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan. Begitu juga berlaku mutlak atau hanya sebatas anjuran. Dari sini lahirlah apa yang kita kenal pekerjaan wajib, mandub (sunat), haram, makruh. Manakala takhyir bermakna adanya keizinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dengan kata lain kedua pekerjaan tersebut sama saja dikerjakan atau tidak dikerjakan. Dalam bahasa arab dikenal dengan mubah sedangkan keizinannya dinamakan ibahah. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum taklifi.
4.    Berisi perkondisian sesuatu. Yaitu kondisi hukum terhadap sesuatu itu sangat tergantung oleh sebab, syarat atau mani’ (larangan). Artinya  ada satu kondisi yang harus dipenuhi sebelum pekerjaan dilakukan oleh seseorang. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum wadh’i.

2. Hakim (Pembuat Hukum)
Pengertian hukum menurut ulama ushul adalah Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim adalah Allah.  Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim adalah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah. Al Qur’an telah mengisyaratkan hal ini dengan firman Allah:

Artinya: Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (al An’am: 57).
3. Mahkum Fih (objek hukum)
Mahkum fih sering juga disebut mahkum bih ialah:  objek hukum syara’ atau perkara-perkara yang berhubungan dengannya.  Objek hukum yang  menjadi pembahasan ulama ushul hanyalah terbatas pada perbuatan orang-orang mukallaf. Ia tidak membahas hukum wadh’i (perkondisian ) yang berasal bukan dari perbuatan manusia. Seperti bergesernya matahari dari cakrawala dan datangnya awal bulan. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa mahkum fih: Perbuatan orang mukallaf yang menjadi objek hukum syara’, baik berupa perintah, larangan maupun kebolehan.

4. Mahkum alaih (Subjek Hukum)
Mahkum alaih adalah  subjek hukum yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan-perbuatan taklif.  Jika mahkum fih berbicara mengenai perbuatan mukallaf maka mahkum alaih berbicara mengenai orangnya, karena dialah orang yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak.

4. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh.

Ilmu ushul fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih duluan dibukukan lebih dahulu daripada ilmu ushul fiqh. Karena dengan tumbuhnya ilmu Fiqh, tentu adanya metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Dan metode ini tidak lain adalah ushul fiqh.
Pada masa rasul penggalian hukum langsung dilakukan oleh Rasul, yang mana Allah langsung memutuskan perkara-perkara yang timbul melalui wahyu. Penggalian hukum fiqh baru mulai setelah wafatnya Rasulullah SAW disaat timbulnya berbagai masalah yang tidak pernah terjadi pada masa Rasul.  Para sahabat yang tergolong fuqaha seperti Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab melakukan ijtihad untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Tentunya di dalam berijtihad ini mereka mempunyai metode, dasar dan batasan dalam mengambil satu keputusan. Seperti Keputusan umar bin khattab tidak memebrikan hak zakat kepada mu’allaf. Ali bin abi Thalib menambah had (hukuman campuk) bagi yang meminum khamar dari 40 kali pada masa rasullah menjadi 80 kali. Dari perbuatan sahabat tersebut menunjukkan bahwa ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan hukum. Ini menunjukkan ijtihad para sahabat itu mempunyai kaedah yang sekarang dikenal dengan ushul, walaupun pada waktu itu ilmu ini belum dikenal.
Pada masa tabi’in penggalian hukum syarak semakin luas seiring dengan makin banyaknya permasalahan yang timbul. Karena  banyaknya masalah yang timbul dan penyelesaian yang ditempuh para ulama sangan berfariasi, Ali Hasaballah mengambarkan kedahsyatan yang berlaku saat itu adalah “ pada satu daerah, ada satu perbuatan yang ditetapkan haram melakukannya, akan tetapi pada daerah lain dibolehkan”. Hal seperti menimbulkan kecauan yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat muslim. Dikarenakan tidak adanya parameter tertentu dalam mengistimbathkan hukum. Para ulama mengisthimbatkan hukum atas parameter masing-masing.
Akhirnya pada priode berikutnya, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hukum ini semakin banyak dan mereka membuat kaidah-kaidah dan petunjuk tertentu dalam  berijtihad.  Seperti Imam Abu Hanifah membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan al Qur’an, hadist dan fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati. Sedang fatwa yang diperselisihkan, dia bebas  memilihnya. Manakala Imam Malik menjadikan amal ahlul madinah sebagai landasan hukum. Kedua imam ini telah menggariskan cara dan metode mereka dalam mengistimbathkan hukum tapi mereka belum menyebutnya dengan usul fiqh.
Akhirnya sampailah peran Imam Syafi’i, yang bermaksud mengkodifikasikan (membukukan) ilmu ushul fiqh. Mulailah ia menyusun metode-metode penggalian hukum syara’, sumber-sumber fiqh dan petunjuk-petunjuk ilmu fiqh. Kitab ushul fiqh pertama sekali dikeluarkan adalah “al Risalah”. Inilah kitab pertama yang khusus berbicara tentang ushul fiqh dengan membahas berbagai metode istimbath hukum.
Dan dikemudian hari pengikut mazhab membuat metode ushul masing-masing mengikut imam Mazhabnya sendiri. Setiap kaedah selalu lahir/timbul lebih akhir dari pada materi.

MENYOAL DAMPAK SELINGKUH

Islam adalah nizam (aturan) hidup yang paripurna, universal, dan integral. Tidak ada satu dimensi kehidupan pun yang tidak tersentuh oleh nilai-nilai kebenaran ilahiah yang ada dalam Islam. Islam sendiri merupakan solusi atas problematika kehidupan manusia, seperti demoralisasi yang saat ini menggelembung dalam kisi-kisi kehidupan masyarakat. Tidak ada solusi yang paling baik dan benar selain Islam untuk mengatasi dekadensi moral yang merambah setiap dimensi: mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, hingga kehidupan masyarakat; mulai dari dimensi politik sampai dimensi sosial-budaya; dan mulai dari dimensi ekonomi hingga dimensi militer. Seluruhnya hanya dapat diatasi dengan kembali berpegang teguh kepada nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan Islam. Al-Qur`an menjelaskan,

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maa`idah: 50)

Dewasa ini dunia diguncang oleh gelombang demoralisasi yang dahsyat. Demoralisasi ini semakin hari semakin merambah dan merasuki jantung kehidupan serta—tidak ketinggalan—panggung sosial kita. Panggung ini telah diwarnai kisah klasik pemerkosaan, perzinaan, perselingkuhan, dan drama pergaulan bebas. Akhirnya, anak-anak tidak berdosa yang lahir tanpa ayah semakin banyak. Mereka banyak yang telantar karena ayah mereka mengikuti “pendatang baru” (wanita idaman lain) yang dikaguminya. Banyak problem yang berkaitan dengan dekadensi moral lainnya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perceraian, perzinaan, dan perselingkuhan. Sepanjang tahun 1986 saja telah tercatat angka perceraian yang diakibatkan perzinaan, yaitu mencapai angka dua persen dari 140 ribu-an kasus perceraian di Indonesia (2.800 perceraian). Hal yang perlu diingat: jika dari 2.800-an orang yang melakukan perceraian ini, tiap lima orangnya membuahkan seorang anak, maka dalam setahun terdapat lebih dari 500-an anak lahir akibat perzinaan. Meskipun demikian, angka ini masih relatif kecil bila dibandingkan dengan yang terjadi di beberapa negara. Misalnya, di Prancis, jumlah anak-anak yang lahir tanpa kejelasan orang tua mereka mencapai 30%, Austria 50% dan di Belgia 60% (Saksi, No.7, tahun III, hlm.24, 19 Desember 2000).

Ditambah lagi, gelombang aborsi melanda pula kehidupan sosial kita saat ini. Hampir setiap tahun, bahkan bisa dikatakan setiap bulan, masalah aborsi selalu mencuat menghiasi halaman-halaman media cetak kita. Iblis aborsi yang dilakukan sebagian anak manusia ini sulit dipisahkan dengan yang namanya setan perselingkuhan dan pergaulan bebas. Hal itu disebabkan melalui dua muara inilah muncul saluran aborsi yang sangat deras, seolah-olah tidak mampu terbendung oleh kantong-kantong perasaan takut akan dosa. Aborsilah yang senantiasa menambah deretan angka dosa yang dilakukan anak Adam karena pihak keluarga tidak mau menanggung malu dan gunjingan orang lain. Terlebih lagi hal ini didukung oleh klinik-klinik yang telah melakukan praktik haram, seperti klinik Hermina yang berada di kawasan Tanah Tinggi, Jakata Pusat, beberapa tahun lalu. Begitu juga klinik lain atau rumah berkedok tempat pelayanan jasa atau pelayaanan sosial dan kesehatan, sebagaimana yang tejadi di daerah Kelapa Gading. Sebuah rumah telah berubah fungsi sebagai tempat melakukan praktik haram tersebut.

Meskipun demikian, di negeri kita angka tersebut masih relatif kecil dibanding negara-negara lain. Misalnya, di Amerika, angka aborsi mencapai 29%, Denmark 27%, Italia 25,7%, Swedia 24,9%, dan Jepang 27%. Namun, bisa dipastikan gerakan aborsi ini akan meningkat terus seiring bermunculannya multimedia yang mendukung lahirnya akar permasalahan aborsi, yaitu perselingkuhan dan pergaulan bebas.

Begitulah wajah dunia kita sekarang. Dunia yang gegap-gempita dengan ribuan jenis demoralisasi yang mewarnai setiap dimensi kehidupan.

B. SELINGKUH: HUKUM, SEBAB, DAN DAMPAKNYA

Selingkuh identik dengan affair. Selingkuh juga bisa diartikan hubungan intim atau penyelewengan yang dilakukan istri dengan PIL (pria idaman lain) atau suami dengan WIL (wanita idaman lain).

Perselingkuhan yang mencapai fase berhubungan intim adalah sama dengan perzinaan yang diharamkan dan dilarang, meskipun itu dilakukan dengan “suka sama suka”. Masalahnya, pada sebagian negara di dunia ini, termasuk negara kita, perselingkuhan masih belum dianggap problem yang membahayakan sebelum berdampak langsung kepada keluarga. Beda halnya dengan pemerkosaan. Semua orang menganggap bahwa yang disebut pemerkosaan adalah perbuatan bejat, hina, dan amoral yang membahayakan serta membuat obyeknya mengalami depresi yang berat. Lebih aneh jika ada suami-istri yang melegalkan perselingkuhan selama tidak menganggu keharmonisan dan keutuhan keluarga alias saling rela.

Perselingkuhan telah mewabah dalam kehidupan sosial kita. Perselingkuhan tidak pernah mengenal status sosial, tingkat pendidikan, taraf hidup, usia, kelamin, ataupun profesi. Oleh karena itu, hasil penelitian yang dilakukan “Frontier” menunjukkan bahwa 4 dari 5 eksekutif melakukan penyelewengan atau perselingkuhan. Berbeda dengan yang dikatakan Dokter Boyke Dian Nugraha. Ia mengakui bahwa tingkat perselingkuhan di kalangan orang bekerja lebih tinggi. Dokter ini menyitir dari sebuah survai yang dilakukan di Jakarta, diperoleh data bahwa 2 dari 5 wanita bekerja yang disurvai pernah terlibat perselingkuhan sampai tahapan berhubungan intim (zina/making love). Sementara itu, di kalangan pria bekerja didapatkan data bahwa 4 dari 5 pria yang disurvai pernah berselingkuh hingga tahapan zina (SWA 20/XVI/5-18 Oktober 2000, hlm. 24).

Majalah SWA menuliskan sebagai berikut.

“Adri (bukan nama sebenarnya), 45 tahun, manajer bank swasta nasional di Jalan Kebon Sirih, berputra tiga orang. Sudah lima tahun ini ia mengaku berbuat selingkuh tanpa sepengetahuan istrinya. Pasangannya adalah teman dekatnya atau wanita karir yang dikenalnya lewat pertemuan bisnis. Pria yang menghabiskan 2-3 juta rupiah per bulan untuk biaya selingkuh ini mengaku membutuhkan pasangan yang serasi dan sesuai, mulai dari obrolan, penampilan, dan kebutuhannya.

Lain lagi dengan Mira (bukan nama sebenarnya), 35 tahun, periset di lembaga riset pemasaran terkemuka, yang sedang dalam situasi kecanduan seks. Awalnya, diakui Mira, ia dan pria pasangan intimnya—kebetulan atasannya—sering bersama-sama bertugas ke luar kota. “Karena saking kulino dan merasa kesepian, maka kami melakukannya.” Akhirnya, Mira merasa seks bak candu yang membuatnya ketagihan hingga merasa perlu mempunyai dua pasangan tetap, seorang sudah berkeluarga dan seorang lagi masih bujangan.

Masih banyak Adri dan Mira lain yang kita temukan dalam lingkungan kerja atau bisnis di sekitar kita. Lebih-lebih bagi yang memiliki banyak uang dan memiliki kesempatan, yang disertai lemahnya iman. Orang ini akan sangat mudah terperangkap dalam jaring iblis perselingkuhan. Itulah gambaran perbuatan selingkuh yang telah membudaya di kalangan eksekutif kita dan yang telah menjadi nafas sehari-hari kehidupan sosial kita.

C. ISLAM MEMANDANG SELINGKUH

Selingkuh, baik yang masih dalam taraf coba-coba atau yang sudah sampai tahap hubungan intim, hukumnya haram.

Islam tidak saja melarang perzinaan, melainkan lebih jauh melarang umatnya mendekati perzinaan itu sendiri. Artinya, Islam menganjurkan umatnya untuk menjauhi perangkap-perangkap setan sebelum perzinaan. Maka, kita dilarang memandang wanita ajnabiah, ber-khalwat (berduaan), berjabat tangan, dan lain-lain yang menggiring manusia ke jurang kenistaan dan kehinaan zina. Perhatikan ayat-ayat Allah SWT dan hadits–hadits Nabi berikut ini.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan hijab ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (an-Nuur: 30-31)

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (al-Israa`: 32)

“Ya, Ali, janganlah kamu mengikuti pandangan dengan pandangan yang lain, sesungguhnya bagimu pandangan pertama bukan pandangan yang terakhir.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)

“Sesungguhnya pandangan itu (memandang wanita lain) adalah anak panah iblis yang beracun. Maka, barangsiapa yang meninggalkannya karena takut pada-Ku niscaya Aku akan menggantinya dengan keimanan yang mampu mendatangkan kelezatan dalam hatinya.” (HR at-Thabrani)

“Setiap mata melakukan zina, dan wanita apabila memakai wewangian dan lewat di depan majelis (tempat berkumpulnya laki-laki) niscaya ia melakukan yang demikian dan yang demikian itu (zina).” (HR at-Tirmidzi)

“Janganlah laki-laki berduaan dengan wanita yang tidak halal baginya kecuali dengan mahramnya, karena yang ketiga adalah setan.” (HR Ahmad dan Syaikhan)

Beberapa ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk menjauhi hal-hal atau langkah-langkah yang mendekati perzinaan. Ibarat kata pepatah “gunung yang besar itu dari kerikil kecil, api besar yang membara itu dari api kecil.” Maka, perbuatan zina itu juga lahir dari proses yang panjang, yang terkadang sebagian orang menganggap sesuatu yang biasa, seperti memandang, bercanda, makan malam, dan seterusnya.

Untuk jelasnya, perzinaan lahir dari sebuah proses perilaku dengan urutan-urutan sebagai berikut.

“Pandangan akan berubah menjadi lintasan pikiran; lintasan pikiran ini akan meningkat menjadi endapan-endapan yang melahirkan keinginan untuk menyapa, berbicara, kemudian perjanjian dan selanjutnya kencan. Ketika hati sedang jauh dari nilai-nilai kebenaran, maka kehendak yang melebihi kencan akan diputuskan oleh hati yang sedang galau dan jauh dari nilai Islam. Akhirnya, apa yang dirindukan setan akan terealisasi.”

D. SEBAB-SEBAB SELINGKUH

Secara singkat, kita dapat mengkonklusikan bahwa faktor-faktor atau sebab-sebab yang mempengaruhi perselingkuhan ada dua macam: sebab-sebab internal dan eksternal.

1. Sebab-sebab Internal

Petama, lemahnya iman. Keimanan seseorang merupakan benteng yang kokoh antara dirinya dan nilai-nilai negatif yang akan mempengaruhinya. Ketika iman tidak bekerja dalam ruang kehidupan seseorang, maka akan muncul keinginan-keinginan dan kehendak-kehendak negatif yang akan diputuskan oleh hati yang sedang sakit. Sabda Rasulullah saw.,

“…Ingatlah, sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging. Apabila ia baik maka jasad (tindakan) semua akan baik, (sebaliknya) apabila ia rusak maka seluruh jasad (tindakan) akan rusak. Itulah hati.” (HR Muslim)

Artinya, hati yang didominasi nilai keimanan dan ketakwaan akan berbanding lurus dengan kebaikan-kebaikan yang ada. Ia tidak akan penah memutuskan kehendak hewani, pikiran yang jorok, dan syahwat untuk menikmati hal-hal yang diharamkan Islam.

Oleh karena itu, seorang muslim yang memiliki ketahanan iman yang kuat niscaya akan menahan gejolak nafsu berahi di luar bingkai Islam, kapan pun dan di mana pun. Inilah muslim yang cerdas dalam menyikapi kehidupan yang telah digambarkan Rasul kita.

“(Siapa orang yang cerdas dan kuat itu?) Beliau menjawab, ‘Orang yang cerdas (al-Kaiyis) itu adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya dan selalu beramal untuk hari kematiannya, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berandai-andai kepada Allah SWT.” (HR at-Tirmidzi, ia berkata, ‘Hadits hasan sahih’)

Kedua, upaya coba-coba. Ada sebagian pria dan wanita yang melakukan perselingkuhan hanya karena ingin mencobanya. Hal ini seperti yang diungkapkan Dokter Boyke, “Dari kasus selingkuh yang terjadi, banyak yang awalnya coba-coba, meskipun faktor kebosanan terhadap pasangan tetap ikut berperan.”

Namun, kalau kita kembali kepada masalah iman dan ketakwaan, mustahil orang melakukan hal itu selagi cahaya iman masih memancar dalam lubuk hatinya. Sesungguhnya, seorang muslim tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak memberikan faedah, apalagi yang berhubungan dengan dosa-dosa besar. Rasulullah saw. bersabda,

“Termasuk kebaikan seorang muslim apabila ia meninggalkan hal-hal yang tidak befaedah.” (HR at-Tirmidzi)

Ketiga, ketidakcocokan dan kebosanan terhadap pasangan. Keharmonisan, ketenteraman, dan kedamaian merupakan sesuatu yang asasi harus dimiliki oleh sebuah rumah tangga. Hal ini ditujukan bagi suami-istri yang menginginkan bahtera keluarga berlayar tanpa menghadapi gelombang-gelombang besar yang membahayakan mereka.

Keharmonisan tidak akan ada jika ketidakcocokan selalu mewarnai rumah tangga. Lebih-lebih yang berkaitan dengan visi dan misi rumah tangga atau yang berkaitan dengan gaya hidup. Cahaya ketenteraman dan kedamaian sedikit demi sedikit mulai redup tatkala kebosanan mulai menutupinya. Selanjutnya, kecintaan dan kasih sayang pasti perlahan-lahan akan meninggalkan ruang keharmonisan keluarga. Akhirnya, pasangan suami-istri ini masing-masing akan mencari suasana baru meskipun diharamkan dalam agama. Dari sinilah mereka mulai melampiaskan keinginan dan hasratnya ke tempat-tempat hiburan untuk menghilangkan kejenuhan dan kebosanan yang ada dalam diri masing-masing. Maka, lahirlah gelombang perselingkuhan dan pergaulan bebas melalui proses panjang yang diawali dengan ketidakcocokan dan kebosanan dalam mahligai rumah tangga.

2. Sebab-sebab Eksternal

Sebab-sebab eksternal yang dominan adalah lingkungan yang kondusif untuk melakukan selingkuh—selingan indah keluarga runtuh—serta ajakan teman yang telah menikmati budaya perselingkuhan ini. Dokter Boyke berkomentar,

“Faktor yang paling sering menjadi penyebab terjadinya penyelewengan seks adalah lingkungan, termasuk lingkungan kerja. Pengaruh lingkungan masih sangat kuat, seperti yang dialami oleh eksekutif wanita yang memiliki tujuh rekan wanita, yang semuanya berselingkuh. Ia pun didorong-dorong melakukannya, malahan kalau tidak bersedia ia dilecehkan.”

E. DAMPAK SELINGKUH

Secara garis besar, selingkuh memberikan dampak-dampak negatif sebagai berikut:

– Budaya zina akan meningkat;

– Gelombang aborsi makin membesar;

– Angka perceraian akan meningkat;

– Keluarga berantakan;

– Anak-anak tanpa kasih sayang orang tua dan telantar; dan

– Dendam yang mengakibatkan pembunuhan kekasih gelap (PIL/WIL)

Solusi

Dari uraian di atas, kita dapat mengkonklusikan bahwa perselingkuhan yang sedang membudaya di tengah-tengah kehidupan sosial kita ini bisa diobati melalui solusi sebagai berikut.

– Meningkatkan keimanan dan ketakwaan dengan berbagai bentuk ibadah yang terdapat dalam Islam. Selain itu, ia harus meyakini bahaya yang akan ditimbulkan akibat perbuatan ini, yang tidak hanya berdampak kepada dirinya sendiri. Ia pun harus takut akan ancaman Allah di akhirat kelak.

– Bergaul dengan orang-orang yang saleh.

– Untuk mengantipasi ajakan teman melakukan perbuatan haram ini, ia harus mencari teman yang baik, teman yang mampu memberikan nilai kebaikan selama ia bersamanya. Allah berfirman,

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (al-Kahfi: 28)

– Mencari pasangan dengan cara islami.

Adalah sebuah fenomena di kalangan wanita: ada yang lebih suka melihat suaminya melakukan zina atau “jajan” di luar daripada berpoligami, atau ada suami yang merelakan istrinya melakukan hubungan intim dengan orang lain. Ini adalah fenomena yang tidak pernah tercatat dalam kamus kehidupan muslim. Tentunya, dalam hal ini suami harus mampu menegakkan nilai keadilan atau pinsip-pinsip dasar yang dituntut dalam berpoligami. Allah SWT berfirman,

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (an-Nisaa`: 3)

Maka, dengan langkah-langkah seperti ini, kita berharap masyarakat semakin bersih dari budaya-budaya negatif, mulai dari budaya pacaran, pergaulan bebas, perselingkuhan, hingga perzinaan.

MENGHINDARI JIMAT, JAMPI, PERDUKUNAN DAN PARANORMAL

Bertawakkal dan berpegang teguh hanya kepada Allah dalam semua urusan adalah prinsip dasar keimanan. Firman Allah :

“ Karena itu, hendaklah kepada Allah saja, orang –orang mukmin bertawakkal” QS. 3:160

“ Dan hanya kepada Allah, hendaklah kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang beriman” QS. 5:23

“Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya” QS. 65:3

Penggunaan sarana-sarana untuk mencapai tujuan dengan tetap berkeyakinan – bahwa keberhasilannya tergantung pada Allah- tidak menafikan makna tawakkal. Rasulullah SAW orang yang paling bertawakkal kepada Allah tetap menggunakan sarana-sarana fisik untuk memenuhi kebutuhannya seperti berobat sewaktu sakit, dsb.

Penggunaan sarana-sarana jahiliyyah untuk mencapai tujuan, tidak diperbolehkan bagi setiap muslim, bahkan ia wajib menolak dan memeranginya. Demikianlah yang pernah dilakukan oleh Nabi beserta para sahabatnya. Islam memberikan penjelasan yang membedakan cara jahiliyyah dan Islamiyyah dalam hal jimat dan jampi untuk menjaga dan melindungi aqidah ummat dari keterpurukan syirik.

Ta’rif dan Hukumnya

1. AT TAMA’IM/JIMAT

At Tama’im adalah bentuk jama’ dari kata Tamimah, yaitu untaian batu atau semacamnya yang oleh orang Arab terdahulu dikalungkan pada leher, khususnya anak-anak, dengan dugaan ia bisa mengusir jin, atau menjadi benteng dari pengaruh jahat, dan semacamnya. Dalam bahasa kita sering disebut dengan jimat, atau pusaka.

Tradisi ini kemudian dibatalkan oleh Islam. Bahwa tidak ada yang bisa menolak dan menghalangi bahaya kecuali Allah. (QS. 6:17) Sabda Nabi :

Dari Uqbah bin Amir, ia berkata : Rasulullah saw bersabda: “ Barang siapa menggantungkan tamimah (jimat) semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya, dan barang siapa menggantungkan wada’ah (sesuatu yang diambil dari laut, menyerupai rumah kerang. Menurut anggapan jahiliyah dapat digunakan sebagai penangkal penyakit) semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya”. HR. Ahmad.

Termasuk dalam pengertian tamimah adalah : jami’ah (aji-ajian terbuat dari tulisan), khorz (jimat penangkal terbuat dari benda-benda kecil dari laut dan semacamnya), hijab (jarum tusuk atau semacamnya yang diyakini bisa membentengi diri) dan semacamnya.

Jika tamimah terbuat dari ayat-ayat Al Qur’an, atau memuat nama-nama dari sifat Allah, ulama salaf berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian memperbolehkan dan sebagian lain melarang, dengan alasan :

a. Umumnya dalil yang melarang bentuk tamimah

b. Saddudz-Dzari’ah (preventif), karena memperbolehkan tamimah dari Al Qur’an akan membuka peluang dari selainnya.

c. Diperbolehkannya tamimah dari Al Qur’an, menjadi bentuk pelecehan Al Qur’an. Karena pemakainya akan membawanya ke tempat-tempat najis atau sejenisnya. Seperti waktu buang hajat, haidh, junub, dan sebagainya.

d. Tamimah dengan Al Qur’an akan berdampak pada pengecilan peran dan tujuan Al Qur’an diturunkan. Sebab Al Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk,bukan untuk tamimah dan isi kalung.

2. RUQYAH/JAMPI-JAMPI

Ruqyah adalah kalimat-kalimat atau gumaman-gumaman tertentu yang biasa dilakukan orang jahiliyah dengan keyakinan bisa menangkal bahaya, menyembuhkan penyakit, dsb, dengan meminta bantuan kepada jin, atau dengan menyebut nama-nama asing dan kata-kata yang tidak difahami. Islam melarang perbuatan ini, sebagaimana dalam sabda Nabi :

“Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah (sesuatu yang dibuat/dibikin dengan anggapan menjadikan suami/istri mencintai pasangannya, sering disebut :guna-guna/pelet ) adalah syirik” HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibn Majah.

Ruqyah yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah ruqyah yang berisi permohonan pertolongan kepada selain Allah.

Adapun ruqyah yang menggunakan Asma, sifat, firman Allah, dan pernah dicontohkan Rasulullah , maka hukumnya jaiz/boleh, bahkan dianjurkan. Seperti yang ditunjukkan oleh hadits Imam Muslim :

Dari Auf bin Malik ra, berkata:”Saya pernah meruqyah di masa jahiliyyah, lalu saya bertanya kepada Rasulullah: “Bagaimana menurutmu Ya Rasulallah? Sabda Nabi : “Tunjukkan kepadaku jampi-jampi kalian, tidak apa-apa selama tidak mengandung syirik”.

Dengan demikian hukum mantera ada dua macam : haram dan halal.

a. Haram

Mantera/jampi yang haram adalah yang di dalamnya terdapat permohonan bantuan kepada selain Allah, atau dengan selain Bahasa Arab. Mantera yang demikian bisa menyebabkan kafir atau ucapan yang mengandung syirik.

b. Halal/boleh

Imam Nawawi, Ibn Hajar, dan As Suyuti memperbolehkan ruqyah selain yang tersebut di atas dengan syarat :

1. menggunakan kalamullah, asma’ atau sifat-Nya

2. menggunakan Bahasa Arab dan diketahui maknanya

3. berkeyakinan bahwa ruqyah tidak mempunyai pengaruh dengan sendirinya, akan tetapi karena taqdir Allah.

3. AR RAML/MERAMAL

Ar Raml adalah cara mencari barang yang hilang dengan cara membuat garis-garis di atas pasir/tanah.. Termasuk dalam kategori ini adalah ramalan bintang/astrologi, yang dalam agama dikenal dengan istilah tanjim. Perbuatan ini termasuk dalam kategori sihir dan dajl (kebohongan besar). Rasulullah bersabda :

“Barangsiapa mengutip ilmu (pengetahuan) dari bintang, ia telah mengutip satu cabang dari sihir, ia bertambah sesuai dengan tambahan yang dikutip”. HR. Abu Daud, Ibn Majah, Ahmad

Hadits ini ditujukan kepada orang yang mempelajari aspek perbintangan yang bisa menghantarkan kepada kekufuran, seperti mengklaim ilmu ghaib. Hal ini termasuk sihir dan syirik, sebab tidak ada yang mengetahui alam gaib selain Allah.

Hadits ini tidak ditujukan kepada orang yang mempelajari jarak bintang, posisi, ukuran besar, daerah edarnya dan semacamnya, yang bisa diketahui dengan pengamatan, teleskop dan semacamnya yang dikenal dengan ilmu falak (astronom). Sebab ilmu ini memiliki dasar kaidah dan sarananya.

Perbuatan yang sama dengan tanjim adalah kahanah dan arrafah, pelakunya disebut Kahin dan Arraf.

Kahin adalah orang yang menginformasikan tentang hal-hal gaib di masa datang, atau yang menginformasikan tentang sesuatu yang ada pada hati manusia.

Arraf adalah nama yang mencakup Kahin, Munajjim (pelaku tanjim)Rammal (peramal) dan semacamnya, yang mengaku mengetahui ilmu gaib, baik tentang masa datang atau yang ada pada hati manusia, baik dengan cara berhubungan dengan jin, atau melihat (mengamati) atau dengan menggaris-garis di pasir, atau membaca telapak tangan, lepek (tatakan gelas) atau benda lainnya. Rasulullah SAW bersabda tentang mereka:

“Siapa yang mendatangi Arraf lalu ia menanyakan sesuatu dan membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari” HR. Muslim dan Ahmad.

“Barangsiapa mendatangi Kahin (dukun) lalu ia membenarkan apa yang diucapkannya, niscaya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW. HR. Abu Dawud, at Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad dan Ad Darimiy.

Demikian ini keadaan orang yang mendatangi dukun. Bagaimana dengan yang ditanya (dukunnya)? Perbuatan demikian dilarang dalam Islam dan dianggap kufur terhadap ajaran yang diturunkan kepada Muhammad, karena dalam ajaran itu ditegaskan bahwa tidak ada yang mengetahui ilmu gaib selain Allah SWT.

Pola perdukunan di masa Jahiliyah terbagi dalam tiga macam :

1. Bekerja sama dengan jin, yang memberikan informasi kepada dukun itu, setelah mencuri informasi dari langit.

2. Memberitahukan sesuatu yang diketahui dan pernah terjadi di wilayah lain, kepada orang yang bertanya sesuatu kepadanya.

3. Munajjim, dengan menggunakan bintang-bintang.

Wallahu a’lam

Memuliakan Keluarga, Tetangga Dan Teman

Pendahuluan

Islam turun sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana yang disebutkan Allah Taala kepada Rasulullah saw.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya: 107)

Dengan misi yang sangat mulia itulah, dapat dipahami bahwa syariat Islam akan  memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap  segala hal yang terkait dengan tindakan-tindakan yang akan membuahkan hasil berupa rahmatan lil ‘alamin. Sebagai salah satu dari implementasi misi rahmatan lil ‘alamin Islam sangat memperhatikan pola hubungan antar manusia (mu’amalah insaniyah).

Dalam makalah yang ringkas ini, akan dibahas bagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk memuliakan keluarga, tetangga dan teman sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kehidupan sosial yang penuh dengan kedamaian dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

 

Memuliakan Keluarga

1. Hubungan suami-istri

Perhatian terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga diingatkan dengan sangat jelas dalam Al-Qur’an mengenai hakikat dan tujuan pembentukan keluarga itu sendiri. Perhatikan firman Allah Taala dalam Ar-Rum: 21

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Dengan demikian, sakinah, mawaddah dan rahmah  merupakan suatu kondisi yang hendaknya diciptakan oleh pasangan suami isteri di dalam  rumah tangganya, dan ini     memerlukan suatu upaya-upaya yang sistematis dan konstruktif dari kedua belah pihak. Tuntunan interaksi harmonis suami isteri dapat kita lihat dalam beberapa pesan Al-Qur’an dan Hadis:

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

“… mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…” (Q.S. Al-Baqarah: 187)

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. “ (QS AnNisaa:19)

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“…Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka…” (Q.S. An-Nisaa: 34)

“Tidakkah mau aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dijadikan bekal seseorang? Wanita yang baik (shalihah): jika dilihat (suami) dan jika (suami) meninggalkannya ia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (H.R. Abu Dawud dan Nasa’i)

“ Janganlah seorang (suami) mukmin membenci seorang (istri) mu’minah. Jika ia tidak suka dengan salah satu perilakunya, ia dapat menerima perilakunya yang lain (H.R. Muslim)

“Takutlah kepada Allah dalam (memperlakukan ) wanita karena kamu mengambil mereka dengan amanat Allah, dan engkau halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kewajibanmu adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik”

“Sesungguhnya aku berdandan untuk istriku, sebagaimana dia berdandan untukku” (Perkataan Ibnu Abbas RA)

2. Memuliakan anak

Memuliakan keluarga juga berarti meningkatkan kualitas hubungan antara orang tua dan anak. Dalam  hal ini, patokan paling utama adalah perintah Allah Taala kepada orang-orang beriman untuk menjaga keselamatan keluarganya dari api neraka (Q.S. At-Tahrim: 6 ). Sungguh menjadi kewajiban orang tua untuk menjadikan anak-anak mereka orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Memuliakan anak berarti memenuhi hak-hak mereka, bahkan sejak  awal kehidupan  mereka dimulai yakni:

Menerima kelahiran mereka dengan penuh sukacita, tidak boleh menolaknya. Sabda Nabi: Barang siapa yang mengingkari anaknya, sedang anak itu mengetahuinya maka Allah akan menutup diri dari orang itu dan keburukannya akan ditunjukkan di hadapan orang-orang terdahulu dan kemudian )H.R. Ad Darami).

Melantunkan adzan di telinga kanan saat lahir ke dunia.

Aku melihat Rasulullah saw azan di telinga Husein ketika dia baru saja dilahirkan oleh Fatimah ra. (H.R. al Hakim)

Tahnik, yaitu sunnah yang diajarkan Rasulullah SAW berupa pemberian makanan manis dan lembut di saat-saat  pertama kehidupan anak (bisa dengan kurma atau madu)

Menyusuinya dalam waktu yang cukup (2 tahun).

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

 “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…” (Q.S. Al-Baqarah:233)

Memberi nama yang baik. Imam Ibnu Qayim mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara nama dengan kualitas anak. Pemberian nama yang baik akan mendorong yang punya nama untuk berbuat baik sesuai dengan makna yang terdapat di dalam namanya, karena nama yang diberikan orang tua mengandung do’a dan harapan. Sebaliknya seorang anak akan merasa malu dan rendah diri  apabila nama yang disandangnya buruk, atau tiada makna.

Aqiqah: menyembelih hewan qurban untuk kelahiran mereka pada hari ketujuh. Rasulullah saw. bersabda, “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang memenuhi syarat dan bayi perempuan cukup dengan satu ekor kambing.” (H.R. Ad-Darami)

Cukur rambut: Pada hari yang ketujuh pula dilakukan pencukuran rambut, dan menimbang rambut tersebut lalu dikonversi dalam satuan emas atau perak yang selanjutnya disedekahkan kepada faqir miskin. “Timbanglah rambut al Husain dan sedekahkanlah perak seberat itu”  (H.R. Al-Hakim) 

Khitan: Dari segi medis khitan jelas bermanfaat bagi kesehatan. Dengan khitan berarti sejak kecil ia sudah dipelihara harga diri, kehormatan dan kesehatannya.

Selanjutnya memuliakan anak berarti juga memberikan pendidikan yang baik kepada mereka. Al Qur’an secara monumental telah mengisyaratkan pentingnya pendidikan anak ini melalui kisah Lukman ketika sedang mendidik anaknya:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S.  Luqman: 13)    

Dengan pendidikan yang benar menurut apa yang diajarkan Allah Taala, maka anak akan menjadi individu yang mature dewasa dan bertanggung jawab, serta mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi kemaslahatan umat.

Kewajiban orang tua pada akhirnya disempurnakan dengan membantu mereka dalam membangun keluarga dengan menikahkannya. Orang tua berperan dalam memilih siapa calon suami/istri putra-putri mereka menurut ukuran kebaikan Islam.            

3. Memuliakan orang tua

Sedangkan bagaimana anak bersikap kepada orangtuanya, juga sangat jelas diperintahkan Allah Taala:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra: 23-24)

Bahkan Allah selalu mensejajarkan perbuatan mengabdi kepada-Nya dan bertauhid dengan berbuat baik kepada orang tua:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, ….”(QS An Nisa 36)

Ini menunjukkan bahwa memuliakan kedua orangtua bukan perkara sepele. Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa memuliakan kedua orangtua terus berlanjut meskipun keduanya telah tiada:

Abu Usaid (Malik) bin Rabi’ah Assa’diyah berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah SAW mendadak datang seorang dari Bani Salimah dan bertanya: Ya Rasulullah apakah masih ada jalan untuk berbakti terhadap ayah bundaku sesudah mati keduanya? Jawab Nabi: Ya, men-sholatkan atasnya, membacakan istighfar atas keduanya dan melaksanakan janji (wasiyat)nya, serta menghubungi keluarga yang tidak dapat dihubungi melainkan karena keduanya, dan menghormati teman-teman keduanya (H.R. Abu Dawud)

Di antara tindakan-tindakan praktis membina hubungan yang baik kepada orangtua dalam konteks memuliakan mereka adalah:

Selalu menjaga silaturahim dengan cara mengunjungi mereka secara rutin (berkala) sesuai kemampuan. Bila jarak tempat tinggal jauh, dapat dilakukan melalui telpon atau surat. Tanyailah keadaan  kesehatan mereka, masalah-masalah mereka.

Memenuhi kebutuhan mereka, terutama tentu saja kebutuhan hidup sehari-hari berupa sandang, pangan dan papan.

Memelihara kesehatan mereka dengan cara memonitor kesehatan mereka, menganjurkan bahkan membantunya berobat ke dokter. Menganjurkan mereka untuk memperbaiki pola makan, pola kerja dan pola hidup agar menjadi sehat.

Memberi mereka hadiah sesuatu yang menyenangkan mereka, meskipun cuma sebuah bingkisan kecil. Janganlah lupa memberikan mereka buah tangan apabila kita pulang dari bepergian jauh.

Menganjurkan mereka meningkatkan ibadah, memperbanyak dzikir dan menghadiri atau mendengarkan ceramah atau majelis ta’lim yang baik buat mereka. Berikan pula buku atau majalah yang patut mereka baca.

Mendidik anak-anak untuk menghormati dan menggembirakan mereka (kakek-nenek)

Pamit kepada mereka ketika hendak bepergian jauh.

Bila memiliki rezeki yang cukup, patutlah kita memberangkatkan mereka ke tanah suci Mekkah untuk ibadah Haji.

 Sesekali ajaklah mereka rihlah bersama di suatu tempat yang baik.

Sungguh indah bagaimana Islam memberikan pedoman-pedoman yang jelas dan rinci bagaimana sebuah keluarga dibangun dengan  cara-cara yang bersahaja dan penuh nilai-nilai luhur.

 

Memuliakan Tetangga

Berbuat baik kepada tetangga juga menjadi perhatian serius dalam ajaran Islam. Perhatikan firman Allah Taala:

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“…Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,.” (Q.S.  An-Nisa:36)

Nabi pun mengingatkan kita agar selalu berbuat baik kepada tetangga:

Ibnu Umar dan Aisyah ra berkata keduanya, “ Jibril selalu menasihatiku untuk berlaku dermawan terhadap para tetangga, hingga rasanya aku ingin memasukkan tetangga-tetangga tersebut ke dalam kelompok ahli waris seorang muslim”. (H.R. Bukhari Muslim)

Abu Dzarr ra berkata: Bersabda Rasulullah SAW, “Hai Abu Dzarr jika engkau memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya, dan perhatikan ( bagilah tetanggamu (H.R. Muslim)

Abu Hurairah berkata: Bersabda Nabi SAW, “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Ditanya: Siapa ya Rasulullah? Jawab Nabi, “Ialah orang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya” (H.R. Bukhari, Muslim)

Abu Hurairah berkata: Bersabda Nabi SAW “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah memuliakan tetangganya. (H.R. Bukhari, Muslim).

“Orang yang tidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya lapar bukanlah umatku.” (H.R.….)

Hak-hak ketetanggaan tidak ditujukan bagi tetangga kalangan muslim saja. Tentu saja tetangga yang muslim mempunyai hak tambahan lain lagi yaitu juga sebagai saudara (ukhuwah Islamiyah). Tetapi dalam hubungan dengan hak-hak ketetanggaan semuanya sejajar:

Berbuat baik dan memuliakan tetangga adalah pilar terciptanya kehidupan sosial yang harmonis. Apabila seluruh kaum muslimin menerapkan perintah Allah Taala dan Nabi SAW ini, sudah barang tentu tidak akan pernah terjadi kerusuhan, tawuran ataupun konflik di kampung-kampung dan di desa-desa.

Beberapa kiat praktis memuliakan tetangga adalah:

Sering-seringlah bertegur sapa, tanyailah keadaan kesehatan mereka.

Berikanlah kepada mereka sebagian makanan

Bawakan sekadar buah tangan buat mereka, apabila kita bepergian jauh.

Bantulah mereka apabila sedang mengalami musibah ataupun menyelenggarakan hajatan.

Berikanlah anak-anak mereka sesuatu yang menyenangkan, berupa makanan ataupun mainan.

Sesekali undanglah mereka makan bersama di rumah.

Berikanlah hadiah kaset, buku bacaan yang mendorong mereka untuk lebih memahami Islam.

Ajaklah mereka sesekali ke dalam suatu acara pengajian atau majelis ta’lim, atau pergilah bersama memenuhi suatu undangan walimah (apabila mereka juga diundang)

 

Memuliakan Teman

Memuliakan teman berarti menjaga dan menunaikan hak-hak mereka. Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam Tarbiyatul ‘awlaad fil Islam menyebutkan bahwa hak-hak tersebut adalah:

1. Mengucapkan salam ketika bertemu.

Rasulullah saw. yaitu, “Kalian tidak akan masuk surga sebelum kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sebelum kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang apabila kalian kerjakan, niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian”. (H.R. As-Syaikhani)

2. Menjenguk Teman Ketika Sakit

Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy,ari bahwa  Rasulullah saw bersabda, “Jenguklah orang yang sakit; beri makanlah orang yang lapar dan lepaskanlah orang yang dipenjara”.

 

Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa  Rasulullah saw. bersabda; Hak seseorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima; Menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin”.

3. Mendoakan Ketika Bersin

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu bersin, hendaklah ia mengucapkan, Al-Hamdu li’l-lah (segala puji bagi Allah), dan saudaranya atau temannya hendaknya mengucapkan untuknya, YarhamukalLah  (semoga Allah mengasihimu)’ Apabila teman atau saudaranya tersebut  mengatakan, YarhamukalLah (semoga Allah mengasihimu), kepadanya, maka hendaklah ia mengucapkan, YahdikumulLah wa yushlihu balakum

4. Menziarahi karena Allah

Ibnu Majah dan At-Tarmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa menjenguk orang sakit atau berziarah kepada seorang saudara di jalan Allah, maka ia akan diseru oleh seorang penyeru “Hendaklah engkau berbuat baik, dan baiklah perjalananmu, (karenanya) engkau akan menempati suatu tempat di surga”.

5. Menolong ketika kesempitan

Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwa  Rasulullah saw. bersabda; “Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak boleh berbuat zalim kepadanya dan tidak boleh menyia-nyiakannya (membiarkan, tidak menolongnya). Barang siapa menolong kebutuhan saudaranya maka Allah akan menolong kebutuhannya, barang siapa menyingkirkan suatu kesusahan dari seorang muslim, niscaya Allah akan menyingkirkan darinya suatu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat”

6. Memenuhi undangannya apabila ia mengundang

Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah ra , bahwa  Rasulullah saw. bersabda; Hak seseorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima; Menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin”

7. Memberikan ucapan selamat

Ad-Dailami meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, “Barang siapa bertemu saudaranya ketika bubar dari sholat Jum’ah, maka hendaklah ia mengucapkan “Semoga (Allah) menerima (amal dan do’a) kami dan kamu. 

8. Saling memberi hadiah

At-Thabrani meriwayatkan dalam Al Ausath dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai”

Ad-Dailami meriwayatkan dari Anas secara marfu’, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah karena hal itu dapat mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian”

Imam Malik di dalam Al Muwaththa’ meriwayatkan, “Saling bermaaf-maafkanlah, niscaya kedengkian akan hilang. Dan saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai dan hilanglah permusuhan.”

Wallahu a’lam

Loyalitas dalam Islam

Bukti keimanan seseorang adalah adanya amal nyata dalam kehidupan sehari-hari oleh karena iman bukan sekadar pengakuan kosong dan “lip service” belaka, tanpa mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam kehidupan seorang Mukmin. Selain merespon seluruh amal islami dan menyerapnya ke dalam ruang kehidupannya, seorang Mukmin juga harus selalu loyal dan memberikan wala’-nya kepada Allah dan Rasulnya. Ia harus mencintai dan mengikuti apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi seluruh perbuatan yang dilarang. Perhatikan firman Allah berikut ini.

 

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (al-Maa`idah: 54-55)

 

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya,’ jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 31-32)

 

Di sisi lain, seorang Mukmin tidak boleh loyal dan cinta terhadap musuh-musuh Islam. Oleh karenanya, dalam beberapa firman-Nya, Allah mengingatkan orang-orang beriman tentang hal ini.

 

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imran: 28)

 

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka, janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.” (an-Nisaa`: 89)

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maa`idah: 51) 

 

Oleh karena itu, setiap Muslim harus memahami dengan baik tentang konsep al-wala’ dalam perspektif Islam.

 

 

  I.          DEFINISI

 

Secara etimologi, al-wala’ memiliki beberapa makna, antara lain ‘mencintai’, ‘menolong’, ‘mengikuti’ dan ‘mendekat kepada sesuatu’. Ibnu al-A’rabi berkata, “Ada dua orang yang bertengkar, kemudian pihak ketiga datang untuk meng-ishlah (memberbaiki hubungan). Kemungkinan ia memiliki kecenderungan atau wala’ kepada salah satu di antara keduanya.”

 

Adapun maula memiliki banyak makna, sebagaimana berikut ini.

“Ar-Rabb, Pemilik, Sayyid (Tuan), Yang Memberikan kenikmatan, Yang Memerdekakan, Yang Menolong, Yang Mencintai tetangga, anak paman, mitra, atau sekutu, Yang Menikahkan mertua, hamba sahaya, dan yang diberi nikmat. Semua arti ini menunjukkan arti pertolongan dan percintaan.” (Lihat Lisanul-Arab, Ibnu Mandzur, 3/985-986)

 

Selanjutnya, kata muwaalah adalah anonim dari kata mu’aadah ‘permusuhan’ dan kata al-wali adalah anonim dari kata al-aduw ‘musuh’. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.

 

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai pelindung.” (Muhammad: 11)

 

“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 45)

 

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 257)

 

Dalam terminologi syariat, al-wala’ bermakna penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang disukai dan diridhai Allah, berupa perkataan, perbuatan, keyakinan, dan orang (pelaku). Jadi, ciri utama orang Mukmin yang ber-wala’ kepada Allah SWT adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah. Ia mengimplementasikan semua itu dengan penuh komitmen.

 

 

II.          KEDUDUKAN AKIDAH AL-WALA’

 

Akidah al-wala’ ini memiliki kedudukan yang sangat urgen dalam keseluruhan muatan Islam.

Pertama, ia merupakan bagian penting dari makna syahadat. Maka, menetapkan “hanya Allah” dalam syahadat tauhid berarti seorang Muslim harus berserah diri hanya kepada Allah, membenci dan mencintai hanya karena Allah, lembut dan marah hanya kepada Allah, dan ia harus memberikan dedikasi maupun loyalitasnya hanya kepada Allah.

 

“Katakanlah, sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (al-An’aam: 162)

 

“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa, ‘Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘(Allah telah menurunkan) kebaikan.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (an-Nahl: 30)

 

Kedua, ia merupakan bagian dari ikatan iman yang kuat. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR Ahmad dalam Musnadnya dari al-Bara bin ‘Azib)

 

Ketiga, ia merupakan sebab utama yang menjadikan hati bisa merasakan manisnya iman. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Ada tiga hal yang apabila seseorang mendapatkan dalam dirinya, niscaya ia akan merasakan manisnya iman: hendaklah Allah dan Rasulnya lebih ia cintai daripada dirinya sendiri; hendaklah ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah; hendaklah ia benci kepada kekufuran seperti bencinya untuk dilemparkan ke dalam neraka setelah Allah menyelamatkannya daripadanya.” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

Keempat, ia merupakan tali hubungan di mana masyarakat Islam dibangun di atasnya.

 

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujuraat: 10)

 

Rasulullah saw. bersabda, “Cintailah saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri.” (HR Ahmad dalam Musnadnya)

 

Kelima, pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Allah. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Orang-orang yang saling mencintai (karena Allah) akan berada di atas mimbar dari cahaya pada hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi)

 

“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah, di mana pada hari itu tiada naungan kecuali naungan-Nya. (Di antara mereka) adalah dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena Allah.” (HR Muslim)

 

Keenam, perintah syariat untuk mendahulukan akidah al-wala’ ini daripada hubungan yang lain.

 

“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 24)

 

Ketujuh, mendapatkan walayatullah.

 

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 257)

 

Kedelapan, akidah ini merupakan tali penghubung yang kekal di antara manusia hingga hari kiamat. Allah berfirman,

 

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (al-Baqarah: 166)

 

 

 

 

III.          HUKUM AKIDAH AL-WALA’

 

Berdasarkan beberapa ayat dan hadits, aqidah al-wala’ dan al-bara’ merupakan suatu kewajiban yang harus ditegakkan dalam syariat Islam. Ia merupakan salah satu konsekuensi dan syarat sahnya syahadat. Seorang Muslim tidak mungkin lepas dari akidah ini dalam setiap dimensi kehidupannya. Ia harus mencintai Allah SWT, Rasul, dan hamba-hamba yang beriman, dengan segala pengorbanannya. Pada saat yang sama, ia harus menegakkan permusuhan terhadap kekufuran dan manusia-manusia yang mendukung kekufuran tersebut. Perhatikan ayat-ayat Allah berikut ini.

 

            “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 24)

 

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imran: 28)

 

“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (al-Mujaadilah: 22)

 

“Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku lebih ia cintai daripada anaknya, bapaknya, dan seluruh manusia.” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

“Barangsiapa yang berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal (merasa tenang) dengannya, maka ia sama dengannya.” (HR Abu Dawud dari Samurah bin Jundub)

 

 

IV.          HAK-HAK AL-WALA’

 

Ada beberapa hak yang berkaitan dengan akidah al-wala’ dalam syariat Islam, sebagaimana penjelasan berikut.

 

Pertama, hijrah, yaitu hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim, kecuali bagi orang yang lemah atau tidak dapat berhijrah karena kondisi geografis dan politik kontemporer yang tidak memungkinkan. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan, ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (an-Nisaa`: 97-99)

 

Kedua, membantu dan menolong kaum muslimin dengan lisan, harta, dan jiwa di manapun ia berada dan dalam semua kebutuhan, baik dunia maupun agama. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Anfaal: 72)

 

“Orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain bagaikan bangunan yang sebagian menyangga sebagian yang lain.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

“Tolonglah saudara kamu baik yang melakukan kezhaliman atau yang dizhalimi.” (HR Bukhari)

 

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, ia tidak meremehkannya, tidak menghinakannya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh).” (HR Muslim)

 

Ketiga, terlibat dalam harapan-harapan dan kesedihan-kesedihan kaum Muslimin. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Perumpamaan kaum Muslimin dalam cinta, kekompakan, dan kasih sayang bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya mengeluh sakit, maka seluruh anggota tubuh juga ikut menjaga dan berjaga.” (HR Bukhari)

 

Keempat, hendaklah ia mencintai saudara Muslim sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, baik berupa kebaikan maupun menolak keburukan. Ia wajib menasihati mereka, tidak menyombongkan diri dan atau mendendam terhadap mereka.

 

Kelima, tidak mengejek, melecehkan, mencari aib, dan ber-ghibah serta menyebarkan namimah terhadap sesama kaum Muslimin.

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan)yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (al-Hujuraat: 11-12)

 

Yang dimaksud dengan ‘jangan mencela dirimu sendiri’ ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh. Dan ‘panggilan yang buruk’ ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti “Hai, Fasik”, “Hai, Kafir,” dan sebagainya.

 

Keenam, mencintai kaum Muslimin dan berusaha untuk berkumpul bersama mereka. Rasulullah saw. bersabda, “Adalah wajib bagiku mencintai orang-orang yang saling menziarahi.” (HR Ahmad)

 

“Ikatan iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR ath-Thabrani)

 

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (al-Kahfi: 28)

 

Ketujuh, melakukan apa saja yang menjadi hak kaum Muslimin, seperti menjenguk yang sakit atau mengantar jenazah, tidak curang dalam bergaul dengan mereka, tidak memakan harta mereka dengan cara yang batil, dan lainnya. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Barangsiapa yang curang terhadap kami, maka dia bukan dari golongan kami.” (HR Muslim)

 

“Hak seorang Muslim atas seorang Muslim yang lain ada enam: bila kamu melihatnya berilah salam kepadanya, jika ia sakit jenguklah, jika ia mati antarkanlah jenazahnya….” (HR Muslim)

 

Kedelapan, bersikap lembut terhadap Muslimin, mendoakan dan memohonkan ampun bagi mereka. Allah berfirman,

 

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (Muhammad: 19)

 

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Kesembilan, menyuruh mereka kepada yang makruf dan mencegah mereka dari kemungkaran, serta menasihati mereka.

 

“Rasulullah bersabda, ‘Agama adalah nasihat.’ Mereka bertanya, ‘Untuk siapakah, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, Rasul, kitab-kitab, pemimpin kaum Muslimin, dan untuk mereka semua.’” (HR Muslim)

 

“Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan; maka apabila tidak mampu hendaklah (ia lakukan) dengan lisannya; dan apabila tidak mampu, hendaklah (ia lakukan) dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

 

Kesepuluh, tidak mencari-cari aib dan kesalahan kaum Muslimin serta membeberkan rahasia mereka kepada musuh-musuh Islam.

 

“…dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan mereka…” (al-Hujuraat: 12)

 

Kesebelas, bergabung ke dalam jamaah kaum Muslimin dan tidak berpisah dengan mereka.

 

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103) 

 

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa`: 115)

 

 

 

Keduabelas, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.

 

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (al-Maa`idah: 2)

KIAT-KIAT MEMBINA HUBUNGAN

Di samping patokan-patokan dasar berupa tuntunan akhlaq Islami yang mengatur pola hubungan antar manusia dan manusia dengan lingkungannya kiranya dibutuhkan juga beberapa kiat praktis agar kita sukses dalam berinteraksi atau berhubungan dengan siapapun.
Dalam Al-Qur’an surat 9:128, Allah SWT menerangkan tentang sifat-sifat mulia yang dimiliki Rasulullah SAW yang membuatnya berhasil dalam berda’wah, berinteraksi dan merebut hati manusia banyak: “Laqad jaa-akum rasulun min anfusikum, ‘azizun alihi maa ‘anittum, harisun ‘alaikum bil mu’minina raufur rahim” (Telah datang seorang rasul kepadamu dari golonganmu sendiri. Terasa amat berat apa yang kamu derita, ia sangat menginginkan kebaikan bagimu. Terhadap mu’min ia santun lagi kasih sayang).
Ternyata modal pertama Rasulullah SAW sebagai kiat sukses membina hubungan dengan manusia dan lingkungannya adalah bahwa hati beliau senantiasa diliputi rasa belas dan kasih sayang, terutama terhadap sesama mu’min. Kemudian beliau mudah menyatakan simpati dan selalu mengharapkan kebaikan bagi orang lain. Selain itu beliau juga segera bisa berempati, menyelami perasaan orang lain dan turut merasakan kesedihan dan kesusahan yang dialami orang lain.
Jadi rasa kasih sayang, belas kasihan, mudah menyatakan simpati dan bisa berempati adalah kiat penting agar sukses  membina hubungan. Apalagi bila kemudian dilengkapi dengan ketrampilan berkomunikasi. Agar bisa menjalin komunikasi yang baik kita perlu memperhatikan beberapa faktor di antaranya ialah memahami dan menyesuaikan diri dengan kondisi psikologis lawan bicara kita (komunikan). Sebagai pembicara (komunikator) hendaknya kita melihat siapa dan bagaimana orang yang kita ajak bicara (komunikan). Rasulullah SAW telah mengingatkan kita akan hal itu, “Anzilunnaasa manazilahum” (Tempatkanlah manusia sesuai dengan tempatnya yang seharusnya (proporsional). Misalnya kita berbicara atau melakukan da’wah fardhiyah dengan seorang tokoh di masyarakat apakah tokoh agama, ekonomi, pemerintahan dll, hendaknya kita menghormatinya sebagaimana mestinya. Apalagi Rasulullah SAW juga mengingatkan kita untuk menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.
Faktor lain yang perlu diperhatikan selain faktor psikologi dan posisi lawan bicara kita adalah faktor intelektualistas dan adat istiadat. Rasulullah SAW bersabda, “Khaatibunnaasa ‘ala qadri ‘uqulihim” (Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar intelektualitasnya). Cara kita berbicara dengan anak kecil seyogyanyalah berbeda dengan bila kita berbicara dengan orang dewasa, karena kemampuan atau daya serap anak-anak jelas berbeda dibandingkan orang dewasa. Begitu pula harus membedakan cara berbicara kita ketika berhadapan dengan orang sederhana yang kurang atau tidak berpendidikan dan dengan orang yang berpendidikan tinggi. Faktor adat istiadat ternyata juga hal yang diperhatikan oleh Rasulullah SAW sehingga beliau bersabda, “Khaatibunnaasa bilughati qaumihim” (Berbicaralah kepada manusia dengan bahasa kaumnya). Artinya kita perlu menyesuaikan cara berbicara dan berinteraksi kita dengan kultur, adat istiadat yang dimiliki seseorang atau suatu kaum. Sepanjang tidak melanggar ketentuan syar’i kita harus menghormati kultur, kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki sesorang atau suatu kaum.
Dan akhirnya ketrampilan (skill) yang turut menunjang keberhasilan kita dalam membina hubungan adalah kemampuan melakukan komunikasi yang efektif. Ciri-ciri komunikasi efektif adalah bila terjalin pemahaman dan saling pengertian antara komunikator dan orang yang diajak bicara (komunikan). Kemudian tercipta suasana menyenangkan di antara kedua belah pihak. Baik yang berbicara maupun yang diajak bicara sama-sama senang. Hasilnya adalah hubungan yang semakin baik dan harmonis antara orang yang berbicara dengan yang diajak bicara. Bila sudah paham, mengerti, senang, percaya dan hubungan semakin dekat akhirnya insya Allah komunikan akan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagaimana yang diharapakan oleh komunikator sebagai pembawa pesan dakwah.
Wallahu a’lamu bishawab.

« Older entries Newer entries »